𝗟𝗜𝗠𝗔 :: Askara

72 21 4
                                    

Alas Urup — On Going
___________________

Orang-orang kira menjadi anak dari keluarga yang berkecukupan itu menyenangkan. Bisa bebas meminta apa saja dari orang tua, bisa bebas membeli barang apapun, juga bebas pergi ke mana saja.

Tapi sayang sekali, itu tak berlaku bagi Askar Bagaswara.

Tatapannya menatap ke arah Aziel yang sedang fokus membaca novelnya. Di saat melihat teman yang sudah ia temani sejak duduk di bangku kelas 5 di sekolah dasar itu, dirinya selalu teringat akan awal pertemuannya dengan Aziel.

Baginya pertemuan tersebut tak mengenakkan sama sekali. Di saat dahulu setelah membantu Aziel untuk lepas dari pembullyan yang dilakukan oleh lima anak di bawah teduhan halte bus, Aska meminta Aziel untuk menemuinya besok di kelas tempatnya melaksanakan pembelajaran.

Langkah kaki terdengar di lorong yang berisikan berbagai murid yang sedang berlarian menuju kantin dikarenakan bel istirahat telah berbunyi dua menit yang lalu.

Dia -Aziel yang mendengar suara bel tersebut langsung berlari menuju ke kelas anak yang kemarin telah membantunya.

Baru saja sampai di depan ruang kelas 5.A, seseorang yang ia kenal terlebih dahulu keluar dari ruangan tersebut. Wajahnya yang sebelumnya terlihat datar kali ini terukir senyum senang ketika melihat Aziel yang hampir menabraknya.

“A-ah! Maaf,” ucap Ziel sembari menundukkan kepalanya, takut jika anak laki-laki di depannya itu akan memarahinya.

Sebuah tangan terulur menepuk pundaknya lembut. “Tak perlu minta maaf, namanya juga tak sengaja. Toh, kamu juga tidak sampai menabrakku.”

Suasana kembali hening, yang terdengar hanyalah suara langkah kaki anak-anak lain yang sedang berlalu lalang.

“Um, boleh aku tau siapa nama kamu?” tanya Aska yang mulai merasakan rasa canggung di antara dirinya dan Aziel.

Aziel mengukir senyuman di bibirnya. “Namaku Aziel Dirgantara, biasa dipanggil Ziel.”

Aska mengangguk mengerti. “Ziel ingin makan di taman?”

Gelengan kepala didapatkan oleh Aska sebagai jawaban dari pertanyaannya. “Ziel tidak bawa bekal.”

“Tak apa, kita bisa makan bekalku bersama!” Tanpa aba-aba dan persetujuan Ziel, Aska terlebih dahulu menggandeng tangan Ziel menuruni anak tangga lantai dua.

Sedangkan yang digandeng hanya bisa pasrah saat dirinya dibawa untuk ke taman belakang sekolah.

Sekolah dasar negeri yang mempunyai nama Haraskana merupakan salah satu sekolah yang berisikan murid-murid berkecukupan, dan tentu saja pintar. Di sekolah tersebut terdapat dua cara untuk dapat menjadi bagian di sana; dari keluarga yang selalu tercukupi, dan menjadi murid terpilih untuk mendapatkan beasiswa.

Kelas di sana juga dibedakan menjadi dua sesuai dengan kategori mereka saat mendaftar di sana. Perlu diketahui, walaupun dapat masuk menggunakan uang, kecurangan lain masih tetap ditemukan di sekolah yang mempunyai murid-murid yang toxic.

Salah satu contoh kecurangannya adalah; masih ada orang tua yang meminta untuk anaknya dimasukkan ke dalam kelas yang berisikan oleh murid-murid yang pintar. Hal tersebut juga membutuhkan bayaran ekstra untuk memalsukan data.

Beberapa murid yang memalsukan nilainya terdapat di kelas Ziel; kelas 5.E. Mayoritas dari kelas Ziel merupakan anak-anak yang menyuap guru untuk menjadikan mereka berada di kelas unggulan murid-murid pintar.

Di sekolah tersebut juga terdapat beberapa murid yang beranggapan bahwa 'yang menyuap pastinya lebih bodoh dibanding yang berusaha'. Dan Aska mengakui hal itu benar adanya setelah membantu Ziel kemarin sore di halte bus. Ya, beberapa anak yang kemarin mengganggu Ziel saat sedang di halte merupakan anak-anak bagian kelas 5.E yang menyuap untuk menjadi bagian di sana.

Alas Urup [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang