Chapter 2 : Permainan Gila

175 21 5
                                    

Silakan divote dan dikomen supaya aku lanjutnya cepet. hehe. 

Rupanya pelamar yang berhasil masuk ke seleksi selanjutnya bukan hanya aku, tetapi ada sepuluh. Tiga di antaranya adalah laki-laki dan sisanya adalah perempuan termasuk diriku sendiri. Dan tidak ada satupun di antara orang-orang yang duduk di ruang tunggu terlihat tenang. Wajah mereka sama khawatirnya sewaktu menunggu giliran.

Tadi, peserta nomer tiga sudah masuk. Dua sebelumnya yang melewati pintu itu seperti belum menemukan keberuntungan mereka karena wajah mereka terlihat kesal dan marah begitu keluar dari sana.

"Apa-apaan dia!" gerutu seorang pelamar wanita begitu keluar dari ruangan itu. Wajahnya memerah seperti dia barusan mendapat penghinaan.

Melihat itu, peserta lain seperti semakin khawatir. Namun aku meyakinkan diriku sendiri bahwa aku bisa menghadapinya.

Tapi... tiba-tiba saja aku butuh toilet. Di situasi genting ini, tubuhku tidak dapat diajak berkerjasama. Maka dari itu, aku buru-buru mencari toilet berhubung nomer antrianku paling terahir.

Ketika berhasil menemukan toilet, menyelesaikan urusanku dan keluar dari bilik, aku bertemu seorang pelamar yang barusan ditolak. Wanita berambut pendek dengan stelan formal. Tampak hebat dan elegan.

Dia membasuh wajahnya lalu menyekanya dengan sapu tangan. Tersisa kekesalan di wajahnya. Dan dia melihatku.

"Seumur hidupku, aku tidak pernah mendapatkan sesi interview seperti itu,"katanya.

Aku mengerjap. "Begitukah?" dia mengangguk.

"Cindy." Dia memperkenalkan diri. Aku menyambut jabatan tangannya.

"Lizzy Rose."

"Nama yang bagus. Aku melihatmu tadi. Dan pakaianmu sangat cantik. Kuning sepertinya warna keberuntunganku juga."

"Terima kasih. Aku suka kuning."

"Ya." Dia tertawa. "Dan kau harus tahu, CEO-nya sangat aneh. Aku tidak pernah melihat yang seperti itu. Walau dia sangat hot."

Sangat hot? Aku tertawa mendengarnya.

"Memangnya apa jenis pertanyaannya? Dan apa yang aneh?"

"Kau pasti akan tahu. Aku dilarang  memberimu bocoran."

Ow, baiklah. Padahal aku sangat berharap mendengarnya supaya bisa mempersiapkan diri.

Cindy sebenarnya sangat terlihat pintar. Aku heran kenapa orang sepertinya tidak lolos pada pertanyaan yang sepertinya sangat sulit menurutnya.

Kami mengobrol yang kukira sebentar. Namun dia justru membahas banyak topik yang dengan bodohnya selalu aku tanggapi lantaran tidak enak apabila langsung meninggalkannya ketika dia bicara. Karena dia pintar sekali menarik perhatian.

Tapi aku menyesali kebodohanku saat pada akhirnya kupikir si Cindy sedang menjebakku. Karena sialan sekali, ketika dia pamit dan aku kembali ke ruangan antre, rupanya sudah tidak ada orang. Bangku-bangku yang tadi berisi kini sudah kosong. Semua peserta sudah habis. Dengan panik, aku mendekati karyawan wanita yang ada di balik resepsionis.

"Apa interview-nya sudah selesai?"

Dia tersenyum kecut. "Maaf sesi interview sudah berakhir sepuluh menit lalu. Kau terlambat."

Ya Tuhan! Aku mau menjambak rambut Cindy!

"A-apakah tidak ada tambahan waktu? Kan baru sepuluh menit?" mohonku.

"Maaf, Tuan J sudah selesai. Dan kau terlambat."

Pupus sudah... kalau sudah begini, aku bisa apa? Mana mungkin memaksa masuk dan berakhir tidak dibolehkan masuk selamanya ke tempat ini. Meski sudah tidak ada harapan, aku memandang tulus pada pintu ruangan itu.

THE DEVIL SEDUCTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang