Alas Urup — On Going
___________________Di mata Aziel Dirgantara, dunia itu menyeramkan. Namun setelah ia pikir-pikir kembali, bukan dunia yang terasa kejam. Tapi orang-orang di dalamnya. Pikiran tersebut muncul ketika ia baru saja pulang dari sekolah di saat hujan deras mengguyur kotanya diikuti dengan gemuruh petir yang terdengar menyeramkan.
Tak ada yang menjemputnya, karena memang ia tak pernah dijemput maupun diantar.
Angin dingin dengan rintikan air hujan membuatnya menggigil kedinginan. Tak ada yang bisa ia lakukan saat ini, yang bisa ia lakukan hanyalah menangis sembari duduk di kursi halte bus dan memeluk erat tasnya, berharap akan ada seseorang yang mau mengantarkannya pulang dengan selamat sampai ke rumah.
Namun sepertinya takdir baik sedang tak ada di sisinya sekarang. Sampai beberapa anak yang satu kelas dengannya menghampirinya yang sedang menunggu hujan reda.
“Ini yang sok imut itu bukan?” Bukan bantuan yang Ziel dapatkan dari anak-anak tersebut, malahan salah satu dari mereka menarik dengan kuat tas yang sedari tadi Ziel peluk sehingga terlepas dari pelukannya.
Saat itu, Ziel masih duduk di kelas 5 SD. Fisiknya tak terlalu kuat yang membuatnya terjatuh dari duduknya saat berusaha menahan tas satu-satunya yang ia punya tersebut.
Anak-anak yang barusan menghampiri Ziel tertawa terbahak-bahak, puas melihat Ziel yang terjatuh dari duduknya karena mempertahankan tasnya.
Tawa itu langsung bungkam saat salah satu di antara mereka memberitahu ke teman-temannya bahwa ada sebuah mobil yang berhenti di depan halte.
Pintu mobil tersebut terbuka dan menampilkan seorang anak laki-laki yang juga terlihat seumuran mereka berjalan turun dari mobil dengan warna hitam elegan tersebut.
Langkah kakinya berjalan ke arah Ziel yang masih tergeletak di lantai sembari menatapnya bingung diikuti dengan seorang pria yang memayunginya.
“Kamu siapa?” tanya salah seorang kelompok anak laki-laki tersebut, tangannya masih menggenggam tas milik Ziel.
“Kalian ini minta dilaporin orang tua kalian atau bagaimana?” Bukan jawaban yang dilontarkan oleh anak yang baru saja turun dari mobil, melainkan ia balik bertanya.
Tatapan tak suka langsung anak tersebut berikan kepada anak di depannya yang baru saja mendapatkan teduhan dari atap halte bus. “Ancene wong sugih, kemaki!” teriak anak tersebut yang diikuti dengan tangannya yang melempar tas Ziel ke lantai halte bus yang kotor dikarenakan jejak kaki orang-orang.
Namun sayang sekali, saat Aziel hampir berteriak ketika tasnya dilempar oleh anak di depannya itu, sebuah tangan terlebih dahulu menangkap tas tersebut. “Kalian ini masih kecil saja sudah seperti ini, bapak jadi bingung masa depan kalian seperti apa nantinya,” ucap seorang pria yang berdiri di sebelah anak yang tadinya turun dari mobil sembari membantu Ziel berdiri.
“Mending kalian pulang saja sana. Tuh, jemputan kalian sudah datang,” ucap anak yang tadinya turun dari mobil sembari menunjuk sebuah bus yang hendak menuju halte tempat mereka berdiri sekarang menggunakan dagunya. “Oh ya, kalian barusan bertanya aku siapa 'kan? Askar Bagaswara. Aku harap kalian tak akan terkena masalah nantinya,” ucapnya sembari mengukir senyum tipis di bibirnya.
Salah satu dari kelima anak tersebut menggertakan giginya tak suka yang kemudian terlebih dahulu berjalan menaiki bus diikuti oleh teman-temannya yang lain.
“Terima kasih...,” ucap Ziel sedikit tergagap saat anak yang membantunya atau yang barusan mengatakan bahwa namanya Askar Bagaswara menatapnya.
Tawa kecil keluar dari mulut Aska. “Kenapa kamu nggak lawan mereka?” Aska melirik pria yang berada di sebelahnya, meminta agar tas yang ia genggam dikembalikan kepada Aziel.
Gelengan kepala diberikan sebagai jawaban oleh Aziel. “Ciel tidak berani,” jawabnya dengan nada suara yang sangat kecil, bahkan nyaris terdengar seperti bisikan.
Aska mengangguk paham. “Lalu, kenapa kamu belum dijemput?”
Halte bus yang di seberangnya terdapat sebuah sekolah yang berisikan murid-murid yang berkecukupan itu lengang sejenak. Sampai suara tangis membuyarkan kesunyian tersebut.
“Eh eh?” panik Aska saat melihat tetesan air mata perlahan jatuh dari iris mata anak yang baru saja ia bantu tadi. Tangannya menarik lengan pria di sampingnya, meminta agar menenangkan Aziel.
Bukannya membantu menenangkan Aziel, pria tersebut malah mengangkat bahunya. “Saya tidak bisa.”
Aska yang kesal menginjakkan kakinya ke pria yang ia panggil paman tersebut sehingga membuatnya mengaduh kesakitan. “Ck, paman ini bagaimana, sih? Katanya akan membantuku kapan saja?”
“Aduh! Bukannya bagaimana, Tuan Muda. Tapi Nyonya Besar sudah menghubungi supir kita,” ucapnya sembari menunjuk ke mobil yang beberapa menit lalu mereka naiki.
Lirikan mata Aska tertuju ke arah yang ditunjuk oleh pria di sebelahnya itu. Dan benar saja, supirnya sedari tadi sudah mengangkat ponsel yang memerlihatkan sebuah panggilan dari ibunya. Aska mendengus saat mengetahui ia tak dapat berlama-lama menemani anak yang barusan ia bantu tersebut. “Ingat namaku, ya. Aku Askara, besok temui aku di kelas 5A, oke? Aku tak dapat menemanimu lebih lama di sini.” Askara menepuk-nepuk pundak Aziel.
Aziel mengangguk, mengiyakan ucapan Askara. Air mata kali ini sudah tak mengalir dari matanya.
Beberapa menit kemudian, mobil yang ditumpangi oleh Askara sudah melesat cepat di jalan. Sedangkan Aziel? Dia masih berada di halte bus, duduk sembari memeluk erat tasnya. “Asky...”
___________________
“Jika Tuhan adalah sebaik-baiknya seniman, maka Asky adalah sebaik-baiknya mahakarya.”
Aziel Dirgantara, Alas Urup
___________________
Alas Urup — On Going
KAMU SEDANG MEMBACA
Alas Urup [Tamat]
Mystery / ThrillerDia kira menerima tawaran untuk menjadi salah satu mahasiswa di universitas terbaik di kotanya merupakan pilihan yang tepat dibanding mengikuti saran orang tuanya untuk bekerja. Namun perkiraannya itu salah besar. Keputusan tanpa pikir panjang ters...