19. Pergi

1 0 0
                                    

Setelah percakapan panjang yang melelahkan hati, akhirnya Aji memutuskan untuk pergi ke Bali, sementara Aya memilih untuk kembali ke rumah orang tuanya di Semarang. Keduanya sepakat bahwa jarak ini bukanlah tanda perpisahan, melainkan sebuah jeda untuk meresapi setiap perasaan yang mereka alami. Walaupun berat, mereka sadar bahwa kehadiran ruang di antara mereka mungkin bisa membantu memperbaiki apa yang telah retak.

Hari-hari berlalu dengan perlahan. Di Bali, Aji menemukan kesunyian yang berbeda dari apa yang dia bayangkan. Matahari Bali yang hangat dan debur ombak yang biasanya mendamaikan terasa hampa tanpa kehadiran Aya di sisinya. Sementara itu, di Semarang, Aya disambut dengan pelukan hangat ibunya, namun hatinya tetap diselimuti awan kelabu.

---

Di rumah orang tuanya, Aya sering merenung di beranda belakang, memandang kebun yang dipenuhi oleh bunga-bunga kenanga dan mawar yang ditanam oleh ibunya. Suasana yang damai ini ternyata tidak sepenuhnya menenangkan hati Aya. Ia merasa ada sesuatu yang hilang, dan itu adalah kehadiran Aji.

Suatu sore, ibunya duduk di sampingnya, membawa secangkir teh hangat. Ia bisa merasakan kegelisahan di hati putrinya, meski Aya berusaha menyembunyikannya di balik senyuman kecil.

"Kamu kelihatan seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat, Nak," kata ibunya lembut, sambil menatap Aya dengan penuh kasih. "Apa kamu mau cerita?"

Aya terdiam sejenak, menggigit bibirnya sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Iya, Bu... Aji dan aku... kami sedang menghadapi masa yang sulit. Kami sedang mencoba untuk menjaga jarak supaya bisa berpikir jernih, tapi aku merasa kosong, Bu. Rasanya seperti aku kehilangan arah."

Ibunya tersenyum tipis, lalu mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Aya dengan lembut. "Setiap pernikahan pasti ada ujiannya, Nak. Tidak ada yang mudah, apalagi ketika ada harapan besar yang belum bisa kalian wujudkan. Tapi, kamu harus ingat, dalam setiap ujian, ada pelajaran yang bisa kita ambil."

Aya menunduk, air matanya mulai menggenang di pelupuk mata. "Tapi, Bu... kenapa rasanya ini begitu menyakitkan? Kenapa seolah-olah jarak ini malah membuat segalanya semakin sulit?"

Ibunya mengelus punggung tangan Aya dengan lembut, seperti menenangkan. "Karena kalian mencintai satu sama lain, Nak. Cinta itu tidak pernah mudah. Terkadang cinta membuat kita terluka, tapi luka itu tidak selalu berarti akhir. Terkadang, luka itu justru menunjukkan betapa dalamnya perasaan kita."

Aya memandang ibunya dengan mata yang berkilauan karena air mata. "Apa yang harus aku lakukan, Bu? Aku takut kehilangan Aji."

"Sabar, Aya. Dalam setiap badai, selalu ada titik tenang. Kalau kamu dan Aji memang ditakdirkan bersama, kalian akan menemukan jalan untuk kembali. Cinta itu bukan hanya tentang kebersamaan dalam suka, tapi juga bagaimana kalian mengatasi duka dan cobaan. Jangan takut menghadapi rasa sakit, karena di sanalah kekuatan kalian akan ditemukan."

---

Sementara itu di Bali, Aji juga merasakan kehampaan yang mendalam. Meski ditemani keindahan alam dan kesibukan kerja, dia merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Aya adalah satu-satunya orang yang selalu memberinya kekuatan, bahkan dalam momen-momen paling sulit. Tanpa Aya di sisinya, segala sesuatu terasa tak bermakna.

Pada malam-malam yang sunyi, Aji duduk di balkon kamarnya, menatap langit malam Bali yang dipenuhi bintang. Di tangannya, ia memegang ponselnya, membaca ulang pesan-pesan singkat dari Aya. Meskipun mereka tetap berkomunikasi, hanya sebatas bertukar kabar, percakapan mereka terasa kaku dan penuh kehati-hatian.

Dalam keheningan itu, Aji merasa bersalah. "Apa aku terlalu menekan Aya dengan semua harapan ini?" gumamnya pada dirinya sendiri. "Aku juga lelah... tapi aku tidak boleh menyerah."

Saat itu, ponselnya berbunyi, sebuah pesan dari Aya masuk.

Aya: "Bagaimana kabarmu hari ini, Aji? Aku berharap kamu baik-baik saja di sana."

Aji tersenyum tipis, meski hatinya masih terasa berat. Dia membalas dengan cepat.

Aji: "Aku baik, hanya sedikit lelah. Bali sepi tanpamu, Aya."

Ada jeda panjang sebelum pesan balasan dari Aya masuk.

Aya: "Semarang juga terasa sepi. Ibu menasihati aku untuk bersabar. Katanya, kita harus menemukan kekuatan di dalam setiap ujian yang kita hadapi."

Aji membaca pesan itu berulang kali. Dia merenungi kata-kata tersebut, mencoba memahami makna di baliknya. Aya selalu kuat, bahkan dalam situasi sulit seperti ini. Itu adalah salah satu hal yang selalu ia kagumi dari istrinya.

Aji: "Ibu kamu benar, Aya. Kita harus menemukan kekuatan. Aku sadar sekarang, bahwa tanpa kamu, hidupku terasa hampa. Mungkin jarak ini memang perlu, tapi aku tidak akan bisa lama-lama seperti ini. Aku merindukanmu."

Balasan dari Aya datang cepat, seolah-olah dia juga merasa hal yang sama.

Aya: "Aku juga merindukanmu, Aji. Semoga kita bisa menemukan jalan keluar dari semua ini."

---

Hari-hari berlalu, dan jarak yang memisahkan mereka mulai memperjelas satu hal: mereka saling membutuhkan. Dalam diam dan keheningan masing-masing, mereka merasakan cinta yang tak bisa disangkal. Aji semakin merindukan Aya, bukan hanya sebagai istrinya, tetapi sebagai sahabat dan penopang hidupnya. Begitu juga dengan Aya, yang kini merasa bahwa meskipun pernikahan mereka penuh dengan tantangan, cinta yang mereka miliki masih sangat kuat.

Suatu malam, setelah lama berpikir, Aji menelepon Aya. Saat Aya menjawab panggilan, suara mereka bergetar, tidak karena marah, tapi karena rindu.

“Aku ingin pulang,” kata Aji dengan suara serak. “Aku ingin kita membicarakan semuanya, secara langsung.”

Aya terdiam beberapa saat, air mata sudah mengalir di pipinya. “Aku juga, Aji. Pulanglah. Kita bicarakan ini bersama. Aku tidak ingin terus seperti ini.”

Dan pada akhirnya, mereka tahu bahwa cinta mereka belum selesai. Pertarungan mereka belum usai, dan mereka siap untuk memperjuangkannya, bersama-sama.

Pertemuan Tak TerdugaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang