Chapter 1 : Seorang Penguntit

249 31 17
                                    

Catatan Author :

Hai gais. Silakan vote dan komen untuk mendukung penulis menyelesaikan ceritanya. Terimakasih.

Aku barusan saja sampai di rumah pukul dua pagi. Setelah menempuh penerbangan nyaris tujuh jam dari Boston ke Seattle, istirahat adalah satu-satunya yang kubutuhkan. Rasanya masih seperti berada di atas kapal dengan laut yang bergelombang dan bergoyang ke sana kemari sehingga membuatku pusing. Aku butuh istirahat minimal dua atau tiga jam lagi.

Namun pukul sepuluh matahari sudah meninggi. Sinarnya dengan lancang merayap masuk meraba-raba permukaan kulitku dengan panasnya. Karena tentu saja ada seseorang yang membuka tirai. Siapa lagi kalau bukan ibuku? Sosoknya memanggil-manggil namaku, 

"Lizzy Rose! Lizzy Rose, bangun!..." 

Sepertinya dia sudah mengoceh sejak sebelum aku bangun. Setengah mataku mulai berhasil membuka dan kulihat Ibu membuka koper-koper yang belum sempat aku keluarkan. Masih samar-samar kudengar dia membahas mengenai menemaninya belanja perlengkapan dekorasi untuk kamar bayi dan lain sebagainya. Ah, aku benci belanja. Itu kegiatan yang paling melelahkan ditambah jika melakukannya bersama ibuku.

"Liz! Ayo bangun. Kita harus ke toko mebel! Austin perlu kamar yang cantik."

Siapa Austin?

Aku mengerang malas. Menekan wajahku di bantal yang harum shampoku sendiri. 

"Aku mau istirahat saja seharian ini, Ibu. Kasihanilah aku! badanku remuk," rengekku.

Ibuku berkacak pinggang. "Apa kau tidak mau lihat Austin? Matanya sebiru ayahnya."

Oh benar! Aku melupakan salah satu alasan mengapa aku sangat bersemangat untuk pulang ke Seattle. Keponakan baru! Saudara laki-lakiku barusan saja mencetak anak yang katanya sangat tampan! Dan namanya pun sangat tampan. Austin!

Mendengar ibu mendeskripsikan sosoknya berhasil membuatku semangat. Dan bahkan terlalu bersemangat, karena aku langsung terduduk.

"Baiklah. Aku ikut. Tapi ayah ikut?" tanyaku. Aku akan sangat bersyukur kalau ayahku ikut supaya aku tidak bosan saat sedang berbelanja.

"Ayahmu sedang memancing dengan teman-temannya. Kau lupa dia punya klub memancing?"

"Ah dasar ayah. Apa dia tidak mau membantu kita?"

"Dia tidak bisa melewatkan klub memancingnya."

Benar. Begitulah ayahku.

Lututku bergoyang-goyang saat ibuku menyentuh satu lagi koperku. Dia mengeluarkan beberapa pakaianku yang memiliki warna-warna cerah karena aku menyukai warna-warna yang mencolok apalagi jika di bawah sinar matahari. Seperti biru, kuning, hijau, merah, dan oranye. Saat dia menyusunnya ke lemari, dia mengeluarkan benda kesayanganku yang kugunakan jika sedang bosan.

Teropong.

"Kau masih menyimpan benda ini?" tanyanya. Itu adalah benda peninggalan kakek yang kuambil dari tempat penyimpanan barang-barang yang akan disumbangkan ke Goodwill. Mana aku setuju! karena aku sudah sangat menginginkannya sejak lama. Jadi aku mengambilnya.

Aku berdiri untuk mengambil benda itu dari tangan ibuku. Lalu kembali duduk di pinggir ranjang sambil menelitinya. Teropong milikku adalah jenis binocular. Yang punya dua lensa dan masih sangat bagus digunakan padahal katanya benda ini sudah berusia puluhan tahun. Dulu kakek menggunakannya untuk berburu hewan, mengintai calon buruan dari jarak jauh. Tapi aku menggunakannya untuk mengintai sesuatu, tentu saja bukan hewan. Melainkan memindai objek-objek bergerak yang tidak sadar sedang diawasi. Dan karena lingkungan asrama tempatku kuliah itu punya gedung yang terpisah dengan asrama pria, jadi, aku biasa duduk di dekat jendela dan mengintai mereka diam-diam.

THE DEVIL SEDUCTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang