Melanjutkan aktivitas, Gita keluar dari kamar mandi. Menuju ke dapur dan menangkap sosok sang ibu yang tengah berbincang dengan ayah di meja makan.
Mendekati meja itu, Gita kemudian duduk di salah satu kursi yang kosong. "Kalian kenapa datang pagi-pagi sekali?" tanya Gita.
"Pengen ketemu lebih cepat aja, toh kalau siang jalanan macet" ujar sang lelaki seraya menyeruput secangkir teh panas.
Gita hanya melirik kecil mendengar jawaban dari lelaki tersebut. "Adek kenapa enggak ikut?" heran Gita. "Dia lagi sibuk urus kuliahnya, maklum masih maba" jawab ibu.
"Kafe kamu gimana, lancar?" tanya ayah. "Sejauh ini masih lancar, pengunjung juga lumayan banyak" balas Gita. "Rencananya aku mau buka cabang baru di luar jawa, tapi itu masih wacana." lanjutnya.
"Tetapi, ada satu kendala yaitu aku tidak terlalu bisa manage waktu. Terkadang ada urusan yang bentrok dengan jadwal kegiatan aku."
Kendala yang sering Gita hadapi. Tak jarang Gita harus pergi ke luar kota setelah kegiatan latihannya, dan itu membuat tubuhnya kelelahan.
"Jangan terlalu dipaksakan, ibu dengar dari bi ayu kakak sering tidur larut malam. Itu gak baik buat kesehatan."
"Aku tahu itu, tapi bu kegiatan jeketi aku banyak. Terkadang bisa pulang larut malam, belum lagi kalau ada urusan dari perusahaan. Aku gak bisa menghindari hal itu."
"Kalau begitu, pilih salah satu."
Hari menjelang sore, tetapi gadis itu tidak melakukan aktivitas berat sehabis sarapan tadi pagi. Ia justru kembali tertidur di ranjang hingga matahari perlahan terbenam.
Saat ini Gita duduk di kursi balkon kamar, menikmati senja yang indah. Sebuah sinar matahari yang berada di batas garis terbarat cakrawala dengan gradasi warna jingga dan merah yang begitu sempurna.
"Indah bukan?" suara lembut menyapa telinga. Terlihat sosok wanita yang tengah duduk di sampingnya itu. "Kakak tahu? Senja adalah sebagian nikmat yang diberikan Tuhan untuk kehidupan."
"Senja mengajarkan kita akan perjuangan, senja tak pernah rapuh meski sendirian. Dari senja kita bisa belajar, apapun yang berlalu pasti memiliki akhir yang indah."
"Dan dari cantiknya senja ini, kenapa anak ibu terlihat seperti seekor burung yang terbang tak terarah, hm?"
"Nggak kok, aku hanya sedikit bingung dengan perasaanku saja" jujur Gita.
"Maksudnya?" tanya yang tua.
"Ibu, apa yang dimaksud dengan.... cinta?"
Wanita itu tersenyum mendengar ungkapan yang Gita lontarkan. Sepertinya gadisnya sedang menyukai seseorang. "Cinta? Mungkin ibaratkan kamu melihat bunga."
"Bunga?"
"Jika kau menyukai bunga, kamu akan memetiknya. Jika kau mencintainya kau akan menyiramnya dan merawatnya hingga tumbuh semakin mekar."
KAMU SEDANG MEMBACA
LADITAH
Fanfictionlangsung aja baca, intinya Gitkath GxG Disclaimer, ini hanya fiksi jangan dibawa ke real life