6. Pendekatan

3 1 0
                                    

Selama masa persiapan pernikahan, kebersamaan antara Aya dan Aji tumbuh semakin erat, seiring dengan banyaknya momen yang mereka lalui bersama. Setiap hari, Aji dengan sabar menjemput dan mengantar Aya bekerja. Dalam setiap perjalanan pagi, angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah mereka seolah menjadi saksi bisu hubungan mereka yang semakin hangat.

“Bagaimana harimu, Aya?” tanya Aji suatu pagi ketika mereka meluncur di jalanan kota yang mulai ramai oleh aktivitas.

“Seperti biasa, penuh dengan pasien. Tapi aku selalu merasa lebih ringan saat kamu menjemputku,” jawab Aya dengan lembut, sambil melirik Aji yang tengah memegang setir dengan tenang.

Aji tersenyum, merasakan kehangatan dari kata-kata Aya. "Aku juga merasakannya. Kehadiranmu selalu menjadi energi buatku."

Kata-kata itu menembus hati Aya. Meski sederhana, kehangatan Aji yang tulus selalu berhasil membuat Aya merasa nyaman. “Kamu tahu, Aji, aku pernah merasa ragu tentang semua ini. Tentang kita. Tapi sekarang, saat melihat semua persiapan ini, aku mulai merasa yakin.”

Aji mengangguk, tetap fokus pada jalan. “Ragu itu wajar, Aya. Kita semua punya ketakutan. Tapi yang terpenting adalah bagaimana kita menghadapinya bersama.”

“Apakah kamu juga merasakan keraguan?” tanya Aya, penasaran.

“Dulu, mungkin. Tapi sekarang, aku hanya merasa semangat. Aku ingin menjalani hidup bersamamu,” Aji menjawab dengan keyakinan yang menular.

Aya tersenyum, merasakan getaran positif dari kata-kata Aji. “Itu membuatku merasa tenang. Kadang, aku khawatir tentang harapan orangtuaku dan harapanku sendiri.”

“Yang terpenting adalah kita berdua. Kita akan membangun kehidupan yang kita inginkan, tanpa terbebani oleh ekspektasi orang lain,” Aji berkata, menatap Aya dengan lembut. “Aku ingin kita saling mendukung, berusaha sama-sama.”

Setibanya di rumah sakit, Aya melangkah keluar dari mobil dengan perasaan bersemangat. “Terima kasih, Aji. Untuk semua dukungan ini. Aku merasa sangat beruntung.”

Aji tersenyum. “Aku juga beruntung, Aya. Dan ingat, apapun yang terjadi, aku akan selalu di sampingmu.”

Dalam perjalanan pulang dari rumah sakit, mereka berbagi cerita dan tawa. Setiap momen yang dihabiskan bersama semakin memperkuat ikatan di antara mereka. Saat malam tiba, di bawah langit yang bertabur bintang, Aya merasa yakin bahwa di tangan Aji, masa depannya akan menjadi lebih cerah.

---

Di malam hari, saat Aji berkunjung ke kosan Aya, mereka sering menghabiskan waktu bersama di dapur mungil. Aya yang memang gemar memasak selalu senang ketika Aji mencicipi masakannya. Setiap kali Aji mengambil suapan pertama, Aya selalu memperhatikan ekspresinya, menunggu komentar yang selalu keluar dengan nada ceria.

"Masakanmu selalu enak, Aya," kata Aji sambil menyantap nasi goreng yang baru saja dibuatnya. “Kamu punya tangan ajaib, semuanya jadi lebih lezat ketika kamu yang masak.”

Aya tersenyum malu-malu, namun tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. "Aku senang kamu suka, Aji. Tapi sejujurnya, aku hanya memasak yang sederhana saja."

Aji tertawa kecil. “Justru kesederhanaan itulah yang membuat semuanya lebih istimewa. Seperti kita, ya? Kita mungkin tidak sempurna, tapi kita saling melengkapi.”

Aya menatap Aji, merasakan kehangatan dari kata-katanya. “Kamu selalu tahu cara membuatku merasa lebih baik. Rasanya seperti ada cahaya dalam hidupku.”

“Karena kamu layak mendapatkannya, Aya,” jawab Aji, mengalihkan pandangan dari makanan ke mata Aya yang bersinar. “Aku ingin membuat setiap harimu lebih berarti.”

Setelah makan, mereka duduk di sofa kecil, berbincang sambil menyesap teh hangat. Suasana hangat dan penuh canda tawa membuat malam itu terasa istimewa.

“Aku tidak sabar untuk memulai hidup baru bersamamu,” kata Aji, menatap Aya dengan penuh harapan. “Kita akan menciptakan banyak kenangan bersama.”

“Benarkah? Kadang aku masih tidak percaya semua ini terjadi,” Aya menjawab, tersenyum. “Aku merasa seperti baru saja keluar dari kegelapan, dan sekarang ada kamu yang selalu bersinar.”

“Setiap langkah yang kita ambil adalah bagian dari perjalanan ini, Aya. Mari kita buat kenangan-kenangan indah,” Aji menjawab dengan semangat, meraih tangan Aya dan menggenggamnya lembut.

Aya merasakan detak jantungnya berdetak lebih cepat. “Kamu selalu bisa membuatku merasa tenang. Terima kasih, Aji. Untuk segalanya.”

Malam semakin larut, tetapi percakapan mereka tidak surut. Setiap cerita yang mereka bagi, setiap tawa yang mereka lontarkan, semakin mengikat hati mereka dalam kehangatan yang tak terlukiskan. Di tengah tawa dan candaan, Aya merasa bahwa dia telah menemukan rumah di dalam diri Aji—tempat di mana hatinya bisa beristirahat dan tumbuh.

Pertemuan Tak TerdugaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang