Di Ambang Kegelapan

0 0 0
                                    

Randu berjalan pelan menyusuri jalan yang baru saja dibuka oleh Penjaga Senja. Suasana di sekitarnya semakin kelam, seolah-olah langit di atasnya menghisap segala cahaya yang tersisa. Tidak ada lagi kilauan samar dari bebatuan di tanah, dan kabut yang sebelumnya berputar lembut kini mulai mengental, mengubah jalan di depan menjadi bayangan yang samar. Hanya suara langkah kaki Randu yang terdengar, menggema di antara kesunyian yang mencekam.

Udara di sekitarnya terasa berat, seakan menekan tubuhnya dengan perlahan, membuat setiap langkah terasa sulit. Namun, Randu tidak berhenti. Hatinya terus mendorongnya maju, meski rasa takut dan ketidakpastian menggelayut di pikirannya.

Setelah beberapa saat berjalan, Randu mulai menyadari sesuatu yang aneh. Di kejauhan, di antara kegelapan, ada titik cahaya kecil yang berkelip. Itu bukan seperti cahaya alam yang biasa ia lihat, melainkan seperti api kecil yang hidup di dalam kabut. Meskipun samar, cahaya itu memberikan sedikit harapan bagi Randu. Mungkin di sana ada petunjuk atau jawaban yang ia cari.

"Apa itu?" gumam Randu, sembari mempercepat langkahnya.

Namun, semakin dekat ia melangkah ke arah cahaya tersebut, semakin dingin udara di sekitarnya. Suara bisikan halus mulai terdengar di telinganya, seperti desis angin yang menyelusup di antara pepohonan, namun ada sesuatu yang berbeda. Bisikan itu seperti sebuah panggilan, bukan hanya suara alam, melainkan suara dari makhluk yang tak terlihat.

"Cahaya...," suara itu terdengar lirih. "Ikuti cahaya... atau kau akan tersesat..."

Randu menegakkan tubuh, mencoba mendengarkan lebih jelas. Bisikan itu semakin mendekat, tetapi semakin ia mendengarkannya, semakin sulit untuk membedakan apakah itu suara dari luar atau hanya pikirannya sendiri yang mulai bermain di dalam kegelapan ini.

Tak lama kemudian, cahaya di depannya semakin membesar, membentuk api unggun kecil di tengah hutan yang gelap. Di sekitarnya ada sosok-sosok, beberapa terlihat samar, sementara yang lainnya seperti bayangan. Randu berhenti, tubuhnya menegang.

"Siapa di sana?" Randu memberanikan diri untuk bertanya, meskipun rasa takut mulai menjalar di dadanya.

Salah satu sosok bergerak, berdiri dari posisinya di tepi api unggun. Tubuhnya kurus, namun tinggi, wajahnya tersembunyi di balik jubah gelap. Ketika sosok itu mendekat, Randu bisa melihat mata hitamnya yang dalam, seperti kegelapan itu sendiri.

"Kau tersesat, anak muda," suara sosok itu terdengar dingin namun tidak mengancam. "Tempat ini bukan untukmu."

“Aku sedang mencari Penjaga Senja. Aku harus menemukannya supaya bisa pulang,” jawab Randu, mencoba tetap tegar.

Sosok itu terdiam sejenak, lalu tertawa pelan. “Penjaga Senja? Kau sudah bertemu dengan salah satu dari kami. Tapi tidak ada satu pun penjaga yang bisa membantumu pulang, kecuali kau menghadapi yang terkuat dari kami semua.”

Randu menelan ludah. “Siapa dia?”

“Dia tinggal di batas terakhir dunia ini,” sosok itu menjelaskan, menunjuk ke arah kegelapan yang lebih dalam di balik api unggun. "Tapi setiap langkah menuju ke sana akan semakin berbahaya. Banyak yang sudah mencoba, tetapi sedikit yang berhasil kembali."

Randu menggigit bibirnya, mengingat peringatan dari Fariz dan Penjaga Senja yang ia temui sebelumnya. Tetapi dia tidak bisa mundur. “Aku harus melakukannya,” ujarnya tegas. “Aku tidak bisa tinggal di sini.”

Sosok itu mendekat sedikit lebih dekat, matanya yang hitam menatap dalam ke arah Randu. “Jika itu pilihanmu, maka ada satu hal yang harus kau ketahui. Di sini, di batas senja, bukan hanya Penjaga yang memegang kekuatan. Ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih tua dan lebih gelap dari kami para penjaga.”

Randu merasakan bulu kuduknya meremang. “Apa itu?”

Sosok itu melangkah mundur sedikit dan memandang ke arah langit yang semakin gelap. “Kegelapan ini bukan sekadar malam. Ia hidup. Ia memiliki kehendak, dan ia menelan mereka yang lemah hati. Banyak yang datang ke sini, berharap menemukan kekuatan atau jalan keluar, tetapi kebanyakan dari mereka hilang… menyatu dengan kegelapan.”

“Kegelapan itu… apakah itu yang harus aku lawan?” tanya Randu dengan suara gemetar.

Sosok itu menggeleng. “Tidak. Kegelapan bukan sesuatu yang bisa kau lawan. Kau hanya bisa menghadapinya. Jika hatimu goyah, ia akan menelanmu. Tetapi jika kau bertahan, kau mungkin bisa melintasinya dan menemukan Penjaga yang terakhir.”

Randu menatap sosok itu dengan ketakutan, tetapi juga tekad. Dia tahu bahwa tidak ada jalan lain selain maju. “Aku akan melakukannya,” ucapnya, meskipun suara hatinya sedikit gemetar.

Sosok itu mengangguk perlahan, lalu mengangkat tangannya, menunjukkan arah di balik api unggun. “Lanjutkan jalan ini. Di sana kau akan menemukan batas terakhir. Tetapi ingatlah, anak muda, setiap langkahmu akan diuji. Jika kau berhenti, kegelapan akan menemukanmu.”

Randu menelan ludah, menatap jalan di depannya. Jalan yang gelap dan penuh ancaman. Namun dia tahu, di ujung jalan itu, mungkin ada harapan untuk pulang.

Dengan langkah berat, Randu meninggalkan api unggun dan sosok-sosok misterius itu. Kabut kembali menyelimuti sekitarnya, tetapi kini lebih dingin dan lebih pekat. Langkah-langkahnya bergema, dan setiap kali dia melangkah, suara bisikan halus terus mengejarnya.

“Kegelapan akan menelanmu…”

“Kau tidak akan kembali…”

“Kau akan hilang, seperti yang lainnya…”

Namun Randu menggertakkan giginya, berusaha untuk tidak mendengarkan. Dia tidak akan menyerah. Tidak sekarang. Di dalam hatinya, ia teringat wajah orang tuanya, desanya, dan Fariz. Mereka adalah alasan dia tetap maju.

Dia harus terus bergerak.

Semakin dalam dia melangkah, kabut perlahan berubah menjadi bayangan yang lebih tebal, seakan-akan seluruh alam di sekitarnya memudar menjadi kegelapan mutlak. Kini hanya ada kegelapan di sekelilingnya—tak ada jalan, tak ada suara selain detak jantungnya sendiri. Di sini, di ambang batas terakhir dunia senja, Randu merasakan keberadaan sesuatu yang besar, sesuatu yang telah menunggunya.

---

DUNIA DIBATAS SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang