5. Pernikahan Razka

1 1 0
                                    

Hari ini adalah hari pernikahan Razka—pria yang telah menduduki hati Aya selama sepuluh tahun. Di depan cermin, Aya memandang bayangannya yang tampak rapuh, gaun putih sederhana yang dikenakannya mengingatkan pada momen bahagia yang seharusnya bukan miliknya. Meski hatinya merasa hancur, ia tahu bahwa ini adalah momen yang harus ia hadapi. Dan dia tidak akan sendirian. Aji, yang baru hadir dalam hidupnya, akan menemaninya.

Di ruang tamu, Aji sudah berada di sana, menunggu dengan sabar. Ia memeriksa jam tangannya, sesekali melirik ke pintu kamar Aya, tampak tenang meskipun ada kekhawatiran di matanya. Mereka memang baru memulai masa pendekatan, tetapi Aji telah menunjukkan ketulusan dan pengertian yang lebih dari yang bisa Aya bayangkan. Saat Aya akhirnya keluar dari kamar, mengenakan gaun yang anggun, Aji menatapnya dengan penuh kekaguman.

“Kamu terlihat cantik,” ucap Aji dengan nada hangat, matanya berbinar, menyiratkan kekaguman yang tulus.

Aya tersenyum kecil, meski hatinya masih terasa berat. “Terima kasih, Aji. Tapi aku masih tidak yakin apakah ini keputusan yang tepat. Pergi ke pernikahan Razka… Apa aku siap untuk melihatnya menikah dengan orang lain?”

Aji berjalan mendekat, menempatkan tangannya di bahu Aya dengan lembut. “Aya, aku tahu ini tidak mudah. Tapi kamu tidak sendiri. Aku ada di sini untukmu. Kita akan melalui hari ini bersama.”

Kata-kata Aji seperti oase di tengah gurun kecemasan Aya. Dengan penuh keraguan dan harapan yang tersisa, mereka berdua berangkat menuju tempat pernikahan. Dalam perjalanan, suasana dalam mobil terasa tegang. Aji memecah keheningan, mencoba meringankan suasana. “Kamu tahu, pernikahan bukan hanya tentang merayakan cinta. Kadang, ini juga tentang melepaskan.”

Aya menoleh, menatap Aji dengan sedikit bingung. “Melepaskan?”

“Iya,” jawab Aji. “Melepaskan harapan yang tidak akan terwujud. Aku tidak ingin kamu merasa terjebak dalam bayang-bayang masa lalu. Ini adalah kesempatan untuk memulai hal baru, untuk merayakan hidupmu sendiri.”

Mendengar kata-kata Aji, Aya merasa sedikit lega. Ia mengangguk pelan, berusaha mencerna makna di baliknya. “Kamu benar, Aji. Mungkin aku perlu mengingat bahwa hidupku tidak akan berhenti hanya karena Razka memilih orang lain.”

---

Gedung pernikahan itu dihias dengan indah, penuh bunga dan dekorasi elegan. Tamu-tamu sudah mulai memenuhi ruangan, tertawa, dan berbicara dengan gembira. Aya melangkah masuk dengan Aji di sisinya. Setiap langkah terasa berat, seperti membawa beban bertahun-tahun harapan yang kini harus ia lepaskan.

Aji merasakan ketegangan di tubuh Aya. Dengan lembut, ia meraih tangan Aya dan menggenggamnya erat. “Ingat, kita di sini bukan untuk melihat masa lalu. Kita di sini untuk menunjukkan bahwa kamu sudah lebih kuat dari apa yang pernah kamu rasakan.”

Aya menoleh, memandang Aji dengan syukur yang mendalam. “Terima kasih, Aji. Kamu selalu tahu apa yang harus kamu katakan.”

Mereka berdua berjalan menuju meja yang telah disiapkan untuk tamu. Saat itu, Aya melihat sosok Razka di ujung ruangan, berdiri bersama mempelai wanitanya, Lia. Razka tampak tampan dalam balutan jasnya, namun ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Aya sadar. Ia tidak lagi merasakan gejolak yang sama seperti sebelumnya. Mungkin ini bukan tentang cinta yang hilang, melainkan tentang waktu yang telah memperjelas segalanya.

Saat Razka melihat Aya, ia tersenyum kecil, lalu berjalan mendekati mereka. "Aya," katanya sambil menatapnya, "senang sekali kamu bisa datang."

Aya membalas senyuman itu, meski hatinya terasa campur aduk. “Selamat, Razka. Aku harap kamu bahagia.”

Razka mengangguk, lalu menoleh ke arah Aji yang berdiri di samping Aya. “Dan ini…?”

Aji tersenyum, menggenggam tangan Aya lebih erat. “Aku Aji. Tunangan Aya.”

Kata-kata itu keluar dengan begitu alami dari mulut Aji, membuat Aya tersentak sesaat. Namun, ia tidak menolaknya. Ada kehangatan dalam pernyataan Aji, seolah-olah dia melindungi Aya dari rasa canggung yang mungkin terjadi. Razka tampak terkejut, namun ia segera menyembunyikan ekspresinya dengan senyuman yang lebih lebar.

“Oh, selamat, Aya. Aku tidak tahu kamu sudah bertunangan,” ucap Razka, meski ada nada aneh dalam suaranya.

“Terima kasih,” jawab Aya singkat, tanpa ingin memperpanjang percakapan itu.

Lia, yang sejak tadi berdiri di samping Razka, akhirnya mendekat. Ia memandang Aya dengan senyuman yang lembut. "Aya, aku sering mendengar Razka bercerita tentangmu. Terima kasih sudah datang."

Aya mengangguk sopan, meski hatinya terasa sedikit perih. “Selamat, Lia. Semoga pernikahan kalian bahagia.”

Dengan itu, percakapan berakhir, dan Razka serta Lia kembali ke tengah kerumunan tamu yang mengerumuni mereka. Aya menarik napas panjang, merasa lega karena akhirnya momen itu terlewati. Aji, yang sejak tadi tak melepaskan tangan Aya, menatapnya dengan senyum penuh pengertian.

“Kamu baik-baik saja?” tanya Aji, suaranya rendah namun penuh perhatian.

Aya mengangguk, matanya mulai kembali tenang. “Ya, aku baik-baik saja. Lebih baik dari yang aku kira.”

Aji tersenyum lembut. “Lihat? Kamu jauh lebih kuat dari yang kamu sadari.”

Setelah itu, mereka duduk di meja tamu bersama beberapa teman Aya. Aya mengenalkan Aji kepada mereka satu per satu. Mereka semua tampak senang melihat Aya datang bersama seseorang yang penuh perhatian seperti Aji. Percakapan pun mengalir, tawa ringan mulai muncul di antara mereka.

Namun, di sela-sela tawa itu, Aji masih memperhatikan Aya dengan seksama. Ia tahu meski Aya tampak baik-baik saja di luar, mungkin masih ada luka yang belum sepenuhnya sembuh di dalam hatinya. Tapi Aji tidak terburu-buru. Ia memberi ruang bagi Aya untuk merasa nyaman, dan perlahan-lahan menemukan dirinya sendiri.

---

Setelah acara selesai, Aya dan Aji memutuskan untuk pergi lebih awal. Di dalam mobil, suasana di antara mereka terasa lebih tenang, namun juga lebih akrab. Aji menyetir dengan satu tangan sementara tangan satunya menggenggam tangan Aya yang duduk di sampingnya.

“Aya, aku tahu hari ini berat untukmu,” ucap Aji sambil menatap lurus ke jalan. “Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu ada untukmu, apapun yang kamu rasakan. Kamu tidak perlu memaksakan diri untuk terlihat kuat di depanku.”

Aya menatap Aji dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih, Aji. Aku sangat menghargai semua yang kamu lakukan. Rasanya aneh, aku sudah mencintai Razka begitu lama, tapi sekarang, melihatnya menikah, aku merasa… lega. Mungkin aku sudah siap untuk melepaskan semuanya.”

Aji tersenyum, merasakan kebahagiaan yang perlahan meresap di hatinya. “Itu artinya kamu sudah membuka pintu untuk sesuatu yang baru. Dan aku berharap, aku bisa menjadi bagian dari hidupmu yang baru itu.”

Aya tersenyum lemah, hatinya penuh rasa syukur. “Kamu sudah menjadi bagian dari hidupku, Aji. Terima kasih sudah membuatku merasa lebih baik hari ini.”

Di bawah langit malam yang mulai gelap, mereka berdua melanjutkan perjalanan pulang. Tidak ada kata-kata yang perlu diucapkan lagi, karena keduanya telah menemukan ketenangan dalam keheningan. Perlahan, Aya menyadari bahwa mungkin cinta yang ia cari selama ini bukanlah apa yang ia pikirkan. Cinta mungkin bukan tentang siapa yang pertama kali menyentuh hatinya, tapi tentang siapa yang mampu menyembuhkan dan menemaninya menghadapi segala luka. Dan Aji, dengan ketulusannya, perlahan mulai mengisi ruang kosong di hatinya yang dulu hanya diisi oleh harapan semu.

Pertemuan Tak TerdugaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang