𝗦𝗘𝗣𝗨𝗟𝗨𝗛 :: Adre

12 6 0
                                    

Alas Urup - On Going
___________________

"Berhenti berharap untuk bisa jadi seperti kakak kamu, Adre." Satu kalimat yang benar-benar membekas di hatinya, kalimat tersebut keluar dari mulut seorang wanita yang benar-benar ia sayangi. Namun sayang sekali setelah kalimat tersebut keluar dari mulutnya, rasa sayangnya perlahan semakin memudar seiring berjalannya waktu.

Ia berpikir; apakah dirinya benar-benar tak dapat mengimbangi kakaknya? Atau mungkin menjadi lebih baik dari kakaknya? Ah, tidak. Di mata kedua orang tuanya, kakaknya bagaikan malaikat yang hadir membawa kegembiraan, tak ada kekurangan secuil pun di dirinya.

Tak ada kekurangan yang dilihat oleh orang tuanya, dirinya, teman-temannya, dan juga penggemar berat malaikat tak bersayap tersebut. Tapi perlu ia ingat bahwa setiap manusia juga mempunyai kekurangannya masing-masing. Dan kekurangan yang terus-menerus disembunyikan oleh malaikat tersebut adalah fisik.

Fisik, jika ia lemah apa yang akan kau lakukan? Beristirahat? Tentu saja. Tapi sekali fisiknya melemah, itu bagai dirinya tak dapat melihat matahari berada di cakrawala esok pagi. Karena memang fisiknya tak sekuat yang orang-orang bayangkan. Tapi tenang saja, itu hanya kekuatan fisik dan takkan membuat orang-orang menjauhinya begitu saja.

"Kenapa aku tak pernah mendapatkan panggung?" Tangannya meremas sebuah foto yang terus-menerus ia genggam sedari tadi diikuti dengan air mata yang perlahan membanjiri pipinya.

Bagi Adre, dunia sama sekali tak adil. Bagaimana tidak? Kakaknya mempunyai kekurangan yang menurutnya akan berdampak buruk pada kehidupannya selanjutnya, namun nyatanya apa? Kekurangan tersebut malah membuatnya semakin diperhatikan oleh orang-orang.

Lalu dirinya? Mempunyai kekurang di bidang akademik, dan itu sangat berdampak negatif pada cara pandang orang-orang pada dirinya. Padahal dirinya hampir setiap hari belajar sampai larut malam, tapi apa hasilnya? Nihil, nilai raportnya masih berada di angka itu-itu saja.

Padahal dirinya juga tak bersekolah di sekolah elite, yang pastinya tak mungkin ada orang yang akan menyabotase nilainya. Dan seingat Adre dirinya tak pernah ada yang namanya memiliki hubungan buruk dengan teman-teman satu sekolahnya. Harusnya tak ada yang aneh, tapi kenapa nilainya selalu begitu-begitu saja?

Kata teman sekelasnya, ia tak bersyukur mendapat nilai yang bagus. Sejenak tawa keluar darinya mengingat perkataan temannya itu. "Apanya yang bagus? Itu masih tetap di bawah kakakku."

Ah, hal tersebut yang membuat Adre dijauhi oleh teman-teman sekelasnya. Karena teman-temannya beranggapan jikalau Adre tak pernah puas melihat hasil yang ia dapatkan, padahal hasilnya sudah menjadi yang terbaik di kelas. Tapi sayangnya Adre tetap kekeuh ingin mengalahkan nilai akademik kakaknya yang bisa dibilang luar biasa.

"Padahal nilainya paling bagus di angkatan kita ini, tapi dia selalu merasa kurang." Secara samar, Adre mengingat beberapa ucapan tentang dirinya dari teman-teman semasa di Sekolah Menengah Pertama dahulu.

"Tentu saja, itu karena ia tak pernah bersyukur!" Tawa kecil yang tak terdengar seperti tawa keluar dari mulut Adre, apa dirinya dahulu benar-benar tak pernah bersyukur?

Senyuman terlukis di bibir Adre, walaupun tatapannya kali ini terasa kosong."Sayang sekali, padahal dia bisa jadi populer di sekolah dengan nilai-nilainya itu. Tapi setelah dilihat-lihat dia juga cantik."

"Cantik apanya? Tatapan yang sombong itu kau sebut cantik? Yang benar saja! Seleramu sangat jelek ternyata." Senyuman sekilas tersebut kembali memudar, tergantikan dengan ekspresi datar kembali.

Benar juga baginya. Kenapa dirinya begitu terobsesi untuk dapat menyaingi sang kakak? Apakah orang tuanya nanti akan peduli saat dirinya benar-benar sudah menang? Entahlah, karena menurut Adre, pandangan orang tuanya seakan ditutupi oleh kabut tebal yang barusan sempat ia temui, atau mungkin lebih tebal? Sepertinya lebih tebal berkali-kali lipat.

Alas Urup [OG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang