259. Side Story 34

41 5 2
                                    

Banessa yakin.

Tidak, dia harus percaya diri.

Gelombang kasih sayang yang tiba-tiba telah membakarnya seperti api yang membakar hutan. Ia telah menjadi begitu kecanduan sehingga tidak ada jalan keluar. Sekarang, tidak ada cara lain selain memenangkan kasih sayang wanita itu.

Anjing gila. Banessa pikir julukan itu cocok untuknya. Itu wajar saja. Begitu ia membuat keputusan, rasa takut tidak dapat menghentikannya. Apa yang perlu ditakutkan? Hidup tanpa mendapatkan apa yang diinginkannya-itu adalah neraka yang jauh lebih besar.

"Jadi, Kak, yang perlu kamu lakukan adalah menepati janji yang kamu buat kepadaku."

Yang ia butuhkan sekarang hanyalah hati Deina. Hati Banessa sudah siap, dan yang tersisa hanyalah memenangkan hati Deina. 

Dia belum mendapat balasan dari pengakuannya, tetapi Banessa tidak keberatan. 

Deina adalah seorang Kaisar. Posisinya bukanlah posisi yang bisa membuat keputusan dengan mudah.

Yang harus Banessa lakukan adalah terus melakukan yang terbaik sampai Deina membuat pilihannya.

Itulah alasan sebenarnya dia mengunjungi Deina setiap malam.

Awalnya, Banessa datang tanpa pemberitahuan karena sangat merindukannya. Namun, pada suatu saat, ia menyadari sesuatu.

Deina tersenyum saat bersamanya. Bahkan sekarang.

"Berhentilah mengendus-endus. Kau bukan anjing... geli tau. Haa."

Meskipun dia menggerutu kesal, mata abu-abunya memantulkan kepuasan yang nyata. 

Kenikmatan yang menggetarkan mengalir dalam diri Banessa. Jika dia bisa melihat senyum itu lagi, dia pikir dia bahkan bisa menjilati tanah dari sepatu bot Deina.

Semakin besar perasaannya, semakin Banessa menyesali masa lalu. Ia telah menghabiskan banyak waktu bersama Deina, tetapi ia tidak menanggapi perjuangan Deina dengan serius. la hanya memberikan kata-kata penyemangat yang hampa.

'Bodoh sekali. Kenap aku bertindak seperti itu?'

Betapapun hebatnya dia sebagai seorang Kaisar, kedudukannya tidak akan pernah mudah. Meskipun Banessa mengagumi kebijakan Deina sebagai seorang penguasa, beban yang ditanggung Deina dalam hidupnya membuat Banessa sedih.

Jadi sekarang, Banessa ingin melakukan apa saja untuk Deina, meski sudah terlambat. la bertanya-tanya, apa perasaan ini benar-benar cinta? la berhenti memikirkannya. Bahkan merenungkan pertanyaan itu pun terasa seperti membuang-buang waktu. Tidak ada cukup waktu untuk memberi Deina semua yang ia butuhkan.

Tidak, jawabannya sudah jelas.

Jika pengabdian yang membabi buta itu bukan cinta, lalu apa lagi yang bisa disebut cinta?

Pada saat itu, ia memeluknya erat-erat. la tahu Deina menyukai kehangatannya. Benar saja, rasa kantuk tampak di mata Deina. Sambil bersandar tak berdaya padanya, ia bergumam

"Bangunkan aku satu jam lagi. Pastikan..."

Kelopak mata Deina perlahan tertutup. Saat mata abu-abunya menghilang dari pandangan, Banessa menggigit bibirnya.

Sialan. Wanita dalam pelukannya begitu menawan hingga membuatnya ingin mengumpat.

Mendengarkan napasnya yang teratur, Banessa mencium rambutnya. Suatu hari, ia akan mengatakan bahwa dia mencintainya.

Banessa sudah beberapa kali mengaku menyukainya, hampir seperti anak kecil yang mencari perhatian. Namun, Banessa belum menyatakan cintanya. Dia tidak ingin membebaninya.

[SIDE STORY] The Way to Protect the Lovable YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang