Scalpel 7

4 0 0
                                    

Zaki berkumpul dengan tim lapangan, yang terdiri dari Dr. Arief, Lina, dan dua relawan medis lainnya, Rudi dan Sarah. "Oke, semua. Kita akan bergerak ke lokasi yang paling parah. Pastikan semua peralatan medis siap dan komunikasi kita lancar," Zaki menginstruksikan.

Lina menyentuh bahu Zaki. "Ingat, kita harus tetap hati-hati. Situasi bisa berubah dalam sekejap."

"Ya, saya tahu," jawab Zaki. "Tapi kita tidak bisa membiarkan ketakutan menghentikan kita. Setiap nyawa yang bisa kita selamatkan adalah alasan untuk terus maju."

Begitu keluar dari markas, Zaki merasakan angin kencang dan aroma asap yang pekat di udara. Pemandangan di luar sangat mengerikan. Beberapa bangunan masih mengeluarkan asap, dan orang-orang berlarian dengan wajah cemas. "Kita harus cepat," Zaki berbisik.

Mereka berlari menuju lokasi yang sebelumnya dilaporkan hancur akibat serangan. Saat mereka mendekat, suara tangisan dan jeritan semakin keras. Rudi melihat ke sekeliling, "Zaki, lihat! Ada banyak orang yang terjebak di dalam!"

Zaki mempercepat langkahnya. "Ayo, kita harus mulai bekerja. Dr. Arief, kamu dan Lina periksa kondisi pasien di luar. Rudi dan Sarah, ikut saya."

Mereka bergerak cepat, berusaha menjangkau orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Ketika mereka tiba di lokasi, mereka menemukan sekelompok orang yang berkumpul di sekitar reruntuhan, terlihat putus asa.

"Tolooong! Ada orang di dalam!" teriak seorang wanita dengan air mata mengalir di pipinya. "Anak saya terjebak!"

Zaki segera mengatur timnya. "Lina, siapkan peralatan untuk mengangkat puing-puing. Rudi, Sarah, bantu saya mencari celah untuk masuk."

Mereka bergegas menuju reruntuhan. Zaki merasakan ketegangan yang luar biasa. Setiap detik terasa berharga. "Kita harus bergerak cepat!" dia berseru.

Dalam beberapa menit, mereka berhasil menemukan celah untuk masuk ke dalam bangunan yang runtuh. Zaki merayap masuk, didampingi oleh Rudi. "Kita harus cepat! Mungkin ada lebih banyak orang di dalam!"

Begitu memasuki ruangan yang gelap, Zaki terkejut melihat betapa parahnya kerusakan. Puing-puing berserakan di mana-mana, dan suara jeritan semakin memekakkan telinga. "Siapa yang ada di sini?!" teriak Zaki.

"Di sini! Kami di sini!" suara seorang anak terdengar dari sudut ruangan.

Zaki dan Rudi segera berlari ke arah suara tersebut. Mereka menemukan seorang anak kecil dan ibunya terperangkap di bawah puing-puing. "Kami tidak bisa keluar!" kata si ibu dengan suara putus asa.

"Tenang, kami akan membantu!" Zaki berusaha menenangkan mereka. "Rudi, bantu saya mengangkat puing-puing ini."

Mereka mulai mengangkat puing-puing sambil terus berbicara dengan ibu dan anak tersebut. "Kamu baik-baik saja? Berapa umurmu?" tanya Zaki kepada anak tersebut.

"Saya berumur tujuh tahun," jawabnya dengan suara gemetar. "Tapi Ibu saya tidak bisa bergerak!"

"Baik, kita akan segera mengeluarkanmu dan Ibumu," Zaki menjawab sambil berusaha keras mengangkat puing-puing yang menindih ibu anak itu.

Akhirnya, setelah perjuangan yang melelahkan, mereka berhasil mengangkat puing-puing tersebut. Zaki segera membantu si ibu keluar dari tempatnya terjebak.

"Ibu!" si anak berteriak, merangkul ibunya dengan erat. Zaki merasakan haru melihat momen itu.

"Terima kasih! Terima kasih!" ibu itu menangis, wajahnya penuh rasa syukur.

"Tidak perlu berterima kasih, kami hanya melakukan pekerjaan kami," jawab Zaki sambil tersenyum, meskipun hatinya bergetar. "Sekarang, ayo kita pergi ke tempat aman."

Behind the White CoatWhere stories live. Discover now