Scalpel 8

6 1 0
                                    

Sementara itu, di luar markas, langit mulai gelap oleh asap tebal yang membumbung dari lokasi bom. Suara sirene terdengar di kejauhan, namun tampak seperti bayangan kelam yang terus mendekat, membawa ancaman baru.

"Zaki," panggil Dr. Arief tiba-tiba, sambil berlari mendekati Zaki. "Ada laporan dari tim di lapangan. Area yang akan kita tuju juga tidak aman. Mereka menyarankan kita menuju ke perbatasan, di mana tentara internasional sudah menyiapkan zona aman sementara."

Zaki terdiam sejenak, berpikir. "Ke perbatasan? Itu jauh sekali, dan kita punya banyak pasien yang tidak bisa dipindahkan dalam waktu singkat."

Dr. Arief mengangguk. "Aku tahu, tapi itu satu-satunya tempat yang relatif aman untuk sekarang."

Zaki melihat sekeliling markas. Semua orang bekerja keras, namun ketegangan di wajah mereka jelas terlihat. Dia tahu, dalam situasi seperti ini, mereka tidak punya banyak pilihan.

"Kita tidak punya pilihan lain," akhirnya Zaki berkata. "Kita arahkan semua pasien yang bisa dipindahkan ke perbatasan. Namun, beberapa pasien yang dalam kondisi kritis harus kita rawat di sini sampai ada bantuan tambahan."

"Setuju," jawab Dr. Arief. "Aku akan memberitahu tim evakuasi."

Saat Dr. Arief pergi, Lina kembali mendekati Zaki. "Zaki, kita sudah siap. Pasien-pasien yang bisa dipindahkan sudah dimasukkan ke kendaraan evakuasi. Tapi masih ada beberapa yang kondisinya terlalu parah untuk dipindahkan saat ini."

Zaki memandang pasien-pasien yang masih berada di tandu, dengan peralatan medis yang tetap terhubung ke tubuh mereka. Di antara mereka, ada seorang pria tua yang baru saja menjalani operasi darurat. Zaki tahu dia tidak mungkin dipindahkan.

"Kita akan tetap di sini sampai pasien-pasien kritis stabil," kata Zaki dengan tegas. "Aku tidak akan meninggalkan mereka."

Lina menatap Zaki, matanya penuh kekhawatiran. "Tapi, Zaki... kalau kita tidak pergi sekarang, kita mungkin tidak punya kesempatan lagi nanti."

Zaki menggeleng. "Lina, aku tidak bisa. Mereka masih butuh perawatan. Kita akan bertahan, setidaknya sampai ada jaminan evakuasi yang aman."

Lina menghela napas panjang. "Baiklah, kalau begitu. Aku akan tetap di sini bersamamu."

Zaki tersenyum lelah, bersyukur atas dedikasi Lina. "Terima kasih, Lina. Kamu benar-benar teman terbaik."

Tak lama setelah itu, ledakan lain terdengar, kali ini lebih dekat. Dinding markas bergetar, dan semua orang di dalamnya berhenti sejenak, memandang satu sama lain dengan tatapan cemas.

"Kita harus cepat," kata Zaki pelan.

Dengan semangat yang tersisa, Zaki dan timnya kembali bekerja, berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan nyawa di tengah ancaman yang semakin mendekat. Di bawah langit yang gelap, mereka terus bertahan, berjuang untuk harapan di antara kegelapan yang mencekam.

Saat ledakan terakhir mengguncang markas, Zaki berusaha menenangkan dirinya. Dengan pasien-pasien kritis di sekelilingnya dan tim medis yang tegang, dia tahu mereka tak bisa bertahan lebih lama lagi tanpa bantuan.

"Zaki!" suara lantang Dr. Arief terdengar dari seberang ruangan, memotong ketegangan yang mencekam. "Ada kabar baik! Tim dokter dari LSM internasional berhasil menembus garis depan! Mereka sedang dalam perjalanan ke sini!"

Zaki menoleh cepat, matanya berbinar. "Berapa lama lagi mereka akan sampai?"

"Sekitar tiga puluh menit," jawab Dr. Arief sambil berlari mendekat, napasnya tersengal. "Mereka membawa peralatan medis tambahan dan tim evakuasi dengan kendaraan lapis baja. Mereka bisa membantu kita mengevakuasi pasien yang masih tersisa."

Behind the White CoatWhere stories live. Discover now