7. Ragu?

2 1 0
                                    

Malam itu, suasana di kosan Aya terasa hangat dengan aroma masakan yang memenuhi udara. Namun, meski tampak tenang, hati Aya dipenuhi keraguan. Persiapan pernikahan yang seharusnya menjadi momen bahagia justru mulai membebani pikirannya.

“Aji, kita perlu bicara,” kata Aya, suaranya lembut namun tegas saat Aji baru saja datang.

Aji yang sedang menikmati makanan menghentikan suapan. “Ada apa, Aya? Kenapa terlihat serius?”

Aya menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan pikirannya. “Aku… aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Mungkin kita terlalu terburu-buru dengan semua ini.”

Aji mengerutkan kening. “Maksudmu? Kita sudah merencanakan semuanya bersama. Ini adalah langkah yang tepat.”

“Benarkah? Aku tidak yakin. Semua ini terasa seperti mimpi yang terlalu cepat,” balas Aya, suara mulai bergetar. “Mungkin aku belum siap.”

Aji merasa hatinya tertekan. “Aya, kita sudah membahas ini. Kamu sendiri yang bilang ingin menikah. Sekarang tiba-tiba kamu berubah pikiran?”

“Aku tidak mengatakan bahwa aku tidak ingin menikah, Aji! Tapi aku ingin semuanya berjalan dengan lebih hati-hati,” jawab Aya, frustrasi. “Kita tidak mengenal satu sama lain dengan cukup baik. Bagaimana jika kita tidak cocok setelah menikah?”

Aji berdiri, merasakan emosi yang membara. “Jadi, kamu mau menunggu hingga kapan? Apakah kamu ingin kita terjebak dalam ketidakpastian ini selamanya? Aku sudah siap untuk melangkah, Aya!”

Aya berdiri, matanya berkaca-kaca. “Itu bukan hanya tentangmu, Aji! Ini tentang kita. Bagaimana jika semua ini hanya ilusi? Seharusnya kita tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan besar seperti ini.”

Mereka berdua terdiam sejenak, energi di ruangan terasa menegang. Aji menatap Aya, berusaha memahami. “Tapi kita sudah berbagi begitu banyak. Apa yang membuatmu ragu?”

“Aku… aku masih merasa kehilangan. Rasanya sulit untuk melepaskan Razka, meski aku tahu dia sudah bahagia dengan hidupnya sendiri,” ucap Aya, suaranya hampir berbisik. “Dan kau… kau terlalu sempurna. Aku khawatir tidak bisa memberimu apa yang kau inginkan.”

Aji mendekat, nada suaranya lembut, “Aya, aku tidak peduli soal itu. Aku mencintaimu, bukan hanya karena kita bisa memiliki anak. Cinta kita lebih dari sekadar itu. Aku ingin kita saling mendukung, apa pun yang terjadi.”

“Tapi aku masih merasa terjebak,” jawab Aya, air matanya jatuh. “Aku ingin menjalani hidup dengan baik, bukan hanya sekadar menikah.”

Aji merasakan betapa sakitnya melihat Aya seperti ini. “Kau tidak sendirian, Aya. Kita bisa melakukannya bersama. Kenapa kamu tidak percaya padaku?”

“Aku berusaha, Aji. Tapi ketika kau menginginkan sesuatu yang sangat besar, aku merasa tertekan,” kata Aya. “Seolah aku tidak bisa memenuhi harapanmu.”

“Dan kau tidak memberi dirimu kesempatan!” balas Aji, nada suaranya meningkat. “Setiap kali kita membahas pernikahan, kamu hanya memikirkan apa yang bisa salah, bukan apa yang bisa kita bangun bersama!”

Mereka berdua terdiam, napas terdengar berat. Aya menunduk, merasa bingung. “Aku hanya ingin waktu untuk memikirkan semuanya. Tidak bisakah kau memberiku sedikit ruang?”

Aji menghela napas dalam, berusaha menenangkan diri. “Tentu, aku bisa memberi ruang. Tapi aku juga butuh kepastian dari kamu, Aya. Apakah kita akan terus melangkah ke depan, atau kamu akan mundur?”

Aya merasakan ketegangan di udara, dan hatinya bergetar. “Aku… aku tidak tahu. Semua terasa terlalu banyak untukku saat ini.”

Aji berjalan menjauh, merasakan dinding antara mereka mulai menguat. “Mungkin kita memang perlu waktu untuk berpikir,” katanya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.

“Tapi aku tidak ingin kita terpisah, Aji,” seru Aya, tiba-tiba. “Aku tidak mau kehilanganmu. Aku hanya merasa terjebak dalam bayangan masa lalu dan masa depan yang belum pasti.”

Aji berbalik, wajahnya menunjukkan kebingungan. “Lalu, apa yang kau inginkan? Cobalah untuk memperjelas perasaanmu.”

“Aku ingin kita berkomunikasi dengan lebih baik. Aku ingin tahu apa yang kamu rasakan, tanpa ada tekanan dari semua ini,” jawab Aya, matanya mulai menyala kembali. “Mungkin kita bisa memperlambat segalanya. Melihat bagaimana semuanya berkembang.”

Aji mengangguk, meskipun rasa sakit di hatinya belum sepenuhnya hilang. “Baiklah, kita bisa melakukannya. Tapi aku berharap kamu bisa terbuka padaku. Kita harus saling percaya.”

“Setiap hari aku berusaha,” kata Aya dengan lembut. “Aku hanya butuh waktu untuk bisa mencintai tanpa rasa takut.”

Aji mendekat dan menggenggam tangan Aya, memberi dukungan yang dia tahu sangat dibutuhkan. “Aku akan menunggu. Aku akan selalu ada untukmu.”

Dalam keheningan itu, mereka berdua merasakan harapan baru. Meski jalan di depan penuh ketidakpastian, mereka tahu bahwa setiap langkah yang diambil bersama akan lebih berarti daripada berjalan sendirian.

Pertemuan Tak TerdugaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang