10. Keluarga

1 1 0
                                    

Lebaran kali ini membawa kebahagiaan yang berbeda bagi Aji. Suara mesin mobil yang mengiringi perjalanan mudik menuju kampung halaman Aya di Jawa Tengah terasa seperti simfoni yang mengalun di antara hati mereka. Semilir angin menyapu wajah mereka, membawa aroma tanah yang segar, khas pedesaan. Aya tampak begitu ceria, mengenang setiap sudut jalan yang mereka lalui.

“Kamu akan suka kampung halamanku,” ucap Aya dengan senyum yang begitu hangat, seolah mengenang setiap detil masa kecilnya. “Setiap jengkal tanahnya menyimpan kenangan, setiap hembusan anginnya mengingatkanku akan kebebasan masa kecil.”

Aji, yang duduk di sampingnya, merasakan kegembiraan yang menular dari setiap kata yang keluar dari bibir Aya. “Aku tidak sabar untuk bertemu keluargamu,” katanya sambil melirik Aya. “Dan melihat tempat di mana kamu tumbuh besar, tempat di mana semua kenangan indahmu terbentuk.”

Aya tersenyum lebih lebar. “Aku ingin kamu merasakan apa yang selalu membuatku rindu pulang. Rumah, keluarga, semuanya seperti membawa kedamaian.”

Saat mereka tiba di kampung halaman Aya, keindahan alam yang menyelimuti desa itu langsung menyambut mereka. Sawah hijau terbentang luas, diiringi pemandangan gunung yang gagah di kejauhan. Kampung ini begitu tenang, seperti dunia yang terhenti sejenak, menawarkan kedamaian bagi siapa pun yang singgah.

Ketika mereka tiba di rumah keluarga Aya, Aji merasakan getaran haru. Rumah besar dengan halaman luas, dikelilingi pepohonan rimbun, tampak begitu ramah. Paman, bibi, sepupu-sepupu Aya, semuanya menyambut mereka dengan tangan terbuka dan senyum lebar. Seolah-olah Aji sudah menjadi bagian dari keluarga sejak lama.

“Selamat datang, Aji!” seru Paman Aya dengan penuh semangat, menjabat tangan Aji dengan erat. “Kami sudah mendengar banyak tentangmu dari Aya.”

Aji tersenyum hangat, meski di dalam dirinya masih ada rasa gugup. “Terima kasih, Pak. Saya sangat senang bisa berada di sini. Terasa seperti rumah sendiri.”

Hari-hari pertama di kampung terasa seperti mimpi yang tenang. Aji cepat berbaur dengan keluarga besar Aya. Setiap malam, mereka duduk bersama di teras rumah, bercerita tentang berbagai hal, tertawa, dan menikmati keindahan malam desa yang dihiasi gemintang. Aji sering terlibat dalam percakapan panjang dengan paman dan sepupu-sepupu Aya. Keakraban itu tumbuh dengan alami, seperti tali persaudaraan yang tidak terlihat.

“Luar biasa bagaimana mereka menerimaku,” ujar Aji pada suatu malam ketika mereka berdua duduk di bawah langit yang penuh bintang, dikelilingi aroma tanah basah selepas hujan sore.

Aya tersenyum lembut, tatapannya hangat. “Keluargaku selalu begitu. Mereka menerima siapa pun dengan tangan terbuka, terutama orang yang aku sayangi.”

Aji menoleh, matanya beradu dengan tatapan Aya. Ada rasa syukur yang dalam di hatinya. “Aku merasa sangat diterima. Terima kasih karena sudah membawaku ke sini, mengenalkanku pada keluarga dan tempat yang begitu berarti bagimu.”

Aya tertawa kecil, suaranya lembut. “Aku senang kamu bisa ikut merasakan kedamaian di sini. Lagipula, aku tidak bisa membayangkan lebaran tanpa orang yang kini sudah menjadi bagian penting dalam hidupku.”

Pernyataan itu membuat hati Aji bergetar. Dalam kesederhanaan suasana pedesaan dan hangatnya keakraban keluarga Aya, ia merasakan sesuatu yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Kehangatan yang mendalam, ikatan yang kuat, dan kenyamanan yang selama ini ia cari, kini ia temukan dalam kebersamaan dengan Aya dan keluarganya.

Pagi berikutnya, lebaran datang dengan penuh suka cita. Mereka saling memaafkan dalam tradisi halal bihalal yang penuh makna. Aji ikut dalam setiap momen, dari salat Idul Fitri di lapangan desa yang dikelilingi sawah, hingga duduk bersama keluarga besar di meja makan, menikmati hidangan khas lebaran yang sederhana namun penuh berkah.

“Kamu tahu,” bisik Aji pada Aya di sela-sela makan siang keluarga itu, “Lebaran kali ini benar-benar berbeda dari semua yang pernah aku alami.”

Aya menatapnya penasaran. “Apa yang membuatnya berbeda?”

Aji terdiam sejenak, memandang wajah-wajah keluarga Aya yang tampak begitu hangat dan akrab, kemudian kembali menatap Aya. “Di sini aku menemukan kedamaian, cinta, dan kebersamaan yang selama ini aku pikir hanya ada dalam cerita. Semua yang kamu katakan tentang kampung halamanmu, tentang keluargamu, benar-benar nyata.”

Aya tersenyum, senyum yang membuat Aji merasa semakin yakin akan perasaannya. “Kamu adalah bagian dari semua ini sekarang, Aji. Dan aku senang bisa berbagi kehangatan ini denganmu.”

Hari-hari berlalu dengan cepat, namun setiap momen terasa begitu berharga. Aji ikut serta dalam kegiatan desa, mulai dari membantu mempersiapkan acara lebaran hingga berbaur dengan anak-anak sepupu Aya yang sangat menyukainya. Di setiap langkah, Aji merasa semakin terikat dengan keluarga besar Aya, dan semakin memahami arti dari sebuah ikatan yang dilandasi cinta dan kehangatan.

Suatu malam, ketika angin sepoi-sepoi menyapu desa, Aji dan Aya duduk di beranda rumah, menikmati ketenangan malam. Bintang-bintang bersinar terang di langit, seolah menjadi saksi bisu dari perjalanan batin Aji selama beberapa waktu terakhir.

“Kamu tahu, Aya,” ucap Aji, suaranya lembut namun terdengar serius. “Aku belajar banyak hal dari kamu. Bukan hanya tentang kehidupan, tetapi juga tentang makna cinta, keluarga, dan spiritualitas.”

Aya menoleh, menatap Aji dengan mata penuh perhatian. “Apa yang kamu maksud?”

“Ketika aku pertama kali bertemu denganmu, aku merasa begitu jauh dari Tuhan, dari kedamaian. Tapi perlahan, aku mulai menemukan jalanku kembali. Cara kamu mengajarkan sholat, cara kamu membawaku mendekat kepada-Nya, semua itu menyadarkanku akan sesuatu yang sangat penting.”

Aya tersenyum, lembut dan penuh kasih. “Kita semua sedang dalam perjalanan, Aji. Tidak apa-apa jika kita tersesat sesekali. Yang penting adalah kita terus mencari jalan kembali.”

Aji mengangguk, tatapannya penuh rasa syukur. “Dan kamu adalah orang yang membantuku menemukan jalan itu. Aku merasa lebih dekat dengan Tuhan, lebih damai, berkatmu.”

Aya tidak berkata apa-apa lagi, hanya tersenyum dan menatap langit. Di antara mereka, ada kedamaian yang tak terlukiskan, ikatan yang semakin kuat seiring dengan setiap doa dan setiap langkah yang mereka ambil bersama.

Pertemuan Tak TerdugaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang