Little Dark side

37 29 6
                                    

Cahaya temaram hanya berasal dari jendela kaca besar di samping ruangan dan lampu kecil di ruangan itu. Suara tumbukan menjadi latar suara kedua setelah percakapan dua pria lain di ruang itu.

Mata almond tajam yang kosong, namun sedikit tersirat amarah yang terpendam, setiap detik pukulannya semakin brutal. Keringat sebesar biji jagung bergulir dari pelipis, ke rahangnya yang kokoh, membasahi tubuhnya yang mengilap di bawah remang lampu.

Hentakan keras tinjunya memantul di dinding, seolah tidak ada niat untuk berhenti. Jenza tidak mengurangi laju pukulannya, otot bisep yang menegang sebagai sebuah respon aksi, tampak mengerahkan seluruh tenaga, delapan balok otot perut terpahat di bawah kulitnya semakin mengeras karena tegang.

"Jenza, kau tak lelah apa?" Pria berambut blonde-Teran, pria itu sudah biasa melihat sepupunya yang tampak liar dan buas, seperti binatang yang terlepas dari kandangnya.

Di benak Teran, andai para perempuan penggoda melihat Jenza dalam kondisi seperti ini, mungkin mereka akan menyeret pria itu ke ranjang dan menghabisinya dengan nafsu liar. Sosok Jenza yang tampak bagaikan Dewa perang, panas dan siap tempur, akan membuat mereka tak berdaya dalam sekejap.

Jenza tak berhenti. Teran dan pria lain di ruangan--Venco saling pandang, secara bersamaan menghela napas panjang.

Perlahan, Jenza melangkah mendekati mereka, postur tubuhnya yang tinggi dan kokoh semakin nyata. Setiap langkah memperjelas bagaimana lekuk tubuhnya yang sempurna, alis tebal dan mata almond yang menajam, mengamati kedua temannya dengan sorot dingin.

"aw~, kau benar-benar tampak... seksi~," Teran berkata dengan nada genit, namun berhenti seketika saat Jenza menatapnya dengan pandangan yang tajam dan tidak bersahabat.

"Apa perlu aku sewakan gigolo untuk mu?" ucap Jenza datar, sementara Venco langsung tertawa terbahak, hampir tak bisa menahan tawa hingga sudut matanya basah.

Teran bergidik, "kurang ajar!, aku masih menyukai goa sempit yang menjepit milikku ahh-"

Venco langsung melempar bantal di sampingnya, mengenai kepala pria itu, otak kotor Teran yang memang tidak tahu tempat, kepala si blonde itu harusnya di rendam air dingin sedikit bubuk detergen, agar membeku sekaligus bersih.

"Hei!" Teran menatap tak terima, tapi kemudian seringai nakal itu terbit. "Bagaimana kita menyewa jalang malam ini?" tawarnya lagi, belum menyerah.

"Kau seperti sedang menawarkan permen pada kami Teran" Venco memijit pangkal hidungnya, agak pusing dengan pria berotak selangkangan di hadapannya.

"Itu kebutuhan dasar pria"

"Otak mu memang perlu ku pelintir, bagaimana bisa aku berteman dengan mu, astaga!" Venco menggelengkan kepalanya heran. Ia mematikan rokoknya di dalam asbak.

"Halah, jangan sok suci"

"Hidup mu memang tak jauh dari goa wanita, mau lubang sempit atau longgar kau terabas semuanya, berubahlah Teran, lebih baik berhenti dari pada terkena penyakit kelamin. Kau bisa mati" Teran mencibir mendengar Venco yang paling dewasa disini, seperti ayah yang menasehati putranya yang nakal.

"Kalian ini benar-benar tidak asik sekali, Jenza ayo kita bujuk Venco" Teran menyenggol lengan polos Jenza dengan sikunya.

"Malas, dia benar. Kau saja yang berotak setengah jadi" Venco kembali tertawa sambil bersandar pada sandaran sofa kulit.

"Ahahaha, otak setengah jadi. Ahaha" Teran mendengus jengkel ia tuang wine berkadar dua puluh persen itu ke dalam cangkir kecil. Lengkap sekali hidup Teran, berteman dengan pria sok suci dan pria yang gagal melupakan mantan.

"Pria brengsek kalian berdua"

"Berkaca itu penting Teran, apa perlu ku hantamkan wajah mu ke kaca?" Venco berujar santai, tangannya bersedekap.

VELENOSOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang