Perdo? Non!

52 35 13
                                    


Galleria Vittorio Emanuele II -
Ristorante Cracco
19.25 PM

Jenza tampak luar biasa malam ini, ketampanannya terpancar dalam balutan setelan jas hitam yang rapi. Wajahnya berseri, mencerminkan antusiasme dan kegembiraan yang tidak bisa disembunyikan.

Matanya menyapu ruangan VIP Ristorante Cracco yang telah disulap menjadi tempat yang memancarkan keromantisan dan kemewahan. Ruangan VIP yang dipesan oleh Jenza menjadi panggung bagi malam yang sempurna.

Lilin-lilin putih yang tinggi dan ramping berderet di atas meja makan dan beberapa sudut ruangan, cahayanya yang temaram memantulkan kilauan lembut di dinding berwarna krem. Di atas meja, kelopak mawar merah berserakan, membentuk pola yang tidak beraturan namun indah.

Vas kristal di tengah meja dipenuhi mawar merah muda, melambangkan ketulusan dan cinta yang mendalam, seolah-olah setiap detail di ruangan ini berbisik tentang cinta yang ingin diungkapkan Jenza malam ini. Hanya untuk kekasihnya.

Aroma lavender kesukaan gadisnya yang menenangkan memenuhi ruangan, menyatu dengan harum mawar yang segar, menciptakan suasana damai yang kontras dengan gemuruh hati Jenza.

Musik jazz mengalun pelan dari speaker tersembunyi, mengiringi setiap detik yang berlalu dengan keanggunan dan kemewahan. Di sisi kanan ruangan, ada ruang terbuka yang sengaja disiapkan oleh Jenza untuk berdansa dengan Illechia.

Mata Jenza menelusuri setiap sudut ruangan dengan perasaan campur aduk. Ini adalah malam yang ia persiapkan dengan hati-hati. Kamera yang telah diatur sebelumnya akan merekam setiap momen kebahagiaan dirinya dan Illechia.

Jenza menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan kegugupan yang mulai merayap. Tangannya yang dingin saling menggenggam setinggi bibir, lalu ia hembuskan napas pelan di atasnya, mencoba mengusir rasa kegugupan yang melanda.

"Sempurna," bisik Jenza pada dirinya sendiri, meyakinkan bahwa segala sesuatunya berjalan sesuai rencana yang telah dia susun.

Jenza merasa hatinya mulai berdebar lebih cepat dari biasanya. Dia hanya belajar berdansa selama dua jam saja untuk malam ini, itu pun di kantor saat ia punya waktu luang.

Saat Jenza melihat jam di pergelangan tangannya, keceriaan di wajahnya perlahan agak memudar. Sudah tiga puluh menit berlalu, dan Illechia belum juga datang.

"Pasti karena bersiap terlalu lama," gumamnya, Jenza tahu Ille itu selalu heboh soal penampilannya bahkan jika jalan-jalan ke pusat perbelanjaan sekalipun.

Jam terus berdetak, dan suasana hati Jenza mulai bergeser menjadi kecemasan. Lilin-lilin yang tadinya penuh sinar, kini mulai menyusut, ponsel di tangannya tetap sepi, tak ada pesan atau panggilan yang datang, terakhir hanya jawaban Illechia yang setuju bertemu.

Matanya melirik ke arah jendela restoran, berharap melihat bayangan yang ia tunggu-tunggu, namun yang ia temukan hanyalah kegelapan malam yang semakin pekat.

"Dia pasti datang," bisik Jenza, mencoba meyakinkan hatinya yang mulai goyah sambil menggoyangkan ponselnya.

"Dia pasti datang, Chia tidak akan mengecewakanku malam ini." Lanjutnya lagi kali ini mengetuk-ngetuk meja bertabur kelopak mawar merah itu dengan jari telunjuknya.

Namun, dua jam berlalu seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Hatinya mulai dihinggapi rasa takut yang tak bisa ia lawan. Keringat dingin membasahi dahinya. Bahkan pria itu sudah duduk, juga mondar-mandir menunggu.

Kemudian, suara ketukan di pintu mengagetkannya dari lamunan. Jenza segera berdiri, wajahnya penuh harap dan sedikit ada kelegaan, ia melangkah cepat menuju pintu.

VELENOSOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang