𝗗𝗘𝗟𝗔𝗣𝗔𝗡 :: Desa

26 10 2
                                    

Alas Urup — On Going
___________________

Swastamita terlihat elok di sore hari ini. Hembusan angin sepoi-sepoi terasa dapat menenangkan siapapun, tapi tidak dengan Adre yang saat ini sedang menumpang di sebuah motor tua milik pria yang sepertinya sudah berumur 50-an.

Mereka berdua sama-sama tak banyak bicara. Karena tujuan Adre kali ini adalah sampai di desa sebelum mentari benar-benar tenggelam.

Sejujurnya rasa janggal sedari tadi terus Adre rasakan. Baginya hari ini waktu berjalan sangat pesat. Bagaimana tidak? Baru beberapa jam yang lalu Adre selesai menyegarkan tubuhnya di kamar mandi, dan sekarang sudah hampir menunjukkan waktu magrib.

Motor yang Adre tumpangi terus mengeluarkan seiring berjalannya mereka menuju desa Jagawana yang dikatakan oleh bapak di depannya yang sedang fokus mengemudi. Sedangkan Adre memangku ikatan kayu bakar yang dibawa oleh Pak Yudhis—nama bapak yang sedang memberinya tumpangan. Untung saja ikatan kayu itu tak terlalu berat yang pastinya juga takkan membuat Adre kesusahan.

Dari jauh dapat Adre lihat beberapa cahaya yang muncul, yang artinya posisi mereka sudah hampir sampai dengan desa Jagawana yang dimaksud oleh Pak Yudhis.

Pak Yudhis menghentikan motornya saat hampir sampai beberapa meter dari pintu masuk desa. “Ini namanya desa Sudarsana, desa satu-satunya yang berdiri di pinggir rawa Alas Urup.”

Adre turun dari motornya sembari mengangkat kayu bawaan Pak Yudhis. “Maksud bapak di sekitar sini terdapat rawa?” tanya Adre yang sedikit bingung. Dia di dalam hati bertanya-tanya; seberapa luas hutan ini hingga terdapat rawa juga di dalamnya?

Tawa kecil keluar dari Pak Yudhis. “Benar, rawa itu kami panggil Rawa Larung,” jawab Pak Yudhis sembari turun dari motor yang ia tumpangi.

Mendengar jawaban dari Pak Yudhis, Adre kembali merasa janggal. Baginya ia pernah mendengar kata 'larung' namun ia lupa apa arti kata tersebut.

“Abaikan namanya, yang pasti kamu akan terpukau saat melihat bagaimana keindahan dari Rawa Larung,” ucap Pak Yudhis dengan nada suara yang seolah bangga.

Sedangkan Adre hanya mengangguk yang kemudian mengikuti langkah Pak Yudhis yang berjalan masuk melewati rumah-rumah warga. Adre tebak Pak Yudhis merupakan salah satu orang yang berpengaruh atau mungkin Pak Yudhis yang merupakan kepala desa ini. Karena sedari tadi hampir semua warga menyambut kedatangannya.

Di desa ini normal, terdapat berbagai orang dengan kelamin dan umur yang berbeda-beda, juga rumah-rumah warga yang hampir semua bentuknya terlihat sama, tak seperti desa Sudarsana.

Sampai saat Adre dan Pak Yudhis sampai di depan sebuah hajatan yang cukup ramai. “Pas sekali kalian datang di waktu yang tepat, ayo masuk sebelum makanannya habis.” Dari dalam keluarlah seorang wanita yang sepertinya seumuran dengan Pak Yudhis, dari cara berpakaiannya orang-orang pasti tahu kalau sedang ada acara pernikahan.

Hendak saat Adre menolak, Pak Yudhis terlebih dahulu menarik tangan Adre dan membawanya masuk lebih jauh ke dalam hajatan tersebut yang cukup besar. Terdapat berbagai makanan yang diletakkan di atas meja panjang, dan itu tujuan Pak Yudhis menarik tangan Adre.

Iki rezekimu, Nduk. Aja ditolak.” Tangan Pak Yudhis dengan santai mengambil berbagai makanan dan menaruhnya di atas piring.

“Tapi Pak....”

Orak usah nolak, awakmu ngeleh ta?” Sekali lagi ucapan Adre dipotong oleh Pak Yudhis. Kemudian dirinya memberikan piring yang berisikan macam-macam makanan kepada Adre. “Aja isin-isin.

Memang benar Adre sedari tadi terus menahan rasa laparnya, tapi dirinya juga merasa tak enak dengan sang pemilik acara pernikahan ini.

Saat matanya tak sengaja berpapasan dengan mata dari sang mempelai wanita, anggukkan kepala diberikan kepada Adre. Seolah mempelai wanita tersebut paham dengan isi pikiran Adre. Sampai pada akhirnya Adre menerima piring yang sedari tadi terus disodorkan oleh Pak Yudhis.

“Kamu duduk di sana, ya. Bapak mau ambil makanan juga, laper bapak.” Tangan Pak Yudhis memegang perutnya layaknya seseorang yang sedari tadi belum diberi makan, sedangkan salah satu jari dari tangannya yang lain menunjuk ke sebuah kursi yang cukup jauh dari panggung di mana mempelai wanita dan pria sedang menjabat tangan para tamu yang naik ke atas panggung.

Tatapan ragu Adre lemparkan pada Pak Yudhis, sedangkan ekspresi Pak Yudhis berbanding terbalik dengan ekspresi Adre yang saat ini sedang khawatir.

“Bapak nggak lama.” Tangan Pak Yudhis mendorong dengan pelan punggung Adre, menyuruhnya untuk segera duduk di kursi yang ia pulihkan. “Cepetan sebelum diambil orang.”

Yang hanya bisa dilakukan Adre hanyalah berjalan pasrah ke arah kursi yang barusan ditunjuk oleh Pak Yudhis. Tatapannya sedari tadi terus menatap Pak Yudhis yang sedang sibuk sendiri mengambil beberapa makanan, takut jika dirinya akan ditinggal sendirian di hajatan yang dipenuhi oleh orang-orang asing.

Sebuah suara terdengar membuat Adre mengalihkan pandanganya. Ia kira suara itu merupakan suara yang berasal dari speaker hajatan, tapi nyatanya suara tersebut berasalkan dari perut Adre yang seolah meminta untuk segera diberi kerjaan.

Hampir lima menit Adre sibuk menyuapkan makanan ke dalam mulutnya, dan hampir lima menit Pak Yudhis masih belum datang.

“Hai? Boleh kenalan?” Sebuah tangan dapat Adre rasakan menyentuh pundaknya.

Adre yang sedari tadi sedang fokus melihat ke sekeliling demi dapat melihat ujung hidung pria yang membawanya ke sini tentu saja tersentak. Tatapannya teralihkan ke belakangnya, di mana tempat berdirinya orang yang sudah mengangetkannya.

Seorang mempelai perempuan yang Adre temukan. Tatapannya terlihat sedikit kaget juga, yang pastinya dikarenakan Adre yang barusan kaget karena tiba-tiba bahunya digenggam oleh seseorang. “Iya?” Adre dengan ragu menjawab ucapan dari sang mempelai wanita itu.

Kekehan kecil keluar dari mempelai wanita tersebut, bagi Adre suaranya terdengar lembut, bahkan tawa kecil saja Adre masih merasakan bagaimana lembutnya suara sang mempelai wanita yang sedang berdiri di belakangnya ini. “Kamu dari kota ya?”

“Iya, benar.” Adre menatap wajah mempelai wanita itu yang sedang menarik kursi untuk duduk di sebelahnya, bagi Adre wajah wanita di sebelahnya itu terlihat familiar di ingatannya.

Tak ada jawaban dari mulut ataupun anggukkan kepala oleh wanita yang baru saja sudah diresmikan mempunyai pasangan sehidup semati itu. Namun tangannya terarah menyentuh rambut lurus milik Adre yang ia kuncir kuda. “Rambutmu indah, kuharap aku juga dapat mempunyai rambut sepertimu.”

“Benarkah? Terima kasih banyak, tak sia-sia aku merawatnya walaupun berkali-kali ibuku memintaku untuk potong seperti anak laki-laki saja.” Senyuman terlukis di bibir Adre mengingat bagaimana kedua orang tuanya terus memintanya untuk memotong rambut seperti anak perempuan yang tomboy di kampusnya. Bagaimana keadaan kalian sekarang?

Hening kembali, yang terdengar hanyalah suara musik dari speaker yang berada di dekat pintu masuk hajatan. Tangan mempelai wanita masih mengelus rambutnya dengan lembut, sampai tangannya melepaskan ikat rambut yang sedari pagi mengikat rambut Adre agar tak merasakan gerah.

Adre yang menyadari hal tersebut langsung menangkap ikat rambutnya yang hampir jatuh.

“Ah, maafkan aku,” ucapnya dengan nada yang merasa bersalah. Dapat Adre lihat bahwa tatapan mata mempelai wanita di sebelahnya terus saja menatap ke rambutnya yang sekarang terurai.

Dengan cepat, tangan Adre mengikat kembali rambutnya. “Tak apa.”

Tangan mempelai wanita tersebut mengelap keringat yang muncul dikarenakan hawa malam ini yang terasa gerah. “Kamu tidak suka rambut yang terurai ya?”

Adre yang sebelumnya sedang fokus membenarkan ikat rambutnya agar kencang refleks menoleh ke mempelai wanita tersebut. Anggukkan kepala Adre berikan sebagai jawaban.

“Sayang sekali.”

___________________

Alas Urup — On Going

Alas Urup [OG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang