24. Ngidam

0 0 0
                                    

Kehamilan Aya kini memasuki trimester kedua, dan meskipun tantangan masih ada, dia merasakan sedikit kelegaan dari gejala morning sickness yang sebelumnya menyiksanya. Namun, kehamilan ini membawa gejolak baru dalam bentuk ngidam yang tidak terduga.

Suatu sore, saat Aji pulang kerja, dia menemukan Aya duduk di meja makan dengan wajah cemberut. "Ada apa, sayang?" tanyanya, langsung merasa ada yang tidak beres.

"Aku... ngidam," jawab Aya, mengerutkan dahi. "Aku ingin seblak!"

Aji terkejut. "Seblak? Yang pedas itu?" tanyanya, sedikit ragu.

"Iya, aku ingin sekali!" kata Aya dengan suara penuh harap. "Tolong, Aji."

Melihat kegembiraan di wajah Aya, Aji tidak bisa menolak. "Baiklah, kita akan mencari seblak. Tapi jangan bilang aku yang menyuruhmu makan ini," dia bercanda sambil tersenyum.

Mereka berdua pergi ke tempat makan seblak favoritnya. Saat mereka sampai, Aya terlihat begitu bersemangat, wajahnya bersinar. "Aji, lihat! Ini dia!"

Setelah memesan, mereka duduk dan menunggu makanan datang. Aji tidak bisa tidak mengamati betapa bahagianya Aya saat memikirkan seblak. "Kamu tahu, aku tidak pernah berpikir kamu akan ngidam makanan seperti ini," kata Aji sambil tertawa.

Aya tersenyum, "Kehamilan ini memang membawa banyak hal baru, termasuk keinginan aneh."

Tak lama kemudian, pesanan mereka tiba. Aya segera mengambil mangkuk seblak, menghirup aroma pedasnya dengan penuh antusiasme. "Ayo, Aji! Cobalah ini!" katanya, menyodorkan satu sendok ke arah Aji.

Aji ragu sejenak, tetapi akhirnya mencicipi sedikit. "Wah, ini pedas sekali!" dia menjawab sambil tersenyum, merasakan rasa yang menggigit lidahnya.

"Makanlah! Ini enak sekali!" Aya berseru dengan penuh semangat. Mereka berdua larut dalam suasana, menikmati setiap suapan. Tawa dan cerita mengalir, seakan menghapus semua ketegangan yang pernah ada.

Saat Aya melahap seblak itu, dia merasa seolah semua stres dan kecemasan sejenak menghilang. "Aji, terima kasih sudah membawaku ke sini. Ini benar-benar yang aku butuhkan," dia berkata sambil tersenyum lebar.

Aji memandangnya dengan kasih sayang. "Aku senang kamu bahagia, Aya. Kita akan menghadapi semua ini bersama."

Setelah makan, mereka berdua memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak. Aji menggenggam tangan Aya, merasakan kedekatan yang semakin mendalam. "Apa ada lagi yang kamu ingin lakukan?" tanyanya.

Aya berpikir sejenak, "Mungkin kita bisa membeli beberapa barang bayi. Aku ingin mulai menyiapkan segalanya."

Aji mengangguk setuju. "Tentu saja. Kita bisa memulainya sekarang."

Setelah berkeliling toko bayi, Aya terpesona melihat berbagai perlengkapan. Mereka memilih baju bayi, botol susu, dan bahkan mainan kecil. Setiap barang yang mereka pilih membuat Aya semakin bersemangat.

Namun, saat mereka memilih baju kecil berwarna kuning cerah, Aya tiba-tiba terdiam. "Aji, apa jika bayi kita tidak sesuai harapan? Apa yang akan terjadi?" tanyanya, suara penuh keraguan.

Aji menatapnya dengan serius. "Aya, tidak peduli bagaimana keadaan bayi kita, dia akan tetap menjadi anak kita. Kita akan mencintainya dengan sepenuh hati."

Mendengar kata-kata Aji, Aya merasa sedikit lega. "Kamu benar. Aku hanya... kadang merasa cemas."

"Aku juga," kata Aji, "tapi kita tidak boleh membiarkan ketakutan itu menghalangi kita untuk bersyukur."

Setelah berbelanja, mereka pulang dengan perasaan bahagia. Di dalam mobil, Aji mengingatkan Aya untuk menjaga kesehatan. "Jangan lupa, kita harus tetap fokus pada kesehatanmu dan si kecil," katanya.

"Ya, aku akan lebih berhati-hati. Aku berjanji," jawab Aya sambil tersenyum, merasa lebih bersemangat dari sebelumnya.

Keduanya tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi setiap momen yang mereka lalui bersama membuat mereka semakin dekat dan saling mendukung. Dan saat Aya menatap Aji, dia tahu bahwa dengan cinta dan kebersamaan, mereka bisa melewati apa pun yang akan datang.

---

Kehamilan Aya terus membawa warna baru dalam hidup mereka. Suatu pagi yang cerah, Aya tiba-tiba terbangun dengan perasaan yang sangat spesial. Dia melirik Aji yang masih terlelap di sampingnya dan menggumam, "Aku ngidam lagi, Aji."

Aji mengangkat kepalanya, masih setengah mengantuk. "Ngidam apa kali ini, sayang?" tanyanya sambil mengusap matanya.

"Nasi goreng yang dijual di depan rumah di Semarang!" jawab Aya dengan semangat. "Kamu tahu, yang ada telur mata sapi dan sambal merah itu."

Aji mengerutkan dahi. "Nasi goreng? Di mana? Kita di Jakarta, sayang."

"Aku tahu! Tapi aku tidak bisa berhenti memikirkan rasanya. Ini bukan sekadar nasi goreng biasa, Aji. Ini nostalgia," jelas Aya dengan nada ngambek yang lucu.

Aji tertawa kecil. "Kamu lucu sekali kalau ngambek. Tapi bagaimana kita bisa dapat nasi goreng itu?"

Aya menyilangkan tangan di dada, berpura-pura marah. "Kamu harus berusaha, Aji. Nasi goreng ini penting!"

Aji tidak bisa menahan senyumnya. "Baiklah, baiklah. Aku akan mencari cara. Mungkin kita bisa membuatnya sendiri."

"Bisa?" tanya Aya dengan harapan. "Kamu bisa memasak nasi goreng?"

"Cobalah, aku bisa belajar. Kita cari resepnya di internet," jawab Aji sambil mengangkat bahu.

Beberapa saat kemudian, mereka berdua berada di dapur. Aji berusaha mengikuti langkah-langkah resep yang ia temukan. Namun, hasilnya terlihat jauh dari harapan. Nasi yang dimasak terlalu lembek, dan sambalnya terlalu pedas.

"Ini tidak bisa dibandingkan dengan yang dijual di depan rumah itu," Aya berkata sambil tertawa melihat Aji yang berusaha dengan keras. "Tapi aku senang kamu mau mencobanya."

Aji mencicipi sedikit nasi goreng yang ia buat. "Hmm, mungkin ini lebih cocok untuk makanan penjara," ujarnya sambil tertawa, "tapi setidaknya kita sudah berusaha."

Aya tersenyum, merasa terhibur dengan usaha Aji. "Kamu tahu, meskipun ini bukan nasi goreng yang aku inginkan, aku sangat menghargai semua ini. Kamu membuatku merasa dicintai."

"Kalau gitu, kita harus mencari cara lain," Aji berkata. "Bagaimana kalau kita memesan nasi goreng dari restoran dekat sini?"

"Tapi tidak akan sama," Aya menggerutu, meski dengan nada lucu.

"Baiklah, kita akan buat alternatif. Kita bisa membuat nasi goreng ini jadi lebih enak," Aji berkata, lalu mengambil beberapa bumbu tambahan dari lemari.

Setelah beberapa saat berusaha, mereka berhasil menciptakan nasi goreng yang lebih enak. Saat mereka menyantap hasil masakan bersama, Aya merasa bahagia. "Mungkin ini bukan nasi goreng yang asli, tetapi ini adalah nasi goreng cinta," katanya sambil tersenyum.

"Cinta selalu bisa mengubah segalanya," jawab Aji. Mereka berdua tertawa, dan dalam momen sederhana itu, Aya merasakan kehangatan dan cinta yang mendalam.

Aji mengusap perut Aya dengan lembut. "Bagaimana jika kita menciptakan tradisi baru? Setiap kali kamu ngidam, kita bisa memasaknya bersama."

"Jadi, setiap kali aku ngidam, kita akan masak dan tertawa seperti ini?" tanya Aya.

"Ya, tentu saja! Dan mungkin, kita bisa mengundang teman-teman untuk bergabung," Aji menambahkan.

"Kalau begitu, aku ingin ngidam yang lebih beragam!" jawab Aya dengan nada nakal.

"Mau apa lagi?" Aji bertanya sambil menatapnya penuh rasa ingin tahu.

"Nanti aku kasih tahu. Tapi saat ini, aku senang kita melakukan ini bersama," Aya menjawab sambil menggenggam tangan Aji.

Keduanya tahu bahwa perjalanan ini tidak hanya tentang memenuhi ngidam, tetapi juga tentang menciptakan kenangan berharga. Dalam kebersamaan mereka, cinta tumbuh semakin kuat, menembus setiap rintangan yang mereka hadapi.

Pertemuan Tak TerdugaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang