Scalpel 10

5 1 0
                                    

Zaki menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Meskipun kini dia terjebak dalam tubuh seorang dokter, Dika, yang sesungguhnya seorang perawat, belum pernah melakukan tindakan bedah besar seperti ini. 

Namun, dia tidak punya pilihan. Dia harus berpura-pura seperti seorang ahli bedah yang berpengalaman—demi menyelamatkan nyawa ini.

"Siapkan semua peralatan," perintah Zaki. "Kita tidak punya waktu untuk membuang-buang."

Lina dan perawat lain dengan sigap mempersiapkan peralatan bedah, instrumen yang mungkin terlihat sederhana dalam keadaan normal tetapi di sini, di tengah perang, peralatan tersebut adalah harapan terakhir.

Zaki mendekati pasien, memeriksa detak jantungnya yang lemah dan napas yang berat. "Bagaimana dengan anestesi?" tanyanya pada Arief.

"Kita sudah berikan anestesi lokal, tapi dia tidak bisa menerima anestesi umum. Terlalu berisiko dengan kondisinya yang lemah," jawab Arief, suaranya penuh kekhawatiran.

Zaki mengangguk. 

"Kita harus lakukan ini secepat mungkin. Waktu kita sangat terbatas."

Seorang relawan mendekat dengan beberapa kantong darah dan cairan infus. 

"Ini untuk menambah volumenya. Semoga bisa membantu stabilkan kondisinya," katanya sambil menyerahkan kantong itu pada Tania, yang segera menghubungkan selang infus ke lengan pasien.

Zaki melihat pasien itu sekali lagi sebelum mengambil skalpel dari meja instrumen. 

Tangannya sedikit bergetar, tapi dia mencoba menguasai diri. Meskipun Dika bukanlah dokter ahli bedah, dia tahu dasar-dasar prosedur medis, dan kini dia harus melangkah lebih jauh dari apa yang pernah dia pelajari sebagai perawat.

"Semua sudah siap?" tanya Zaki, memastikan semua orang sudah bersiap di posisinya.

"Siap," jawab Arief sambil menatap Zaki dengan rasa hormat yang dalam.

"Baiklah, kita mulai."

Zaki memulai prosedur amputasi dengan perlahan dan hati-hati. Ruangan operasi darurat itu sunyi, hanya terdengar dengungan alat-alat medis dan napas para dokter serta perawat yang menahan ketegangan. 

Setiap langkah harus tepat, tidak boleh ada kesalahan.

Zaki berkonsentrasi penuh, memotong jaringan yang rusak dan terinfeksi. Tangannya semakin stabil seiring dengan kemajuan operasi. Meskipun ini adalah situasi yang sangat berbeda dari apa yang pernah Dika alami, dia tahu bahwa hidup pasien ini bergantung padanya—atau lebih tepatnya, pada tangan Zaki.

Beberapa menit berlalu seperti seabad, namun akhirnya, Zaki menyelesaikan amputasi dengan sukses. "Bawa perban, segera," katanya, mengarahkan Arief dan Lina untuk mulai membalut area luka.

Lina dengan cepat membungkus kaki pasien yang telah diamputasi, sementara Zaki memeriksa tanda-tanda vital pasien. Napas pasien mulai stabil, meskipun masih lemah. Rasa lega perlahan merasuk dalam hati Zaki, tapi dia tahu pekerjaan mereka belum selesai.

"Bagus," kata Dr. Arief sambil mengusap dahinya yang berkeringat. "Sekarang kita hanya bisa menunggu dan berharap dia akan pulih. Kita sudah lakukan yang terbaik."

Zaki tersenyum lelah, meskipun dalam hatinya dia masih merasa cemas. "Setidaknya, kita sudah menghindarkan dia dari sepsis. Kita akan terus pantau kondisinya dalam beberapa jam ke depan."

Saat tim medis mulai membersihkan peralatan dan ruangan, suara gemuruh dari luar tenda mulai terdengar. Zaki menoleh cepat, merasa ada sesuatu yang salah.

"Suara apa itu?" tanya Zaki, matanya mencari sumber suara.

Lina, yang juga mendengar suara gemuruh tersebut, menegang. "Itu seperti suara... ledakan?"

Tak lama kemudian, seorang relawan berlari masuk ke tenda, wajahnya pucat. "Dokter! Daerah sekitar kita kena serangan bom! Beberapa bangunan runtuh, ada korban lagi!"

Zaki merasakan dadanya tenggelam. Baru saja mereka menyelesaikan satu operasi yang sulit, dan sekarang gelombang korban baru akan segera datang.

"Siapkan ruang perawatan darurat lagi," perintah Zaki cepat. "Kita akan terima lebih banyak korban. Kita harus bergerak cepat!"

Dr. Arief segera bergerak, sementara Lina dan Tania berlari keluar tenda untuk melihat situasi. Zaki mengambil napas dalam, berusaha menenangkan pikiran yang terus berpacu. 

Ini adalah medan perang, dan tidak ada waktu untuk bersantai. Dia harus terus bergerak, terus bertindak, tidak ada pilihan lain.

Di luar tenda, pemandangan yang menyambut Zaki sangat memprihatinkan. Debu dan asap menyelimuti udara, terdengar teriakan orang-orang yang terluka dan panik. 

Beberapa relawan sudah mulai mengevakuasi korban ke dalam markas medis. Mereka membawa orang-orang yang terluka, dengan wajah penuh rasa sakit dan ketakutan.

Lina kembali ke sisi Zaki, napasnya terengah-engah. "Ada banyak korban, Dokter. Beberapa di antaranya dalam kondisi kritis."

Zaki mengangguk cepat. "Ayo, kita tangani mereka. Kita tidak boleh menyerah."

Seiring dengan kedatangan korban-korban baru, Zaki kembali mengenakan sarung tangan bedahnya. Di tengah kegelapan perang dan kehancuran, tugas mereka sebagai tenaga medis adalah satu-satunya sinar harapan yang masih ada. 

Zaki tahu, meskipun dia terjebak dalam tubuh orang lain, misi kemanusiaan ini adalah bagian dari takdir yang harus dia jalani—sebagai Dika, dan kini sebagai Zaki.

Meskipun tubuhnya sudah terasa lelah, semangatnya terus menyala. 

Bagaimanapun juga, nyawa-nyawa yang ada di hadapannya kini bergantung padanya, dan dia tidak akan membiarkan mereka tenggelam dalam kegelapan tanpa perlawanan.

Zaki—atau lebih tepatnya, Dika yang masih terjebak dalam tubuh Zaki—kembali ke ruang perawatan darurat. Suara teriakan korban yang terluka, deru kendaraan darurat, dan bau darah bercampur debu memenuhi udara. 

Di tengah kekacauan itu, Zaki tidak boleh kehilangan fokus. Dia sudah berhasil menyelamatkan seorang tentara muda tadi, tapi sekarang, lebih banyak nyawa bergantung pada tangannya.

Di depan tenda, para relawan membawa beberapa pasien baru yang terkena serpihan bom. Mereka terlihat kesakitan, berteriak, dan beberapa di antaranya sudah kehilangan kesadaran. 

Lina dan perawat lainnya langsung mendekat untuk memeriksa siapa yang membutuhkan bantuan paling mendesak.

Zaki segera mendekati seorang pria tua dengan luka di bagian perutnya yang menganga lebar. Darah terus mengalir, dan wajah pria itu sudah sangat pucat. 

Tanpa pikir panjang, Zaki langsung menekan lukanya dengan perban darurat, mencoba menghentikan perdarahan.

"Lina, siapkan transfusi darah!" teriak Zaki, mencoba menjaga suaranya agar terdengar jelas di tengah keributan. "Kita harus hentikan perdarahannya sekarang juga, atau dia tidak akan bertahan."

Lina langsung bergerak, mencari stok darah yang masih tersisa dari bantuan tadi. 

Sementara itu, Zaki terus memberikan tekanan pada luka pria tua itu, berusaha mempertahankan kesadarannya. Wajah pria itu sudah terlihat semakin lemah.

"Bertahanlah, Pak," bisik Zaki, seolah memberikan harapan. Meskipun Dika merasa tak berdaya dalam situasi ini, dia tahu bahwa dia harus berpikir dan bertindak seperti Zaki, dokter muda yang kini tubuhnya dia tempati.

Ketika transfusi darah siap, Zaki bergerak cepat memasangkan jarum ke lengan pria tersebut. Perlahan, cairan darah mengalir ke tubuhnya. 

"Baiklah, kita berhasil menghentikan perdarahan untuk sementara. Tapi kita harus segera membawanya ke ruang operasi untuk menjahit luka ini."

Lina mengangguk dan memberi isyarat kepada relawan untuk membantu membawa pria tua itu ke ruang bedah. 

Zaki melirik pasien-pasien lain yang juga membutuhkan bantuan, merasa berat karena tahu dia tidak bisa menyelamatkan semuanya dalam waktu bersamaan.

"Saya akan menangani yang lain," kata Lina, mengerti beban yang Zaki rasakan. "Fokus pada yang paling kritis dulu."

Zaki menatap Lina sejenak, lalu mengangguk. "Terima kasih, Lina."

Behind the White CoatWhere stories live. Discover now