Zara
Kehidupan seperti roda, berubah dengan begitu cepat. Detik ini aku berada di atas. Dunia ada di genggamanku. Masa depan yang terhampar cerah. Keluarga lengkap yang berbahagia.
Zara, pianis berbakat. Selangkah lagi, aku akan bergabung dengan orkestra idamanku, keliling dunia menyajikan musik yang menghibur juga membuat siapa pun terpukau.
Zara, a prodigy.
Namun, dalam sekejap mata, hidupku berubah drastis. Tadinya di atas, kini berada di titik terbawah. Duniaku hancur berantakan. Masa depanku berubah kelam. Keluargaku tercerai berai. Aku kehilangan semuanya. Rumah. Status sosial. Juga masa depan. Impian bergabung di orkestra direnggut begitu saja, membuatku harus merelakan mimpi yang kupupuk sejak kecil. Sebagai gantinya, aku harus bekerja banting tulang demi menyambung hidup.
Katanya, aku ditakdirkan tampil di panggung besar di belahan dunia mana pun. Nyatanya, sekarang aku harus rela menjadi guru piano unutuk anak enam tahun yang tidak berbakat, tapi aku tak sampai hati memisahkannya dari piano.
Aku tak ubahnya sebagai manusia oportunis yang rela memanfaatkan kesempatan apa pun untuk bisa menyambung hidup. Termasuk memanfaatkan anak enam tahun yang ingin belajar piano meski aku tahu bakatnya ada di bidang lain, tapi aku membutuhkan uang yang digelontorkan ayahnya.
Joji menekan tuts demi tuts yang menghasilkan nada sumbang. Sudah dua bulan aku menjadi guru piano untuknya, tapi tidak ada perkembangan berarti. Aku tidak mengerti apa yang membuatnya belajar piano, karena dia jelas tidak tertarik. Hanya ingin main-main saja. Aku juga tidak mengerti dengan ayahnya yang rela membayarku meski tahu dia hanya buang-buang uang.
Aku sudah menyerah, setiap kali selesai mengajar Joji, rasanya ingin memberi tahu ayahnya bahwa pelajaran ini sia-sia. Mungkin dia bisa membayar guru les lain atau mencari aktivitas lain untuk Joji, yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Namun sampai sekarang hal itu masih tersimpan di benakku.
Pertama, aku jarang bertemu ayahnya. Hanya sekali, saat aku deal akan pekerjaan ini. Dari foto di rumah, juga cerita Joji, ayahnya seorang polisi. Selama tiga kali seminggu, aku mengajar Joji di rumahnya dan selama itu pula aku tidak pernah bertemu ayahnya. Hanya ada Joji dan adiknya, Dissy, juga neneknya yang selalu mengawasi mereka berdua. Dari cerita Joji, ibunya sudah meninggal. Kali pertama mengetahuinya, aku refleks memeluk Joji dan Dissy. Aku tidak bisa membayangkan kehilangan seorang ibu di usia sekecil itu-Joji baru enam tahun dan Dissy tiga tahun.
Alasan kedua aku mempertahankan pekerjaan ini sekalipun Joji tidak berbakat, karena aku butuh uang. Saat ini, hanya Joji muridku satu-satunya. Baru dua minggu lalu aku terpaksa menyudahi les dengan muridku karena orangtuanya berpikir, les piano di lembaga resmi jelas lebih menjanjikan ketimbang guru privat tanpa ijazah sepertiku. Aku tidak punya kredibilitas nyata untuk menjadi seorang guru les, meski kemampuanku di atas rata-rata. Bukan kali ini saja aku diberhentikan karena alasan yang sama.
Mungkin murid seperti Joji yang ocok untukku, mereka yang tidak begitu berambisi menguasai piano atau ingin menjadi pianis. Karena dengan begitu, mereka tidak butuh guru dengan background mentereng.
Tidak peduli aku pernah mengenyam pendidikan dan menjadi siswa terbaik di Singapore Music Conservatory, karena nyatanya aku tetap saja seorang mahasiswa drop out.
“Zara, mau dengerin Zara main piano.” Joji sudah berhenti memencet tuts piano. Dia mendongak untuk menatapku. Matanya yang bulat dan jernih menatapku penuh harap.
Satu lagi alasanku mempertahankan pekerjaan ini, karena selama dua jam berada di rumah ini, bersama Joji, terkadang ada Dissy juga, bisa membuatku lupa akan kehidupan asliku yang serba tidak pasti. Selama dua jam, aku seperti kembali ke masa lalu. Terlebih di akhir sesi, Joji dan Dissy selalu memintaku memainkan satu dua lagu untuk mereka. Selama dua jam, aku kembali menjadi Zara si bintang panggung, meski yang menyaksikan permainan pianoki hanya dua orang anak kecil.
Bagiku itu sudah cukup.
Dissy berlari ke arahku, langkah kaki kecilnya terlihat goyah saat berlari tapi dia tidak peduli. Dia menghambur ke arahku.
“Lala. Lagu.”
Senyum terkembang di wajahku. Bagi Dissy, dia cukup kesulitan menyebut namaku sehingga memberiku nama kecil. Aku tidak keberatan, malah sebaliknya. Rasanya menghangatkan, menandakan ada seseorang yang peduli kepadaku.
Dissy duduk di pangkuan Joji. Dua pasang mata itu menatapku penuh perhatian. Rasanya seperti kembali ke panggung, terlebih ketika jariku menekan tuts demi tuts, melahirkan nada demi nada yang begitu akrab di telingaku.
Biasanya aku mengawali dengan lagu klasik. Fur Elise dari Beethoven dan Clair de Lune dari Debussy menjadi pilihanku. Sore ini, aku memainkan lagu lain. Sudah lama aku tidak memainkan Moonlight Sonata, sebuah lagu gubahan Beethoven. Dulu, ini lagu wajib yang harus dikuasai setiap siswa jurusan musik. Ini juga lagu pertama yang kukuasai dengan sempurna ketika berusia sepuluh tahun. Setelah menjadi guru pun, ini lagu pertama yang kuajar ketika muridku sudah mengerti dan menguasai dasar piano.
Suasana rumah terasa hening, hanya ada denting piano mengalun. Joji dan Dissy yang biasanya heboh, seperti terhipnotis saat melihat permainanku.
Rasanya seolah ada yang mengiris hatiku. Seharusnya aku tidak berada di sini, memainkan piano hanya disaksikan oleh dua pasang mata. Seharusnya ada ribuan pasang mata yang terpukau oleh permainanku.
Kalau saja tragedi malam itu tidak pernah terjadi, hidupku tidak akan berakhir seperti ini.
Begitu sampai di nada terakhir, aku langsung menyambung dengan lagu lain. Twinkle Twinkle Little Star, favorit Joji dan Dissy. Kedua anak itu langsung tertawa. Tak lama, suara mereka mengikuti permainan pianoku.
Jariku sudah familiar dengan nada, sehingga aku tidak perlu melihat tuts piano. Sebaliknya, aku menghadap ke arah Joji dan Dissy. Suasana hati mereka yang riang perlahan mulai mempengaruhiku.
Suara tepuk tangan mengejutkanku saat aku sampai di nada terakhir. Aku menoleh ke balik pundak dan detik itu juga aku terkesiap.
Aku begitu larut dalam nada sehingga tidak menyadari ada sepasang mata lain yang turut menyaksikan pertunjukan singkat barusan.
“Papa.” Joji dan Dissy bangkit berdiri dan berlari ke arah ayahnya.
Pak Dante bersandar kasual di dinding, dengan kaki terlipat dan tangan bersedekap. Dia menunduk saat kedua putrinya menghambur ke arahnya. Dengan santai, dia menggendong kedua anak tersebut sekaligus.
“Sudah selesai latihan pianonya?” tanyanya.
Lagi, perasaan bersalah menggigit hatiku. Seharusnya aku memanfaatkan momen ini untuk memberitahu perkembangan Joji kepadanya, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Aku hanya bisa terpaku di tempat, seolah ada yang menahan kakiku agar tidak beranjak, juga mengunci mulutku agar tidak bersuara.
Mataku menatap ke satu titik, ke tempat Joji dan Dissy saling berebut bercerita tentang hari mereka dan sang ayah yang mendengarkan dengan segenap perhatiannya.
Tidak biasa-biasanya dia sudah berada di rumah saat matahari masih ada. Pekerjaannya sebagai polisi menyita waktu, itu sebab aku tidak pernah bertemu dengannya setiap kali datang ke rumah ini.
Aku masih ingat ketika pertama bertemu dengannya. Kalau saja saat itu aku tidak melamar pekerjaan untuk menjadi guru bagi anaknya, aku mungkin sudah melakukan tindakan bodoh. Seperti menggodanya.
He’s so gorgeous. Wajahnya yang dingin dengan sorot mata tajam memberikan kesan misterius yang intimidatif. Dia memiliki tubuh tinggi yang diimbangi dengan bentuk tubuh berotot yang sempurna. Ketika berbicara, suaranya yang berat seperti menghipnotis. Namun, di balik kesan dingin yang dipancarkannya, sorot matanya menyiratkan kelembutan setiap kali bersama anak-anaknya.
Aku tidak tahu apakah harus bersyukur atau menyesali kenyataan dia jarang berada di rumah ini selama aku bekerja, karena kehadirannya saja mampu menjeratku.
Pak Dante menurunkan Joji dan Dissy dari gendongannya.
“Bilang apa sama Zara?” ujarnya.
Joji memelesat ke arahku. Dia mengejutkankku saat menghambur ke pelukanku. Tubuh mungilnya hanya mampu memeluk kakiku.
“Makasih, Zara.”
Aku tersenyum. Ada rasa sayang yang sulit untuk diungkapkan setiap kali Joji memelukku seperti ini. Rasa sayang yang jauh melebihi sayang seorang guru kepada muridnya. Rasa sayang yang seharusnya tidak ada.
Joji dan Dissy beranjak ke kamar mereka. Sudah waktunya mandi sore. Sementara aku masih terpaku di tempat, berdri tidak jauh dari Pak Dante. Ini kali pertama aku berada di ruangan yang sama hanya berdua saja dengannya.
Aku tidak mengerti mengapa keadaan malah terasa canggung.
“Bagaimana Joji? Di masih semangat berlatih?” tanyanya.
Aku mengangguk pelan. Lidahku kelu di saat seharusnya aku memberitahu progres Joji. Lalu, bagaimana kalau dia merasa pelajaran ini sia-sia dan memecatku?
Aku bisa kehilangan sumber pemasukan.
Namun, mengapa aku merasa ada alasan lain di balik keengganan tersebut? Saat aku memberanikan diri menatap Pak Dante dan tatapannya yang menusuk menyengatku, hati kecilku mengatakan hal kain.
Kehilangan pekerjaan ini berarti tidak ada kesempatan untuk bertemu lagi dengannya.
Tak bisa dipungkiri, bukan sekali dua kali aku mengharapkan kehadirannya. Bukankah dia yang pertama kali kucari setiap kali menginjakkan kaki di rumah ini dan kecewa saat tahu dia tidak ada?
Perasaan ini begitu asing, aku segera membungkamnya sebelum menjadi tidak terkendali.
Sore ini pun sama. Aku buru-buru mengambil tas. “Aku balik dulu, Pak. Karena lusa Joji enggak bisa, gimana kalau jadwalnya kita ganti ke Sabtu pagi?”
Pak Dante mengangguk. “Pukul sepuluh?”
Tidak sulit untuk mengganti jadwal karena tidak ada murid lain, jadi aku langsung mengiyakan.
“Aku balik dulu kalau begitu. Sore, Pak.”
Pak Dante mengikuti langkahku yang beranjak menuju pintu. Tidak ada yang berlebihan. Dia hanya bersikap sebagai tuan rumah yang baik. Namun nyatanya, aku tidak kuasa menahan debaran di jantungku.
Setelah berpamitan, aku sengaja melangkah cepat untuk keluar dari rumah itu. Sebelum Pak Dante bisa mendengar debaran jantungku.
Ini salah, tapi detik ini aku tidak punya keinginan untuk membuat keadaan menjadi lebih baik.PS: Haiii selamat datang di cerita baru, yang merupakan buku kedua di Daddy Series. Kali ini kita bakal mengikuti perjalanan pak polisi dna ibu guru les piano. Ada sedikit suspense juga biar makin tegang. Seperti biasa, bagi yang sudah enggak sabar mau baca lebih dulu bisa langsung ke KaryaKarsa ya. So far sudah tayang hingga bab 15.
Siap-siap terjerat pesona Pak Dante ya. Enjoy the story
KAMU SEDANG MEMBACA
The Teacher
RomanceKetika mimpi sebagai pianis kandas, Zara banting setir menjadi guru private. Perkenalannya dengan Gregoria, seorang anak berusia enam tahun, membuat hidup Zara yang sebelumnya tenang tanpa gejolak, berubah penuh intrik setelah masuk ke dalam keluarg...