Price of Failure

17 9 1
                                    


Langit California yang terik menyambut kedatangan pesawat pribadi Jenzanio. Udara panas berhembus kering, tetapi tidak sebanding dengan bara api yang membakar dada pria itu. Jenza melangkah turun dari pesawat dengan sorot mata penuh amarah yang tertahan-pria jantan, yang siap mengancam jiwa.

Setelan kemeja hitam yang tergelung sampai siku, kain itu membalut tubuh tegapnya hampir ketat. Dada putih kokoh itu nampak terlihat ketika dua kancing atas terbuka.

Jenza baru saja menyelesaikan proyek di Brazil, dan tanpa beristirahat, langsung terbang ke California setelah pesan singkat dari Teran masuk ke ponselnya. Pikirannya terus berputar pada satu hal, kegagalan.

Kegagalan yang tidak pernah bisa dia toleransi, terutama dari orang-orang yang dia percayai. Dan kali ini, Teran telah menghancurkannya.

Ketika Jenza memasuki markas L'Ordine, setiap orang yang ada di sana bisa merasakan kehadiran Jenza seperti badai yang mendekat. Mata-mata para anggota yang berada di sana dengan cepat beralih menghindari tatapannya.

Suasana mencekam terasa lebih berat dari biasanya. Bahkan tembok pun seolah meresapi ketegangan yang Jenza bawa bersamanya. Sepatu kulit hitam itu terus berketuk di ubin hitam. Bagai alarm siaga yang kian dekat.

Jenza masuk ke ruang pertemuan dengan langkah cepat. Di sana, Teran sudah menunggu, wajahnya nampak gentar namun tetap berusaha terlihat tegar. Dia tahu, amukan Jenza bukan sekadar kemarahan biasa-itu adalah kekuatan destruktif yang mengerikan.

Jenza tidak langsung bicara. Napasnya berat, dadanya berdenyut dengan amarah yang semakin sulit dia kendalikan. Pikirannya penuh dengan berbagai cara untuk menghukum orang di hadapannya ini. Dia memandang Teran dengan tatapan menusuk.

Suara deguman keras memulai lebih dulu, Jenza baru saja menendang kursi kayu di depannya. Terlempar sampai satu meter jauhnya, belum lagi kursi itu yang sudah berubah tak layak pakai. Para bawahan termasuk Teran bahkan kesulitan menelan saliva mereka.

"Apa yang kau lakukan, Teran?" suara Jenza akhirnya pecah, nadanya rendah dan mematikan, seperti desis ular yang siap mematuk mangsanya. "Apa yang terjadi di pelabuhan?"

Teran mencoba bicara, tapi kata-katanya terputus. Rasa takut tampak jelas di wajahnya. "Jenza, aku bisa jelaskan..."

Namun sebelum dia bisa melanjutkan, tangan Jenza mencengkeram leher Teran dan menariknya ke depan wajah pria itu. Seketika wajah Teran memerah dengan urat leher menegang. Nafas pria itu perlahan juga mulai tersendat. Hawa panas menerpa wajah Teran, Jenza seperti banteng yang mengamuk.

Mata Jenza menyalak marah. "Kau bisa jelaskan? Jelaskan padaku kenapa operasi ini berantakan!" Suaranya berat terseret amarah.

"A-anak b-buahku di pelabuhan...akh-" Teran memegang pergelangan tangan Jenza ketika cengkraman di lehernya menguat, pasokan udara seolah di blokir hanya dengan cekikikan nya, suara Teran terputus-putus.

"M-mereka me-mundurkan waktu bongkar muatan yang diperintahkan. Itu yang..akh!, menyebabkan kita ketahuan. Tapi a-ku bertindak cepat! Aku-"

PLAK!

Suara tamparan keras mengudara, mengenai pipi putih pria bersurai blonde itu. Panas...nyeri... perih...itu yang Teran rasakan. Seolah belum cukup, kini dengan tak berperasaan nya Jenza menendang kuat bagian ulu hati milik Teran.

BUGH!

"Aghh-!"

Teran dibuat tersungkur mengenaskan, sampai menghantam dinding dibelakangnya. Pria itu nampak tak berdaya melawan sang Cope. Jenza-pria itu dengan tak berperasaan, menginjak kuat dada Teran, menginjak seolah Teran bukanlah manusia.

VELENOSOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang