Chapter 9 : Pembicaraan tengah malam

123 22 3
                                    

Demam melanda Lizzy. Kala itu dia berumur sebelas tahun dan masih mengenakan piyama hello kittynya yang sudah dia pakai selama dua hari. Rambut panjangnya belum dikramas sehingga tampak tidak terurus.

Lizzy ingat hari itu hari Sabtu. Hanya ada dia dan Michael di rumah karena orangtuanya sedang ada acara makan malam di rumah tetangga baru yang berada ujung blok di kawasan Belt Town.

Hujan pun turun sejak petang. Melalui kaca jendela kamarnya yang berembun, Lizzy dapat melihat pekarangan rumah keluarga Gregory beserta anjing-anjing yang berada di rumah mungilnya.

Menjelang malam, dia mulai merasa lapar. Biskuit di kamarnya sudah habis. Dia harus mengambilnya ke dapur di lantai bawah. Jadi, dengan kepala pusing dia beranjak dari tempat tidurnya.

Dan pada waktu dia akan turun ke lantai bawah untuk mengambil biskuit buatan ibunya itu, dia harus melewati kamar kakak laki-lakinya Michael yang nyaris tidak tertutup rapat.

Lizzy mendengar ada suara perempuan. Dan pembicaraan samar-samar.

"Nanti adikmu terbangun."

"Tenang saja, dia demam dan tidak akan bangun sampai besok pagi. Ayo kita lakukan."

"Kalau itu maumu."

Lizzy datang mendekati kamar tersebut dengan langkah pelan-pelan. Lalu mengintip melalui celah daun pintu. Menyaksikan Kakaknya Michael yang berumur tujuh belas sedang melakukan hal tidak senonoh bersama Nyonya Gregory, tetangga di seberang jalan rumah mereka.

Lizzy membeliak. Dia mundur dan terkejut bukan main. Sampai-sampai dia tidak sadar. Saat dia ingin cepat-cepat turun dari tangga, dia tergelincir jatuh dan terguling-guling hingga mencapai dasar. Lalu, tidak sadarkan diri. Begitu bangun, dia sudah ada di rumah sakit dengan kepala diperban dan lengan dipasang gips karena lengannya ternyata patah akibat jatuh dari tangga.

Memori kelam itu disimpan rapat-rapat di kepala Lizzy. Dia selalu mengawasi rumah di seberang jalan sana sejak saat itu, menggunakan teropongnya. Entah itu adalah sebuah kebiasaan aneh, Lizzy tidak mengerti.

-0o0-

"Apa kau punya kemampuan semacam itu? mengetahui masa lalu orang lain?" pertanyaan terlontar kepada Jafi. Keduanya duduk di kepala ranjang dan Lizzy tidak percaya dia berada di sana bersamanya.

Jafi menjawab. "Ya." Sambil mengerutkan dahi. Dia menoleh pada Lizzy di sampingnya. "Tapi aku tahu ada sesuatu yang menimpa seseorang dilihat dari perilakunya. Seperti halnya dirimu."

"Terlihat begitu jelas?"

"Ya."

"Jadi, kau, kakakmu, dan tetanggamu sampai saat ini menyimpan rahasia itu rapat-rapat. Itu alasannya?"

Lizzy mengangguk. Dan berharap Jafi tidak menanyakan apa yang belum siap dia ceritakan kepada orang lain selain dia dan Michael. Karena mereka berdua memutuskan untuk membuang memori tersebut dan memulai hubungan yang sehat selayaknya keluarga. Ditambah kini, dia punya keponakan tampan. Lizzy hanya tidak mau merusak rumah tangga kakaknya.

"Bagaimana denganmu?" tanya Lizzy pada Jafi. Pria itu diam selama beberapa lama sampai Lizzy kira Jafi enggan menjawabnya lagi. Dan memang, Jafi seakan tidak mau bicara apapun lagi. Dia diam dan Lizzy hanya menatapnya dari sisi samping. Hingga segores bekas luka di bagian dada tertangkap mata melalui kemeja yang tidak dikancing beberapa.

Sadar akan perhatian Lizzy, Jafi menoleh padanya dan melihat dirinya sendiri. Jafi tersenyum tipis.

"Kau mau aku membukanya?"

Dengan polos, Lizzy mengangguk.

"Well. Baiklah. Dengan senang hati."

Lalu, Lizzy menyaksikan sewaktu Jafi membuka pakaiannya, dilihatnya bekas luka yang amat banyak di tubuh pria itu. Matanya sampai membola dan mulutnya terbuka. Tidak pernah dia tahu seseorang dapat memiliki bekas luka sebanyak itu. penyiksaan seperti apa yang dialami Jafi? Apa yang terjadi padanya?

Luka-luka itu berupa goresan-goresan panjang, dan bekas luka bakar yang membuat Lizzy meringis.

"A-apa yang terjadi padamu?" tanyanya.

Saat Lizzy menyentuh bekas luka sayatan yang ada di bagian dada, Jafi menangkap tangannya dan menatap matanya. Lizzy menelan ludahnya kasar. Tatapannya yang semula selalu terlihat tidak nyaman itu kini berubah menjadi sesuatu bermakna rasa kasihan.

"Aku seperti memang harus menciummu untuk ini," katanya. "Aku membiarkanmu menyaksikannya dan satu-satunya orang lain yang tahu."

"Kenapa kau memberitahuku?"

"Karena kau spesial," bisik Jafi. Dia menarik Lizzy mendekat dan membuat gadis itu berada di pangkuannya. Lizzy merasa tubuhnya hanya mengikuti saja. Dan dia merasa tidak apa-apa. Jafi sangat tampan dengan seluruh bekas luka itu. Kedua mata yang menatap tajam sangat menarik. Dan dia tertarik mengetahui lebih banyak tentangnya.

Lizzy bisa mendengar suara nafasnya sendiri yang mengalami perubahan seiring debaran yang liar. Jafi mendekatkan wajahnya, dan lengannya mengunci tubuhnya hingga melekat erat. Dan pada saat akhirnya Jafi membuka bibir dan meraup miliknya, Lizzy merasa tersengat aliran listrik yang membuat kedua tangannya mengepal di pundak Jafi.

Bibir hangatnya turun seiring tangan-tangan Jafi menelusup ke balik blus kemudian menariknya hingga terlepas dari tubuh. Membuka tanktop hingga saat tangannya akan membuka pengait bra, Lizzy menjauhkan bibir Jafi dari bibirnya dan menatap dengan panik.

-0o0-

"Percuma! Kau tidak ada apa-apanya dibandingkan dia, Eric. Yang ada kau akan dikejarnya lagi." Barbara mencengkram pinggiran westafel sambil menangis. "Kita tidak punya apa-apa, Eric," isaknya.

"Setidaknya aku mencoba menangkap pria berengsek itu. Dia sudah membuat trauma adikku!"

Keduanya sama-sama melihat Melisa yang tatapannya kosong, duduk di lantai kamar yang terbuka. Jafi sialan. Apa yang sudah diperbuatnya pada adiknya yang polos?! Permainan apa yang merusak gadis polos itu!

"Jangan halangi aku, Ibu. Aku akan mencari banyak bukti kejahatannya. Dia harus mendekam di penjara setidaknya sampai dia sadar dia sudah membuat hidup seseorang hancur."

Kemudian pria jangkung bernama Eric itu keluar dari rumah dalam keadaan marah. Mangkuk serealnya yang sudah dingin ditinggal begitu saja di atas meja. Sementara ibunya, Barbara, mengusap air mata dan menghampiri Melisa yang bahkan tidak melihatnya.

"Maafkan aku, Lisa. Maafkan aku." 

THE DEVIL SEDUCTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang