Price of Failure II

26 8 1
                                    

Langkah berat sepatu kulit hitam Jenza bergema di lorong dengan pencahayaan minim, setiap hentakan seperti palu yang memukul keras. Jenza berjalan tegak dibelakangnya pria itu-Damon berjalan dengan patuh. Seperti anak ayam yang mengikuti sang induk.

Damon membuka pintu ruangan eksekusi, bau aroma yang khas. Jenza sudah amat hafal aroma ini. Aroma kedua kesukaannya, setelah wangi lavender menenangkan yang juga menjadi kesukaan Illechia. Bau anyir itu menyeruak masuk ke indra penciumannya.

Saat Jenza duduk di singgasananya, Kursi yang terbuat dari kayu mahoni yang kokoh, dengan sandaran tinggi dihiasi ukiran rumit. Dibalut kain beludru merah tua, dudukan dan sandaran dipenuhi busa empuk, memberikan kesan mewah namun jadi terkesan angker mengingat status pemilik nya.

Jenza tampak seperti raja kegelapan, dengan mata dinginnya yang menembus jiwa siapa pun yang berani menentangnya. Kemeja hitam hampir ketat itu melekuk sempurna harta di baliknya. Sebuah pemandangan indah yang akan membuat para perempuan gatal berkhayal tak berkutik dibawah kukungannya yang perkasa, menerima semuanya dengan penyerahan diri.

Surai hitam legam itu sedikit berantakan, dua kancing atas terbuka, memperlihatkan dada bidang sedikit berkilau karena keringat, lengan besar berhias jalur nadi menopang dagunya, kaki panjang berotot yang menumpu sebelah kaki lainnnya.

Melihat bagaimana visual sang cope duduk diatas singgasana, menghantam kesadaran Gian dan dua orang lainnya yang sudah tersungkur tak berdaya. Ruang bawah tanah itu sunyi, hanya ada suara ringisan tertahan yang diwarnai dengan aroma darah menguap di udara.

Di sudut ruangan, tubuh Gian menggeliat dalam penderitaan, jari-jarinya telah hilang beberapa, hanya sisa-sisa tulang yang berlumuran darah mengintip dari ujung jari-jari yang sudah putus.

"Akhhh- argghhh... t-tuan, maafkan saya..." Suaranya pecah, lebih menyerupai isakan putus asa daripada permohonan.

Jenza, bersandar santai di singgasananya, menonton pertunjukan dengan ekspresi datar. Matanya gelap, tak ada kilauan emosi yang menandakan empati. Baginya, ini masih terlalu ringan.

Ia mengangkat alisnya sedikit saat mendengar erangan Gian yang semakin lemah, memberi isyarat pada algojo yang melakukan tugasnya dengan gedikan dagu.

"Sayat lebih dalam," perintah Jenza dingin, nadanya seolah-olah hanya memerintah untuk memotong daging steak yang tidak diinginkannya.

"ARGH!" erangan Gian berubah menjadi jeritan yang menusuk hati,

"Berani sekali kau melanggar perintah, tahu apa akibat karena tindakan bodoh mu?!" Jenza berdiri dari kursinya. Langkahnya perlahan mendekati Gian yang setengah tak sadarkan diri.

Jenza menundukkan tubuhnya empat puluh lima derajat, kedua tangannya dimasukkan ke saku, dan kini ujung sepatunya mengangkat dagu Gian, membuat kepala pria itu mendongak sedikit.

"lihat diri mu, ck..ck...ck" Jenza berdecak kagum.

"kau seharusnya tahu organisasi apa yang kau masuki ini. Entah lewat siapa kau berhasil masuk kemari. Tapi karena kecerobohan mu dan kawan-kawan mu. kau harus menerima penderitaan neraka milik ku"

"T-tuan... saya salah... mohon ampuni saya..." Suara Gian serak dan gemetar, napasnya tersengal-sengal seperti orang yang tercekik.

Dengan satu gerakan, Jenza menghantamkan sepatunya ke wajah Gian seperti menendang bola. kepala Gian terlempar ke belakang dengan kekuatan yang cukup untuk membuat seluruh tubuhnya tersentak. Darah segar mengucur, mengalir dari luka terbuka yang sekarang menghiasi wajahnya.

Gian ingin menjerit, tapi suaranya hanya terdengar sebagai desisan lemah, tak lebih dari bisikan yang segera hilang di antara gema ruangan yang dingin.

"T-tuan... tolong... ampun... saya bisa menebus kesalahan... biarkan saya hidup..." Gian bahkan bersujud, pria itu merintih putus asa, mencoba memohon dengan sedikit harga diri yang tersisa.

VELENOSOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang