𝗦𝗘𝗠𝗕𝗜𝗟𝗔𝗡 :: Bangkit

44 12 0
                                    

Alas Urup — On Going
___________________

Seorang mahasiswi berkali-kali mengerjapkan matanya demi dapat memulihkan pengelihatannya. Tak lupa dirinya mencoba untuk menggerakkan tangannya yang terasa mati rasa.

Setelah pandanganya yang sudah pulih, tatapannya mengelilingi sekitar. Sepertinya baru tadi malam dirinya tidur di sebuah ranjang milik salah satu rumah salah satu warga desa Jagawana, dan sekarang dirinya sudah berada di bawah naungan sebuah pohon yang ia kenal.

Pohon yang menjaga wilayah Alas Urup, pohon yang seakan memiliki legenda tersendiri, pohon yang selalu dijauhi oleh warga-warga sekitar.

Nyeri terasa di perutnya saat ia berusaha untuk bangkit dari duduknya yang bersandar pada pohon tersebut. Sakit, tubuhnya seakan habis dipukuli oleh satu kampung.

“Eh?” Tangannya merasakan sesuatu yang jatuh di atas punggung tangannya, yang kemudian menemukan buah yang sempat dijelaskan oleh Pak Jaga bahwa memiliki racun yang dapat membuat siapapun yang memakannya tak dapat mengendalikan tubuhnya lagi.

Dengan refleks Adre mengangkat tangannya. Sejenak dirinya memikirkan apa yang dimaksud dengan mengendalikan tubuh, apa yang dimaksud Pak Jaga adalah dirasuki? Sepertinya begitu.

Ah, lupakan. Sekarang kembali ke Adre yang berusaha mengingat-ingat kejadian tadi malam, baginya tak ada yang aneh saat tadi malam. Namun terdapat seseorang yang menurutnya mempunyai sifat yang aneh. Tentu saja itu si mempelai wanita. “Apa mungkin dia yang membuangku di sini?” Dengan cepat Adre menggelengkan kepalanya, menolak pikiran yang tak masuk akal tersebut.

Apa kabar, Adrenalinne? Apa kau merindukanku?

Sebuah suara yang muncul secara tiba-tiba membuat Adre tersentak kaget bukan main saat mendengarnya, terlebih suara tersebut terdengar tak asing di telinganya, namun sayang sekali Adre tak mengingat siapa pemilik suara tersebut.

Aku tak menyangka jika kau yang akan datang menjengkukku, Adrena.

Adre menatap ke sekeliling, berusaha menemukan sang pemilik suara tersebut. Namun sayangnya tak ada hasil, nihil. Yang Adre temukan hanyalah kabut tebal yang mengitarinya bersama dengan pohon yang saat ini sedang ia gunakan untuk bersandar.

Suara kekehan terdengar dari langit-langit hutan. “Kau sepertinya merindukan suara ini, ya? Sampai seberusaha itu untuk menemukanku.

Tangan Adre menggenggam erat akar pohon yang ia duduki, menjadikan tumpuannya untuk bangkit. “Siapa? Kau ada di mana? Jangan bersembunyi, aku ingin melihatmu!”

Hening kembali. Suara yang beberapa detik lalu terdengar menggema di hutan lenyap begitu saja.

Adre berusaha untuk mengatur keseimbangannya dan hampir berkali-kali terjatuh. Dan pada akhirnya ia tak tahan untuk terus berdiri.

Setetes air perlahan keluar dari matanya. Tangannya terarah untuk membuka sedikit rok berwarna hitam yang sedang ia kenakan demi dapat melihat kondisi kakinya. Sudah dirinya tebak, semua ini berasal dari kakinya yang lebam entah itu lebam sebab apa.

“Sialan....” Baru saja dua hari yang lalu Adre berbincang-bincang mengenai desa Sudarsana bersama Nayya dan Nami, dan sekarang dirinya sendirian di tengah-tengah hutan dengan kondisi yang acak-acakan.

Betapa malangnya dirimu.

“Ck, siapapun kau, diamlah dan lebih baik membantuku.” Jari Adre mengusap air mata yang tersisa di pipinya. Tak bohong, lebam pada kakinya begitu terasa bahkan hingga membuat dirinya tak dapat berdiri.

Alas Urup [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang