Alas Urup — Chapter 13
___________________Daun-daun kering yang berserakan di tanah hutan terinjak oleh dua orang mahasiswa yang sedang berlari mengejar salah satu temannya yang baru saja mereka temukan. Bukannya diam, temannya itu malah berlari masuk lebih dalam ke bagian hutan yang lebih gelap.
Gelap mulai setiap sudut dan menciptakan bayang-bayang yang samar. Kali ini berbeda dengan wilayah hutan sebelumnya yang tak terdapat tanda-tanda hewan satupun, di bagian sisi hutan yang mereka masuki terdapat suara kicauan samar dari burung yang sepertinya sedang bersarang di salah satu dahan bersama angin yang berdesir di antara dedaunan, membuat sekitar terasa seperti sebuah dunia yang berbeda.
Arjuna menatap punggung Askara yang langkah kakinya lebih cepat dibandingnya, berusaha untuk mengejar Adre yang juga langkahnya tak kalah cepat. Sejenak Arjun berpikir; sejak kapan Adre dapat berlari secepat itu?
Meskipun rasa takut perlahan mulai menjalar di dada mereka masing-masing, mereka harus tetap mengejar Adre.
Langkah kaki mereka semakin cepat demi dapat mengejar Adre, walaupun tanah di bawah mereka mulai berubah licin dan lembab. Bahkan beberapa kali kaki mereka hampir terpeleset di atas akar-akar yang menjulur seperti jebakan tak terlihat—seperti berusaha untuk menghentikan langkah kaki mereka.
Semakin dalam mereka masuk, udara di sekitar terasa semakin berat, tak lupa dipenuhi dengan aroma tanah basah dan kayu lapuk bak habis diguyur oleh hujan. Namun setelah Aska ingat-ingat, hari ini tak ada setetes air pun yang dijatuhkan oleh awan.
Hutan yang mereka kenal dengan nama Alas Urup tersebut seolah hidup, bernafas bersama mereka dan menelan suara-suara dengan cepat yang membuat segalanya terasa semakin sunyi. Tak sesekali mereka mendengar suara gemerisik dari semak-semak yang tumbuh di sekitar mereka, entah itu suara yang disebabkan binatang atau hanya ulah dari hembusan angin.
“Aduh!” Sampai pada akhirnya Arjun berhenti dikarenakan tak sengaja menabrak punggung Aska. Sedari tadi dirinya terus melihat ke samping dan belakang, tak melihat ke arah depan yang membuatnya menabrak temannya itu. “Kenapa berhenti, As? Gimana kalau kita kehilangan jejak Adre?”
Aska berdecak kesal. “Kita memang sudah kehilangan jejaknya.” Mata Aska mengelilingi sekitar, wajahnya terlihat semakin tegang.
Hutan di sekitar mereka seolah berubah menjadi labirin yang terus bergerak, membuat mereka semakin sulit menemukan ke mana arah Adre pergi. Setiap pohon, setiap ranting, setiap bayangan, semuanya terasa serupa. Mereka berdua seakan-akan terjebak dalam lingkaran yang tak berujung. Hembusan angin yang awalnya terasa sejuk kini menjadi angin dingin yang menusuk-nusuk mereka, membuat bulu kuduk berdiri.
“Nggak mungkin.” Arjun menggelengkan kepalanya. “Barusan dia ada di depan kita, seharusnya dia masih belum jauh dari sini.”
“Lalu kenapa sekarang kita nggak bisa lihat dia?” bentak Aska yang mulai kesal oleh Arjun yang terus saja menyangkal ucapannya. Tatapan matanya kemudian beralih ke berbagai arah, berusaha menemukan tanda-tanda Adre. “Gue nggak suka ini, Ar. Hutan ini aneh, hutan ini seakan memainkan kita.”
Arjuna terdiam, mencoba merasionalisasi ucapan temannya itu. Arjun juga tak dapat mengabaikan perasaan ganjil yang terus mengekori mereka sejak masuk lebih dalam ke hutan. Ada sesuatu yang tak wajar. Bagi Arjun, terdapat semacam kekuatan atau hal mistis yang sedari tadi terus mengawasi mereka berdua.
“Ar, kita harus keluar dari sini,” ucap Aska tapi kali ini dengan suara yang lebih tenang tapi tetap serius. “Ini bukan soal Adre lagi. Kalau kita terus di sini, kita juga bisa tersesat.”
Arjun menatap Aska, tatapannya penuh dengan keraguan. “Lalu Adre? Gue nggak bisa ninggalin dia begitu aja.”
“Kita nggak bisa tolongin dia kalau kita juga kejebak di sini,” balas Aska dengan tegas. “Gue udah dapet firasat kalau Alas Urup bukan sekedar hutan biasa, begitu juga dengan desa Sudarsana. Kita harus buat strategi yang lebih matang.”
Arjun terdiam, mencoba mempertimbangkan kata-kata yang keluar dari mulut Askara. Keputusan harus segera ia buat—tetap mencari jejak Adre atau mundur dan mencari bantuan dari rombongan.
Tapi sebelum Arjun dapat mengeluarkan sepatah kata, sebuah suara lain terlebih dahulu muncul yang berasalkan dari semak-semak yang ada di samping mereka. Sebuah suara tawa pelan, seperti menertawakan ketakutan mereka.
Arjun yang mendengar tawa tersebut tentu saja tersentak, matanya menatap semak-semak yang berjarak tak terlalu jauh dari tempat mereka berdua berdiri yang terlihat bergerak-gerak. “Siapa itu?!” tanya Arjun sembari mundur beberapa langkah diikuti oleh Aska, matanya menyipit mencoba menembus kegelapan.
Aska meraih tangan Arjun, menariknya perlahan. “Kita harus pergi, sekarang.”
Suara tawa tersebut terdengar semakin keras, menggema di antara pepohonan tinggi. Tak lama, sebuah bayangan muncul dari kegelapan, itu Adre. Namun kali ini keadaannya lebih mengenaskan dari beberapa menit yang lalu. Di bagian dahinya terdapat seperti luka bakar, dan juga tangannya yang terlihat beberapa sayatan yang membuat kemeja putih miliknya terhiasi oleh warna merah darah. Tubuhnya terlihat bergetar, dan hanya diam tak bergerak bagaikan patung.
“Kara... Juna...,” suaranya terdengar pelan, hampir terdengar seperti bisikan namun Aska dan Arjun masih dapat mendengarnya. “Kenapa kalian lama sekali?”
Secara samar dapat Arjun lihat di mata bagian kiri Adre, setetes air jatuh mengenai pipinya yang terlihat kotor karena tanah.
Arjuna dan Askara saling pandang, bagi mereka pertanyaan tersebut terasa ganjil. Namun sebelum mereka bisa bereaksi, Adre terlebih dahulu melangkah maju mendekati mereka dengan langkah kaki yang kaku dan gemetar.
“Aska....” Suaranya kali ini terdengar jauh lebih menakutkan, seperti ada sesuatu yang hendak ia ucapkan, namun juga terdapat sesuatu yang menghalanginya untuk mengatakannya.
Tanpa berkata apapun, Aska dan Arjuna terlebih dahulu memutuskan untuk berlari meninggalkan entah itu sosok Adre atau bukan.
___________________
Alas Urup — TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Alas Urup [Tamat]
Mystery / ThrillerDia kira menerima tawaran untuk menjadi salah satu mahasiswa di universitas terbaik di kotanya merupakan pilihan yang tepat dibanding mengikuti saran orang tuanya untuk bekerja. Namun perkiraannya itu salah besar. Keputusan tanpa pikir panjang ters...