Bab 15 Trauma

39 3 0
                                    

Suara tangisan menggema di tengah rumahnya kala itu. Hania berjalan dikerumunan dengan tubuh kecilnya. Matanya mengedar ke sekeliling dengang raut bingung. Ada wajah-wajah yang dikenalnya tampak menangis, entah menangisi apa.

Tubuh Hania pasrah ketika seseorang menariknya, menundukkan tubuhnya hingga terduduk di depan sesuatu yang tertutupi kain cokelat bercorak. Kerumunan menjadikannya pusat perhatian.

“Wanti ….”

“Mbak Wanti ….”

Terdengar orang-orang memanggil nama Ibunya sambil melihat ke arah sesuatu yang tertutupi kain itu yang entah apa. Hania berusaha memaknai situasi. Matanya ikut tertuju di sana juga. Cukup lama.

Sampai tiba-tiba tubuhnya bergerak tanpa ia sadari. Rasa penasaran yang bertumpuk menggerogoti sekujur tubuhnya. Tubuhnya perlahan mendekati sesuatu itu. Tangannya spontan menyingkap sebagian kain itu sampai muncullah wajah Ibunya yang wajahnya penuh dengan luka-luka tak berdarah. 

“I–ibu–” 

Kerongkongan Hania rasanya tercekat saat mengatakan kata itu. Tangannya perlahan meraba wajah pucat itu hingga dadanya mendadak begitu sakit.

“Ibu … Ibu … Ibu!!!”

Hania mengerjap dengan nafas terengah. Ada wajah Kenan yang pertama kali dilihatnya tampak seperti berbicara padanya. Tapi entah apa. Hania tak mendengarnya dengan jelas.

“Nia! Nia! Hey! Nia! Jawab, Nia! Kamu dengar saya tidak? Nia?” Kenan sampai menggoyang-goyangkan tubuh Hania. Tapi ratapan perempuan itu begitu kosong. Memandang ke arahnya tapi tidak merespon apapun. “Hey! Dia kenapa? Kenapa dia seperti ini?” tanya Kenan pada laki-laki beruban yang berdiri tak jauh darinya. 

“Tenang, Ken. Hania baru sadar. Beri dia waktu untuk lebih tenang. Tidak ada masalah apapun saat saya memeriksanya tadi.” 

Brian, Dokter pribadi Kenan yang sengaja Kenan bawa –diam-diam– ke tempat bulan madunya ini bicara begitu santai. 

“Lo yakin? Kenapa dia bertingkah aneh?”

“Pak Ken….” Hania tiba-tiba bicara.

“Nia! Kamu tidak apa-apa, kan? Gak ada yang luka, kan?” 

Kenan sampai menangkup wajah Hania erat, memutar kepalanya ke kiri dan kanan untuk memastikan memang benar tak ada masalah apapun seperti perkataan Brian tadi.  

“Pak ….” Tangan Hania menarik tangan Kenan untuk melepaskan wajahnya. “Saya gak apa-apa kok. Kenapa ada Dokter Brian di sini?”

Dokter beruban tapi wajahnya tak berkeriput itu melemparkan senyuman pada Hania. “Hai, Nia. Saya dipanggil karena katanya kamu tidak sadarkan diri di tengah laut. Hampir tenggelam kata Kenan. Untungnya kamu baik-baik saja. Kamu hanya perlu istirahat dan makan yang cukup. Tak ada masalah. Katakan saja pada Kenan bahwa dia tidak perlu khawatir.”

Hania melirik Kenan dengan wajah bingung. “Saya hampir tenggelam?”

Kenan melirik Brian sekilas. Tak lama Dokter itu keluar dari ruangan itu. 

“Begitulah. Kalau kamu ingat. Kalau tidak pun, tidak masalah. Semua baik-baik saja.”

Hania memandang sekeliling, termasuk dirinya. Meraba-raba tubuhnya seperti kehilangan sesuatu.

“Pak Kenan, siapa yang ganti baju saya?” tanya Hania takut-takut.

“Lebih baik kamu istirahat seperti yang Brian katakan, Nia.”

DIPAKSA JADI JODOH (on going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang