PROLOGUE

60 8 22
                                    


Fheby menatap datar mangkuk yang sedari tadi hanya ia aduk-aduk isinya tanpa ia makan, pikirannya menerawang jauh, seandainya waktu bisa di ulang dan semua bisa di pilih sejak awal, gadis itu sangat ingin mengubah segalanya termasuk jalan yang ia ambil saat ini. Ia kembali menghela nafas kasar, semua semakin terasa berat di pundaknya. Ingatan tentang rumah neneknya yang nyaris di sita bank, pamannya yang tidak bertanggung jawab itu meninggalkan hutang yang cukup besar untuk neneknya, dan mau tidak mau Fheby harus turun tangan menyelesaikan semua masalah ini. Jika dirinya tidak berusaha meringankan beban neneknya, siapa yang akan melindungi neneknya jika bukan Fheby sendiri? kakaknya? Renald bukan orang yang akan turun tangan semudah itu bahkan untuk keluarganya sendiri, ia tak bisa berharap banyak pada kakaknya itu, sampai sejauh ini hanya dirinya sendiri yang dimiliki neneknya. Semua terasa semakin berat dalam pikiran Fheby.

"Mau sampai kapan di aduk-aduk aja? udah berubah jadi cacing itu mie nya," komentar Haruto membuat Fheby mendongak, gadis itu menghela nafas lagi sebelum akhirnya ia menatap haruto yang mengambil tempat duduk di depannya dengan pandangan skeptis.

"Ruto, gue mau nanya boleh?" tukas Fheby dengan mata yang menatap serius sahabatnya itu.

"Makan dulu!" pinta Haruto dengan dagu yang mengarah ke mangkok Fheby seakan meminta gadis itu untuk menghabiskan makanannya dulu.

"Takutnya nanti lupa!" sangkal Fheby tak mau mengalah.

"Mie nya udah segede cacing juga! Mau nunggu segede piton?" sarkas Haruto membuat Fheby mendengus kesal namun akhirnya gadis itu mengambil sesendok kuah mie untuk ia lahap, "jangan kuahnya aja! Mie nya juga di makan!" sambung Haruto.

"Iya bawel! Ini juga makan!" pekik Fheby lalu memasukkan suapan mie ke mulutnya. Haruto tersenyum tipis melihat reaksi Fheby yang penuh emosi itu, ia meletakkan sebungkus kerupuk yang baru ia buka di samping Fheby. "Makasih..." sahut gadis itu langsung mengambil potongan krupuk dan menikmatinya bersama mie yang mulai dingin.

"Lo kurusan sekarang," tukas Haruto membuat Fheby menatapnya enggan.

"Nanti kalau berat badan gue naik, lo mau bilang gue gendutan?"

"Emang gue pernah bilang lo gendut?"

"Nggak sih,"

"Don't skip meal!"

"Gak ada gue skip makan!"

"Iya, gak skip makan sekali. Selebihnya makan kalau mood doang?!" tukas Haruto menatap tajam Fheby.

"Banyak yang gue pikirin To, makanya gue kadang lupa... tapi kalau sarapan gue inget kok!" elak Fheby hanya mampu membuat Haruto menghela nafas. "Sekarang gue boleh nanya?" tanya Fheby menatap Haruto penuh harao.

"Mau nanya apa?" tanya Haruto setelah menelan makanan yang masuk ke mulutnya.

"Lo kan pernah tinggal di Jepang, buat ngurus berkas-berkas ke luar negri butuh biaya sampai berapa?" Pertanyaan Fheby sukses membuat Haruto menghentikan kegiatan makannya.

"Lo mau ke luar negri?" tanya Haruto membuat pundak Fheby merosot dan mendengus kesal.

"Jawab pertanyaan gue To, bukan malah balik tanya!" protes Fheby menatap tajam pria di depannya itu.

"Lo lagi butuh duit banyak?" tanya Haruto lagi tanpa merespon adu protes Fheby.

"To! Jawab pertanyaan gue dulu!" tegas Fheby tak lagi di hiraukan Haruto.

"Lo kalau butuh duit ngomong aja, berapapun gue ada By..." sahut Haruto serius.

"To?!" Sela Fheby kesal. "Gue udah terlalu banyak ngerepotin lo, ini tuh lebih rumit dari yang lo kira! Lo mau ikut-ikutan keluarga gue yang ngehalangin apapun yang pengen gue perjuangin? Lo juga mau menghambat tujuan gue?" tanya Fheby dengan nafas menderu antara marah dan kecewa.

"nggak gitu maksud gue, kerja di luar negri itu keras! Kalau tujuan lo keluar negri buat kerja, lo kemakan iklan mana? Kerja di luar negri tuh nggak se enak yang di promosikan di sosial media, apalagi kalau tujuan lo Jepang Korea, jadi buruh di sana itu keras! Gue gak mau lo kenapa-napa," terang Haruto mencoba membuka sudut pandang lain di hadapan Fheby, karena nyatanya menjadi pekerja industri baik di Jepang maupun Korea tidak seindah yang di beritakan di portal-portal online. Apalagi yang sampai memberi umpan dengan mengatakan gaji perbulannya jika di rupiahkan bisa sampai empat puluh juta atau mungkin ada yang lebih dari itu, realitanya setelah menjadi imigran semua tidak sesuai dengan ekspekstasi yang di bangun selama proses pelatihan kerja. Bagi Haruto itu sangat miris, ia tidak bisa membiarkan Fheby menjadi korban keterlaluannya lembaga pelatihan kerja yang sejauh ini sudah terbanting mentalnya dengan fakta di negri orang. Tapi mungkin itu akan berbeda jika pekerjaan yang di ambil mengarah pada pekerjaan profesional.

"Gue emang mau kerja ke luar negri, tapi gue gak bilang mau ke Korea atau ke Jepang kan? Kenapa lo langsung ambil kesimpulan seakan-akan gue mau kesana?" sahut Fheby mengerutkan keningnya.

"bukan Korea? Bukan Jepang?" tanya Haruto.

"Bukan, masa iya dulu negara gue di jajah Jepang trus sekarang gue mau kerja di Jepang? Berasa di jajah dua kali dong gue?" celetuk Fheby sambil menikmati makanannya lagi.

"Lo lupa ya? Gue ini punya darah Jepang lho, enteng bener itu mulut kalau ngomong?" tukas Haruto membuat Fheby memutar bola matanya malas.

"Itu sejarah lho, mau di hapus kek manapun gak bakalan bisa! Itu fakta! Kenapa? Lo tersinggung?" sahut Fheby menatap Haruto dengan ekspresi yang sangat santai.

"iya sih, nenek moyang gue jahat ya?" celetuk Haruto sontak membuat Fheby terbahak, untungnya ia sedang tidak menelan makanan hingga tidak ada drama tersedak, "emang bener kan?" sahut Haruto lagi.

***

Partina menghela nafas panjang sembari menatap pigura kecil di tangannya, foto dirinya dengan Fheby dan Renald kecil. Cucunya yang sangat berharga, namun sampai sejauh ini ia bahkan belum bisa membahagiakan cucu-cucunya. Seandainya Partina mampu mendidik putra bungsunya dengan baik dan membuat Andre mampu menjadi manusia berguna, ia rasa semua tidak akan serumit ini. Ia selalu merasa gagal dalam mendidik Andre, hingga dengan penuh sesal ia harus membiarkan Fheby menanggung semua sendirian.

"Tuhan, hamba mohon lindungi cucu-cucu hamba dalam kasihMu. Hamba hanya bsa memohon belas kasih padaMu Tuhan..." doa Partina dengan meletakkan kepalan tangan lembutnya di dada kiri, jika saja dirinya masih mampu berjalan kesana kemari sudah pasti Partina akan menyelesaikan persengketaan rumah ini tanpa melibatkan cucu-cucunya. Partina mengusap lututnya sebelum akhirnya memindahkan pigura di pangkuannya itu ke meja, Partina pun memutar roda kursinya ke arah ranjang untuk merebahkan tubuh rentanya yang mulai lelah.

***

"Dia bahkan tidak layak di sebut paman! Sialan!" gerutu Renald lalu membanting ponselnya ke sofa yang tak jauh dari tempat lelaki itu berdiri. Beberapa saat yang lalu dirinya menerima panggilan yang menyulut emosinya.

Renal meraih cangkir kopi dari mejanya, merasakan sedikit aroma pahitnya sebelum akhirnya ia memungut kembali ponsel yang semula ia lempar.

"Fheby?" sapa Renald begitu panggilan terhubung dan mendengar suara lembut adiknya.


***

SAY Yess!!! [HARUTO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang