Setelah suasana di dalam markas sedikit mereda dengan kedatangan bantuan dari tim dokter internasional, Zaki—atau lebih tepatnya, Dika yang masih terperangkap dalam tubuh Zaki—mulai merasakan kelelahan fisik yang tak terelakkan.
Namun, tugasnya belum selesai. Saat sedang memantau kondisi pasien terakhir yang berhasil distabilkan, suara mesin kendaraan berat terdengar dari luar.
"Dokter Zaki!" Lina memanggil dengan nada tergesa-gesa dari pintu.
"Tim bantuan sudah tiba dengan suplai makanan dan alat medis!"
Zaki menghela napas panjang, campuran antara kelegaan dan kecemasan masih menggelayut. Dia tahu, meskipun bantuan sudah datang, tantangan baru akan muncul di balik itu.
Dia mengusap peluh di dahinya sebelum melangkah keluar untuk menemui tim bantuan.
Di luar markas, sebuah truk lapis baja dengan logo organisasi kemanusiaan berhenti.
Para relawan segera turun, mengeluarkan kardus-kardus berisi makanan, air bersih, dan kotak-kotak peralatan medis.
Para petugas sibuk membongkar dan membagikan bantuan tersebut.
"Kami bawa makanan, air, serta peralatan medis tambahan," seorang pria berkacamata dan berjaket hijau militer menghampiri Zaki. "Ini semua buat kamu dan timmu, Dokter. Kami dengar situasi di sini semakin kritis."
Zaki tersenyum tipis, berterima kasih.
"Terima kasih banyak. Kalian datang tepat pada waktunya."
Lina, yang ikut berdiri di samping Zaki, ikut merasa lega melihat bantuan tiba.
"Tuhan, kita benar-benar membutuhkan ini. Peralatan medis kita hampir habis."
Zaki menoleh pada para petugas bantuan yang terus mengeluarkan barang dari truk. "Bisa kita langsung distribusikan makanan dan air kepada pasien dan staf medis dulu?"
"Pasti," jawab pria berkacamata itu sambil mengisyaratkan rekan-rekannya untuk membawa beberapa kotak makanan dan air ke dalam markas. "Kami juga bawa obat-obatan darurat dan alat perban tambahan."
Zaki memberi instruksi cepat kepada timnya, "Lina, Sarah, kalian urus distribusi makanan dan air untuk pasien. Pastikan semuanya mendapat cukup. Arief, Tania, pastikan kita langsung mengecek peralatan medis tambahan dan segera gunakan yang dibutuhkan."
Semua orang bergerak dengan cepat. Kotak-kotak makanan dan air disebarkan kepada pasien yang terbaring lemah.
Para perawat sibuk membuka bungkus makanan kaleng dan membagikan air minum kepada mereka yang sudah berhari-hari hanya bergantung pada cairan infus.
Zaki berjalan mendekati tenda medis yang baru dipasang, di mana alat-alat medis tambahan sedang disiapkan.
Salah satu perawat memegang kotak peralatan bedah baru, sementara Dr. Arief membuka kotak berisi berbagai jenis obat-obatan.
"Ini persis yang kita butuhkan," kata Arief sambil memeriksa stok obat. "Kita akhirnya punya cukup morfin dan antibiotik untuk pasien-pasien kritis."
Zaki menatap kotak-kotak tersebut, merasa lega sekaligus terbebani.
Bantuan ini akan memberi mereka sedikit napas, tapi dia tahu peperangan tidak akan memberi mereka waktu istirahat yang lama. Serangan bisa datang kapan saja.
"Kita harus segera mulai menangani pasien yang membutuhkan operasi lanjutan," ujar Zaki. "Sebelum serangan berikutnya datang, kita harus memanfaatkan setiap menit."
Saat Zaki kembali ke ruang utama, dia melihat beberapa pasien mulai mendapat makanan dan air. Wajah-wajah yang tadinya pucat dan lelah mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan kembali.
Di sudut ruangan, Zaki melihat seorang pasien laki-laki, seorang tentara muda dengan luka serius di kaki, tersenyum samar sambil minum air yang diberikan perawat.
Senyum itu, meskipun lemah, adalah pengingat bagi Zaki bahwa di tengah kehancuran dan kematian, ada secercah harapan yang bisa muncul dari tindakan sederhana—makanan, air, dan perawatan.
Zaki menghampiri tentara itu, yang menatapnya dengan mata penuh rasa syukur.
"Terima kasih, Dokter," katanya lemah, "Saya kira saya tidak akan bisa bertahan."
Zaki tersenyum lembut. "Kamu sudah melewati yang terburuk. Kami akan memastikan kamu bisa pulih."
"Serangan itu..." Tentara muda itu menelan ludah, terlihat emosional. "Saya pikir kami semua akan mati."
"Kamu selamat," Zaki meletakkan tangannya di bahu tentara itu. "Sekarang, tugas kami untuk memastikan kamu tetap hidup."
Di saat yang bersamaan, seorang relawan dari tim bantuan mendekati Zaki.
"Dokter Zaki, kami punya beberapa alat bantu tambahan, termasuk ventilator portabel dan mesin oksigen. Apakah kalian membutuhkan alat-alat ini segera?"
Zaki menoleh pada pria tersebut, matanya berbinar mendengar kabar baik itu.
"Kami sangat membutuhkan ventilator tambahan. Pasien di dalam ada beberapa yang butuh bantuan napas, dan ventilator yang kami punya sudah penuh."
Pria itu mengangguk cepat.
"Baik, saya akan bawa alat-alat itu masuk."
Sementara itu, Dr. Tania datang menghampiri Zaki, wajahnya serius.
"Zaki, kita punya masalah. Ada beberapa pasien yang butuh transfusi darah, dan stok kita hampir habis."
Zaki merasakan desakan di dadanya lagi.
"Apakah tim bantuan membawa kantung darah?"
Dr. Tania menggeleng pelan.
"Mereka tidak punya. Tapi kita bisa meminta bantuan dari markas utama di kota sebelah. Masalahnya, tidak ada jaminan bahwa darahnya cocok dengan pasien kita."
Zaki berpikir cepat.
"Kita tidak bisa menunggu terlalu lama. Kita harus mulai melakukan pencocokan darah di antara tim medis dan para relawan di sini."
Tania mengangguk.
"Aku akan mulai mengorganisirnya sekarang."
Ketika Zaki berbalik untuk kembali memantau pasien lain, dia menyadari bahwa meskipun bantuan telah tiba, perjuangan mereka jauh dari selesai.
Setiap langkah maju di medan perang ini selalu diikuti oleh tantangan baru, seolah-olah perang tidak pernah memberi mereka cukup waktu untuk bernapas.
Namun, di dalam hati Dika, yang terus menyembunyikan identitasnya di dalam tubuh Zaki, dia merasakan sesuatu yang berbeda.
Setiap tindakan, setiap keputusan yang diambil, adalah pengingat bahwa meskipun dunia di sekitarnya sedang hancur, ada manusia-manusia yang masih berjuang—bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tapi juga untuk orang lain.
Dan di tengah kegelapan yang mencekam, harapan dan keberanian muncul dari tempat yang tak terduga.
"Zaki!" panggil Dr. Arief tiba-tiba, memotong lamunan Zaki. "Kami sudah menyiapkan ruangan untuk operasi. Kita harus segera melakukan amputasi pada pasien di tenda."
Zaki mengangguk dan segera bergerak. Kembali ke tugasnya, dia tahu—sebagaimana Dika di dalam dirinya tahu—bahwa inilah jalan yang harus diambil. Meski sulit, ini adalah satu-satunya cara untuk tetap hidup.
Zaki berjalan cepat menuju tenda operasi yang telah disiapkan, sambil memikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Di tengah suasana perang dan kondisi yang serba darurat, setiap keputusan terasa sangat penting—bahkan keputusan kecil dapat menentukan hidup dan mati seseorang.
Begitu memasuki tenda, Zaki melihat Dr. Arief sudah bersiap dengan tim kecilnya.
Di tengah ruangan, terbaring seorang pasien, seorang pria muda dengan luka serius di kaki kanannya.
Luka itu jelas terlihat terinfeksi dan tidak ada pilihan lain selain amputasi untuk menyelamatkan nyawanya.
"Ini pasien kita," ujar Dr. Arief, mengangkat kepala dan menatap Zaki. "Jika kita tidak segera lakukan amputasi, sepsis akan menyebar."
YOU ARE READING
Behind the White Coat
Teen FictionDika, seorang perawat, terbangun dalam tubuh Dr. Zaki, seorang dokter muda yang terlibat dalam misi kemanusiaan di tengah konflik bersenjata. Terjebak dalam dunia baru yang penuh tantangan dan ketegangan, Zaki harus menghadapi ketidakpastian dan ket...