20. Tekad

2 0 0
                                    

Keesokan harinya, Aji memesan tiket untuk kembali ke Jakarta. Dia merasa tidak ada alasan lagi untuk berlama-lama di Bali, jauh dari Aya yang telah lama menjadi pusat hidupnya. Di pesawat, pikirannya dipenuhi oleh kenangan akan Aya - senyumnya, tawanya, bahkan kerutan di dahinya saat ia kesal. Semua itu terasa begitu dekat namun jauh pada saat bersamaan. Aji sadar, meskipun selama ini mereka menghadapi banyak masalah, cintanya pada Aya tidak pernah pudar.

Sementara itu di Semarang, Aya berdiri di depan jendela kamar masa kecilnya, memandang langit biru yang tampak damai. Dia tahu, momen ini akan menjadi titik balik bagi pernikahannya. Ibunya selalu mengajarkan bahwa tidak ada jalan yang mudah dalam kehidupan rumah tangga. Rasa ragu, sakit, dan kekecewaan adalah bagian dari perjalanan itu, tapi bagaimana seseorang memilih untuk menghadapi semuanya yang menentukan akhir dari kisah tersebut.

Teleponnya berdering, dan tanpa melihat layar, Aya sudah tahu siapa yang menelepon.

"Aya," suara Aji terdengar lembut di ujung telepon. "Aku di bandara, akan tiba di Jakarta sebentar lagi."

Aya menghela napas panjang, hatinya sedikit lebih tenang. "Baiklah, Aji. Aku juga akan pulang hari ini. Kita bicarakan semuanya di rumah."

---

Beberapa jam kemudian, di bandara Jakarta, Aji menunggu dengan gelisah. Meskipun mereka masih terus berkomunikasi, rasa takut akan apa yang mungkin terjadi setelah percakapan mereka nanti membuat perutnya mulas. Begitu Aya muncul di pintu kedatangan, Aji merasakan debar jantungnya. Ia melihat Aya yang berdiri dengan tas kecil di tangan, tampak lebih tenang, meski tatapan mereka tidak bisa menyembunyikan kelelahan emosional yang mereka alami.

Aji melangkah maju, mencoba untuk berbicara. Tapi, sebelum ia sempat mengucapkan sepatah kata pun, Aya sudah berada di depannya, memeluknya dengan erat. Tangannya menggenggam erat tubuh Aji, seolah-olah ia takut akan kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Aji membalas pelukan itu, mencium lembut puncak kepala Aya.

"Kita harus bicara," bisik Aya dengan suara yang penuh luka namun tegar.

"Ya," jawab Aji sambil mengangguk pelan.

---

Di rumah, mereka duduk di ruang tamu. Kediaman mereka yang dulu selalu terasa nyaman kini menyimpan aura ketegangan yang belum sepenuhnya hilang. Aji memulai percakapan dengan menunduk, merasa bahwa beban ini sebagian besar berada di pundaknya.

"Aya, aku minta maaf," kata Aji, suaranya rendah. "Aku tahu aku telah menekanmu terlalu keras dengan program kehamilan ini. Aku tahu betapa sulitnya ini untukmu, dan aku malah membuatnya lebih berat."

Aya menatap Aji dengan mata yang penuh kelelahan, tapi juga dengan rasa kasih sayang yang masih ada di baliknya. "Aku juga salah, Aji. Aku terlalu fokus pada impian kita untuk punya anak sampai aku lupa bagaimana caranya untuk bersyukur atas apa yang sudah kita miliki. Kita sudah melewati banyak hal bersama, tapi malah jadi terpisah oleh hal ini."

Aji menggenggam tangan Aya dengan lembut, merasakan kekuatan dan kelembutan yang selalu ia kagumi dalam diri istrinya. "Apa kita masih bisa memperbaiki semuanya, Aya? Apa kita masih bisa bersama-sama melewati ini?"

Aya menunduk sejenak, menimbang pertanyaan itu. Kemudian, dia menarik napas panjang sebelum menatap mata Aji dengan penuh ketegasan. "Aku ingin kita mencoba lagi, tapi kali ini kita harus melakukannya dengan cara yang berbeda. Kita tidak bisa terus hidup dalam tekanan ini. Kalau kita memang ditakdirkan untuk punya anak, maka itu akan terjadi dengan sendirinya. Tapi kalau tidak, aku ingin kita bisa tetap bahagia, tanpa merasa kurang."

Air mata menetes di pipi Aji saat dia mendengar kata-kata itu. Selama ini, dia tidak pernah benar-benar menyadari betapa berat beban yang ditanggung Aya. Ia hanya fokus pada keinginannya untuk memiliki anak, tanpa mempertimbangkan perasaan dan penderitaan yang dialami istrinya.

"Aya," suara Aji tercekik oleh emosi, "Aku bersedia melakukan apa pun yang membuatmu bahagia. Jika itu berarti kita harus menghentikan program ini untuk sementara, aku akan melakukannya. Aku hanya ingin melihat kamu tersenyum lagi, tanpa beban."

Aya tersenyum tipis, meskipun matanya masih berkaca-kaca. "Aku tahu ini sulit untuk kita berdua, tapi mungkin ini adalah ujian yang harus kita lewati. Kita tidak perlu merasa gagal hanya karena tidak bisa mewujudkan semua impian kita sekaligus."

Aji mengangguk, seolah menerima kenyataan bahwa kebahagiaan mereka tidak harus diukur dengan kehadiran anak dalam kehidupan mereka. "Aku mencintaimu, Aya. Lebih dari apa pun. Lebih dari keinginan kita untuk punya anak."

"Aku juga mencintaimu, Aji," jawab Aya dengan lembut. "Kita bisa mencoba lagi nanti, atau mungkin kita bisa memikirkan cara lain untuk membangun keluarga kita. Tapi untuk sekarang, aku hanya ingin kita menemukan kebahagiaan dalam apa yang kita punya."

---

Hari-hari berikutnya terasa lebih ringan. Mereka mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama, tanpa beban program kehamilan yang selama ini menghantui mereka. Mereka kembali tertawa bersama, menikmati momen-momen kecil yang sering terlewatkan karena obsesi mereka pada impian memiliki anak. Meski proses penyembuhan hati mereka belum sepenuhnya selesai, mereka tahu bahwa cinta mereka cukup kuat untuk bertahan.

Pada suatu malam, Aji dan Aya duduk di teras rumah mereka, memandang langit malam yang dihiasi bintang. Mereka duduk dalam diam, saling menggenggam tangan, merasakan kehangatan yang mengalir di antara mereka. Tidak ada lagi tekanan atau harapan yang membebani mereka. Hanya ada mereka berdua, dan cinta yang tak pernah pudar.

"Apapun yang terjadi nanti, kita akan hadapi bersama, kan?" tanya Aya dengan lembut.

Aji menoleh dan menatap Aya dalam-dalam, senyum kecil terukir di wajahnya. "Ya, kita akan selalu hadapi semuanya bersama."

Dan dengan itu, mereka tahu bahwa mereka telah menemukan kembali dasar dari cinta mereka: bukan pada impian atau harapan yang besar, tapi pada komitmen untuk selalu ada bagi satu sama lain, apa pun yang terjadi.

Pertemuan Tak TerdugaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang