Scalpel 11

8 1 0
                                    

Saat pria tua itu dibawa ke ruang operasi, Zaki melihat seorang bocah laki-laki yang berusia sekitar sepuluh tahun diturunkan dari sebuah tandu. 

Wajahnya berlumuran darah, dan dia terlihat bingung serta ketakutan. Ada luka besar di kakinya yang membuatnya sulit bergerak.

"Bawa anak itu ke sini!" perintah Zaki kepada salah satu relawan. Anak itu diletakkan di atas tandu darurat di hadapan Zaki, dan dia segera mulai memeriksa lukanya. 

Luka tersebut tidak dalam, tapi serpihan bom tampaknya masih tertanam di kakinya.

"Namamu siapa, Nak?" Zaki bertanya dengan nada lembut, mencoba menenangkan bocah itu.

"Yusuf..." jawab bocah itu dengan suara gemetar. Air matanya berlinang, menahan rasa sakit yang jelas terlihat di wajahnya.

"Yusuf, tenang, ya," kata Zaki sambil tersenyum sedikit. "Aku akan bersihkan lukamu dan keluarkan serpihan ini. Tapi kamu harus kuat, oke?"

Yusuf mengangguk pelan, matanya memandang Zaki dengan penuh harapan. 

Dalam hati, Dika merasa perih melihat anak kecil ini harus terjebak dalam situasi yang begitu mengerikan. Namun, dia tidak punya waktu untuk merenung. Tangan Zaki mulai bekerja, memeriksa luka itu dengan hati-hati.

"Lina, tolong siapkan alat steril dan pinset," kata Zaki sambil terus fokus pada luka bocah itu.

Saat alat-alatnya tiba, Zaki mulai bekerja mengeluarkan serpihan-serpihan kecil dari kaki Yusuf. 

Bocah itu meringis menahan sakit, tapi dia tetap diam, tidak berteriak ataupun menangis keras. Zaki kagum dengan ketabahan anak ini.

"Kamu kuat sekali, Yusuf," kata Zaki dengan suara lembut. "Sebentar lagi selesai, ya?"

Zaki berhasil mengeluarkan serpihan terbesar dari luka Yusuf, lalu dengan cepat membersihkan area tersebut dan membungkusnya dengan perban steril. 

Yusuf akhirnya tersenyum kecil meski wajahnya masih dipenuhi peluh.

"Sudah selesai, kamu sudah aman," kata Zaki, merasa lega melihat anak itu mulai tenang.

"T-terima kasih, Dokter..." ujar Yusuf dengan lirih.

Zaki mengangguk sambil mengusap kepala anak itu. "Sekarang kamu harus istirahat. Nanti kita akan beri kamu makanan, dan kamu bisa pulih kembali."

Setelah memastikan Yusuf dirawat oleh perawat lain, Zaki kembali ke tenda, bersiap menghadapi lebih banyak korban yang datang. 

Di dalam hati, Dika mulai menyadari betapa beratnya peran seorang dokter di medan perang. 

Tidak hanya bertanggung jawab atas nyawa pasien, tapi juga harus menghadapi kenyataan bahwa tidak semua bisa diselamatkan.

Saat Zaki berdiri di pintu tenda, melihat orang-orang berlalu lalang di antara debu dan asap, sebuah ledakan keras mengguncang tanah di dekatnya. 

Tubuh Zaki terdorong ke belakang, terhempas ke tanah. Asap dan debu menutupi pandangannya, telinga berdenging, dan untuk sesaat, dia tidak bisa mendengar apapun.

"Zaki!" suara Lina terdengar samar, tapi jelas penuh kepanikan.

Zaki berusaha bangkit, tubuhnya terasa berat dan kepalanya berputar. Namun, dia memaksa diri untuk tetap sadar. 

"Aku... aku baik-baik saja..." katanya, suaranya gemetar.

Lina segera membantunya berdiri. 

"Serangan lain datang lagi," ujarnya, wajahnya terlihat tegang. "Kita harus segera evakuasi pasien ke tempat yang lebih aman!"

Zaki mengangguk meski pandangannya masih kabur. "Cepat, kita tidak punya waktu banyak."

Semua orang mulai bergerak lebih cepat, mengangkat pasien-pasien yang terluka dan membawa mereka ke tempat perlindungan yang lebih aman.

 Zaki tahu, mereka harus bertindak cepat sebelum serangan bom berikutnya menghantam lebih keras.

Sambil membantu memindahkan pasien, Zaki merasakan sebuah kesadaran yang kuat merasuk ke dalam dirinya. 

Di tengah semua kekacauan ini, meskipun dia bukanlah Dr. Zaki yang sesungguhnya, tetapi dia memiliki tanggung jawab yang sama besar. Nyawa orang-orang ini ada di tangannya, dan dia tidak bisa membiarkan mereka jatuh.

Di tengah ledakan dan kekacauan, Zaki terus bergerak. 

Dengan setiap langkah, dengan setiap tindakan, Dika semakin yakin bahwa dalam tubuh Dr. Zaki ini, dia tidak hanya belajar tentang pengorbanan dan keberanian, tetapi juga menemukan kekuatan baru dalam dirinya—kekuatan untuk bertahan hidup dan melindungi orang lain, bahkan di tengah medan perang.

Setelah berjam-jam bergerak tanpa henti, Zaki—yang sebenarnya adalah Dika—mulai merasakan tubuhnya kian lemah. Keringat dingin membasahi dahinya, namun dia tetap memaksa dirinya untuk bertahan. 

Setiap langkah terasa semakin berat, setiap tarikan napas terasa semakin pendek. Namun, situasi di sekelilingnya tidak memberinya kesempatan untuk berhenti. Pasien-pasien baru terus berdatangan, dan tim medis bekerja tanpa henti.

"Dok, kita butuh bantuan di sini!" seru Lina dari ujung tenda, mencoba mengatur jalur evakuasi bagi korban-korban baru yang berdatangan.

Zaki mengangguk pelan, meskipun matanya mulai berkunang-kunang. Dia mendekati pasien berikutnya—seorang pria dengan luka bakar di sekujur tubuhnya. 

Luka itu sangat parah, dan Zaki tahu bahwa pria ini berada di ambang batas antara hidup dan mati.

"Lina, tolong siapkan cairan infus dan analgesik. Kita harus kurangi rasa sakitnya," ujar Zaki dengan suara serak.

Lina segera bergerak, menyiapkan segala yang diperlukan, namun Zaki merasa tubuhnya semakin berat. Tangannya mulai gemetar saat mencoba memeriksa luka pasien. 

Kelelahan fisik dan mental yang terus-menerus akhirnya mulai mengambil alih dirinya.

"Dok, kamu baik-baik saja?" tanya Lina dengan nada khawatir, melihat Zaki yang terlihat semakin pucat.

Zaki mengangguk, meskipun di dalam dirinya, Dika tahu ada yang tidak beres. Penglihatannya mulai kabur, dan suara di sekelilingnya terdengar jauh, seperti berada di dalam air. 

Tubuhnya terasa seperti ditarik ke bawah, ke dalam jurang kegelapan yang dalam.

Dia mengambil napas dalam-dalam, mencoba tetap fokus. "Aku baik-baik saja," jawabnya, suaranya terdengar lemah.

Namun, ketika dia mencoba berjalan ke arah pasien berikutnya, langkahnya goyah. Lututnya terasa lemah, dan sebelum dia bisa menyadarinya, dunia di sekelilingnya mulai memudar.

Dalam hitungan detik, tubuhnya ambruk ke tanah dengan suara yang tak terdengar di tengah hiruk pikuk medan perang.

"Zaki!" Lina berteriak panik, langsung berlari menghampiri tubuhnya yang terjatuh.

Kesadaran Zaki mulai hilang. Suara-suara di sekitarnya mulai memudar, dan pandangannya sepenuhnya hitam. Tubuhnya tak lagi merespons, seperti kehabisan energi total. 

Kelelahan fisik dan emosional akhirnya menang. Dunia gelap menyelimuti dirinya, membawa Zaki—atau lebih tepatnya Dika—ke dalam keheningan yang pekat.

Behind the White CoatWhere stories live. Discover now