Epilogue : Come and Go

63 13 11
                                    

"I will always miss you."

--------

Gemuruh bertalu-talu diatas langit, seolah tengah bertarung satu sama lain. Belum lagi milyaran butiran air yang menghujani bumi, menimbulkan riak yang bersahutan sekaligus suara yang menenangkan bagi sebagian orang.

Sebagian akan merasa sangat bahagia begitu mereka datang, sebagian lagi sebaliknya. Bagi mereka, hujan dan kedatangannya seolah memanggil kenangan-kenangan buruk. Rasanya begitu menyesakkan, mendesak hati untuk meraung.

Seperti yang tengah dirasakan Todoroki saat ini.

Seminggu telah berlalu sejak Yukio dikebumikan. Meski Todoroki telah sekuat tenaga memapah gadisnya menuju gerbang Oyakou, pemuda itu pad akhirnya juga kehilangan kesadaran ketika baru beranjak beberapa langkah.

Ketika dirinya bangun, Todoroki mendapati Murayama, Tsuji dan Shibaman yang tengah menungguinya. Sang Ibu yang biasanya selalu sibuk bekerja ikut hadir, menangis tersedu-sedu sambil berucap syukur begitu melihatnya membuka mata.

Hanya saja, orang yang paling diharapkan Todoroki tidak terlihat. Ia yang bahkan baru saja sadar berusaha mencari Yukio dimanapun, hingga sebuah kalimat dari Murayama membuatnya membeku,

"Nakamura itu sudah pergi, dia disemayamkan tepat disebelah kakaknya."

Meski terdengar berlebihan, Todoroki merasa bahwa jiwanya ditarik sedemikian rupa. Pemuda itu langsung tertegun selama beberapa menit dengan pandangan kosong, menyangkal isi pikirannya yang mengarah pada satu kalimat.

Yukio sudah pergi.

Gadisnya itu sudah mati.

Syarafnya seolah membeku selama sesaat, otaknya yang begitu pintar pun seolah berhenti bekerja selama beberapa detik. Ia merasa tidak mampu mencerna berita yang baru saja ia dengar. Meski pada kenyataannya, ia telah mempersiapkan hatinya untuk kemungkinan terburuk, Todoroki masih tidak mampu menghadapi prediksinya yang menjadi kenyataan.

Selama seminggu itu, Todoroki terus saja merenungkan seluruh rangkaian kejadian yang ia rasakan selama beberapa bulan ini. Pertemuannya dengan Yukio, kebersamaan mereka hingga serangan yang mereka alami.

Tak cukup sampai disana, kabar lain dari Murayama membuatnya merutuki dirinya sendiri yang belum cukup peka dengan apa yang gadisnya alami. Yukio berjuang sendirian, mengumpulkan sejumlah bukti dan membantu SWORD menguak berbagai rencana besar yang nyaris dilakukan oleh kakeknya dan petinggi Kuryu. Tanpa bantuan siapapun, tanpa dukungan siapapun.

Keadilan memang mereka dapatkan, namun Todoroki sama sekali tidak senang akan itu. Katakanlah dirinya egois, keras kepala, ataupun bodoh. Namun pemuda berkacamata itu hanya menginginkan Yukio hidup lebih baik, bukannya malah mati demi melindunginya.

Perasaan bersalah itu masih Todoroki bawa hingga sekarang, bersama dengan riak hujan di sekelilingnya. Pemuda berpakaian serba putih itu menjejakan kakinya di sekitar rerumputan liar, membiarkannya merasakan tetesan air yang telah menyatu dengan tanah.

Percayalah, kondisinya masihlah lelah. Namun siapa yang mampu menghentikan niat pemuda keras kepala itu? Murayama bahkan sempat ia tonjok karena menghalangi.

Tangan-tangan Todoroki menggapai tetesan air yang masih betah menapaki bumi, berjatuhan silih. Senyum sendunya terukir, membayangkan pertemuan dirinya dan Yukio pada situasi serupa.

Bedanya, gadis itu memayungi dirinya dan menghalau tetesan air yang berusaha mengenai kepalanya.

Bedanya, mereka berakhir di sebuah halte dan saling mengenal. Memulai sebuah ikatan yang kian hari kian menguat.

Bedanya, gadis itu masih hidup, sehat meski penuh luka di hatinya.

Kakinya bergerak, menuju sebuah gundukan tanah yang masih begitu baru. Tangannya yang membawa seikat bunga tulip putih itu terkepal, menahan luka hati yang masih begitu baru.

Dengan seulas senyum tipis, pemuda itu kini setengah berjongkok, tepat di samping makam sang puan tercintanya. Ia meletakkan seikat bunga itu, kemudian menutup matanya sebentar sembari memanjatkan doa-doa terbaiknya bagi si gadis.

"Nakamura Yukio, kau benar-benar tidak adil."

Setelah sekian menit terdiam memandangi makam itu, Todoroki akhirnya mengeluarkan suara, meski terdengar begitu parau.

Todoroki menatap gundukan tanah itu dengan senyum sendu, "Selamat. Kau berhasil membuat orang keras kepala sepertiku nyaris gila karena ditinggal mati. Kau benar-benar luar biasa." Pemuda itu tertawa miris, menertawakan dirinya yang begitu lemah.

Ia begitu yakin bahwa Yukio juga tengah melakukan hal yang sama diatas sana.

"Padahal aku baru saja mendengar suaramu, namun itu malah pertama kali sekaligus terakhir kali aku mendengarnya." Helaan napas terasa begitu berat Todoroki keluarkan. Pemuda itu lantas menatap lembut ke depan, seolah melihat sosok Yukio yang tengah berdiri disana.

"Meski menyakitkan, aku berterima kasih. Hidupku terasa lebih baik saat mengenalmu dan maaf belum bisa menjadi sandaran seperti yang kau inginkan."

Todoroki menggeleng lemah, "Aku gagal," ungkapnya yang terdengar begitu lirih. "Maaf untuk semuanya."

Kepalan tangannya mengerat, "Aku harap di kehidupan selanjutnya, kau bisa mendapatkan hidup yang lebih baik. Keluarga yang mencintaimu, kebebasan untuk hidup dan segala sesuatu yang kau tidak dapatkan di kehidupan ini," Todoroki tersenyum tipis.

"Aku berharap, kita bisa dipertemukan lagi di tempat dan waktu yang tepat."

Pemuda itu pada akhirnya bangkit, lalu berbalik tanpa menoleh kembali. Menyembunyikan jejak air mata yang kembali muncul dibawah pelupuk matanya yang tidak dihiasi kacamata. Air mata itu kini menyatu dengan air hujan, menyamarkan luka hati sang tuan yang tengah menganga.

Kisah keduanya yang diawali tanpa rencana, pun berakhir demikian. Meninggalkan Todoroki yang kini harus bertarung dengan rasa sakit seumur hidup. Merelakan sosok yang begitu berharga dihatinya.

Pemuda itu tidak pernah tahu, sosok yang begitu ia kasihi itu kini memandang punggungnya yang telah menghilang ditelan jarak. Membiarkan dirinya ditembus ribuan rintik hujan demi melihat sang tuan untuk terakhir kalinya.

'Yosuke, mari bertemu di kehidupan selanjutnya.'

-- End --


Love in Silence officially ending. Terima kasih buat teman-teman yang sudah selalu mampir ke sini dan memberikan banyak semangat untuk melanjutkan cerita ini.

Endingnya memang sesuai dengan rencana awal. Aku sudah merancang kalau book ini dengan akhir sad ending.

Alasannya? Nggak ada alasan khusus, karena aku buat buku ini waktu lagi sedih-sedihnya wkwkw

Itu kenapa aku agak lama upnya, mau nyari vibes sedih dulu biar bisa bikin ending sesuai🥲

Okey, sekian dari aku untuk kali ini. Semoga kalian puas dengan endingnya, maaf juga kalau ada yang merasa ending ini kurang sesuai🙏

Salam hangat

San

Love in Silence - Todoroki Yosuke Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang