Chapter 3 : Tenebrific

158 22 7
                                    

"Aku bisa saja membakar kalian berdua kalau aku mau. Tapi, aku harus menahan diri." itu kalimat paling kejam yang tidak akan pernah keluar dari mulut anak laki-laki manapun di dunia ini. Terkecuali Jafi.

Pasangan tersebut tak berkutik di hadapan putera mereka sendiri. Seperti mereka membesarkan perwujudan Iblis di dalam jiwa seorang anak.

Jafi menghantam benda tumpul karena William, ayahnya, tidak mampu menyelesaikan permainan menyusun Puzzle. Mata pria tua itu melototi kepingan-kepingannya yang telah berserakan di lantai marmer. Entah akan seperti apa bentuknya jika sudah berhasil tersusun, mereka tidak pernah tahu. Jafi sengaja. Dia tahu mereka tidak akan dapat menyusunnya, supaya anak iblis ini bisa menyiksa mereka lagi.

Alhasil, William merasakan kepalanya sakit. Pria tua dengan rambut yang sudah mulai penuh uban itu meringis sambil memicing-micingkan mata akibat nyeri yang dia rasakan. Dia tahu, William tahu bahwa Jafi saat ini sedang membalaskan dendam pada kesalahan mereka di masa lalu. Ini adalah penebusan.

Matanya nanar memohon pada puteranya sendiri. "Bagaimana bisa kami mampu memenangkan permainanmu? Kau selalu membuat yang sulit dan kami terlalu tua untuk mempelajarinya ulang. Kami tidak bisa menyusun puzzle sesulit itu!"

"Kalau begitu salah siapa?"

"Jafi..." Grace, wanita yang notabene adalah ibunya memohon padanya supaya siksaan ini dihentikan saja. "Bisakah lain kali permainannya lebih mudah lagi, Nak?"

Jafi mengantungi tangannya di saku dan beranjak dari sofa panjang. "Pernahkah kalian membuat segalanya mudah bagiku?" tanya pria itu. Dia berhenti untuk meneliti wajah-wajah pendosa di depannya, yang duduk di lantai dengan tubuh yang gemetar dan babak belur.

"Kalian tahu aku mulai menghitung hari sejak hari itu? dengan jiwa yang ada di dalam sini?" dia memegang dadanya. Ada nyeri yang tak tertahankan. Kemudian dia tidak melanjutkan lagi ucapannya karena dia rasa percuma. Otot wajahnya berkedut di bagian bibir, matanya sarat akan kebencian seperti dia bukan sedang berhadapan dengan orangtuanya, namun sepasang mahluk yang ingin sekali dia kirim ke neraka. Mereka bukan orang tuanya, merekalah iblis yang membuatnya selalu merasakan ketidakpuasan.

Dan dua orang ini bukan takut karena sudah pernah melakukan kesalahan, mereka tidak pernah menyesalinya. Melainkan sebenarnya, dua orang ini takut nyawa mereka tidak selamat di tangan anak mereka.

"Kita harus memulai semuanya dari awal, Jafi. Tidak seharusnya keluarga saling menyakiti seperti ini."

Jafi segera menyergah ucapan Grace, dia maju sambil menunjuk ibunya dengan nafas memburu. "Itu kau tahu sendiri, kenapa kalian masih melakukan hal sekejam itu padaku?"

"Itu demi kebaikan kita semua. Kau sudah menyelamatkan kita dari kesengsaraan."

Jafi membalik meja hingga pecah. Kekacauan ini terjadi hampir setiap hari. Dan rasanya seperti mimpi buruk. Aura kelam mencekam membayangi tiap sudut rumah. Grace tampaknya mulai depresi, demikian suaminya, William. Tapi mereka bahkan tidak diizinkan mendapatkan bantuan dari manapun karena nyawa mereka bisa mati. Dan rahasia mereka bisa terbongkar. Serta, kekayaan mereka akan sirna dalam satu malam.

"Jika nanti kalian masih belum bisa menyusunnya dengan benar, aku akan kembali dengan hukuman yang baru," kata Jafi. Usai mengatakan hal tersebut, dirinya pergi dari sana.

Jafi melucuti pakaiannya dan membiarkannya terjatuh di lantai selagi dia melangkah menuju Jacuzzi. Dia memiliki tubuh tinggi tegap perwujudan pria matang yang maskulin. Namun tak memungkiri bahwa bekas luka yang memenuhi hampir sekujur tubuh tidak akan pernah hilang bagaimanapun caranya. Seperti dia sudah mati lama dan sosoknya hanya hidup tanpa jiwa.

THE DEVIL SEDUCTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang