"Kalau seandainya Fheby ngga mau menikah gimana eyang?" tanya Fheby dengan pandangan menerawang, ia tak tahu harus menanggapi bagai mana permintaan Partina semalam. Jangankan untuk menikah, tertarik dengan sosok lelaki di dunia nyata saja dirinya enggan terlibat, sebatas hanya berteman dan bersahabat, selebihnya ia tidak mau terjebak dalam pusara perasaan yang ia yakini akan sangat melelahkan.
"Ya kamu tau kan jawabannya?" sahut Partina cuek sambil menikmati teh hangatnya.
"Tapi pendapatan di luar negri lebih menjanjikan eyang," tukas Fheby mencoba menggali persetujuan neneknya, ia tak mau terjebak pada hutang piutang yang tak ada habisnya karena ulang paman tak tau diri itu. Tapi apakah orang seperti Edo pantas di sebut paman, daripada paman ia lebih pantas di sebut setan.
"Mau kemana emangnya? Jepang? Korea? Hongkong?" Fheby menggeleng, Partina menghela nafas panjang. "Eyang juga pernah muda, nggak ada pekerjaan yang semudah itu menadapat penghasilan lebih. Harus ada usaha yang selalu diatas rata-rata... Kalaupun memang mau keluar negri, sudah ada modalnya? Keluar negri itu bukan sebatas kamu ikut pelatihan terus bisa langsung terbang ke negara mana yang mau kamu tuju..." terang Partina mencoba menahan Fheby dengan berbagai cara, kalau memang ini jalan terbaik ia akan membiarkannya, namun Partina tetap harus memastikan cucu kesayangannya ini dalam perlindungan seseorang.
"Fheby tau, rencana Fheby tuh masih akhir tahun nanti eyang... Masih beberapa bulan lagi. Fheby mau ambil program ausbildung, biar Fheby tetep bisa kuliah meskipun sambil kerja..." ujar Fheby lalu menjelaskan rencananya yang sebenarnya, barangkali dengan alasan kuliah ia bisa pergi sendirian ke Jerman nantinya.
"Meskipun sambil kuliah, eyang tetep nggak tenang kalau kamu sendirian..." sahut Partina membuat Fheby menjatuhkan pundaknya lelah, reaksi neneknya ini jelas, jika tidak menikah maka ia harus ke Jerman dengan Renald, jangankan menemaninya ke Jerman ketika mendengar rumah ini nyaris di sita bank dan Fheby meminta bantuan dana sedikit saja kakaknya itu enggan.
Fheby mengingat percakapan terakhir dengan neneknya pagi tadi sebelum kembali ke kota, pikirannya runyam. Dirinya memang belum sepenuhnya ada modal untuk pergi ke Jerman, tapi rencana seperti ini harus di bicarakan dengan neneknya, entah kenapa segala sesuatu yang akan Fheby putuskan rasanya lebih tenang ketika mendapat ijin neneknya di banding tanpa restu. Rencananya masih sangat panjang, kerja yang serius, pendapatan sebagian untuk di tabung sebagian untuk cicilan ke bank meskipun tidak pernah benar-benar menutupi tagihan bulanan, seperti yang harusnya di bayarkan enam juta tetapi dirinya baru bisa memberikan dua juta. Rasanya sangat menyakitkan serasa berjuang sendirian.
Dering telephone membuyarkan angan-angan Fheby, gadis itu menatap layar ponsel sebelum akhirnya mengangkat panggilan itu.
"Apa to?" Sapa Fheby begitu mendengar suara Haruto.
"Bisa ketemu gak?" Tanya Haruto membuat Fheby diam sesaat.
"Gue pengen es krim," sahut Fheby sontak terdengar Haruto terkekeh di ujung sana.
"Di tempat biasa ya! Gue tunggu!" tukas Haruto pasti.
"Sekarang?" Tanya Fheby.
"Nggak, Tahun depan!" sahut Haruto terdengar sarkas.
"Okey! Ya udah kalau tahun depan, gue mau tidur aja capek..." jawab Fheby dengan nada suara yang lelah, ia merebahkan lagi punggungnya ke pinggiran ranjang.
"Ya sekarang lah By! Buruan!" tukas Haruto terdengar suara kekehannya mendapati Fheby yang tampak lelah.
"Hehehe... Ice cream! I'm coming!!!" teriak Fheby langsung turun dari ranjangnya bergegas siap-siap menuju kafe biasanya mereka bertemu tanpa mematikan panggilan telephone.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAY Yess!!! [HARUTO]
Hayran KurguFheby menghadapi situasi di mana ia harus memilih menyerahkan diri atau mencari opsi lain untuk berkembang dan menyelesaikan semua masalah yang ada. Namun di tengah upaya Fheby, keluarganya tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Hingga akhirnya ia men...