Zara
Siapa sangka aku akan sering bolak balik ke lapas. Seorang anak bisa saja membiarkan ayahnya membusuk di penjara sendirian, tapi aku tidak bisa. Meski kasus yang menjerat Papa menjadi penyebab kehancuran keluargaku.
Sampai sekarang aku belum sepenuhnya menerima alasan di balik tindakan Papa. Beliau beralasan hal itu dilakukannya untuk melindungi kekuarga. Sementara menurutku, Papa mengambil keputusan yang salah. Ada banyak cara untuk melindungi keluarga, tapi tidak dengan mengorbankan diri seperti ini.
Hanya lima belas menit waktu yang kupunya untuk bertemu Papa. Dua minggu sekali, aku akan menjenguk Papa di lapas. Hanya aku yang melakukannya, aku berharap Papa bisa bertahan menghadapi semua cobaan ini.
“Rara.”
Aku memeluk Papa begitu beliau menghampiriku di ruang kunjungan. Papa tidak banyak berubah semnejak kali terakhir aku menemuinya bulan lalu. Namun Papa berubah banyak dibanding lima tahun lalu, ketika beliau digelinding mausk penjara. Papa yang dulu bertubuh tinggi besar, kini berubah kurus. Rambutnya mulai memutih, membuatnya terlihat lebih tua dibanding usia sebenarnya.
Satu yang tidak berubah, sorot penuh kasih di matanya, cukup untuk mengingatkanku bahwa apa yang terjadi, Papa tetaplah Papa.
“Bagaimana kabarmu?”
Aku mengangguk. “Sehat, Pa. Papa sehat.”
“Sehat, dong.” Papa menekuk lengan, bermaksud memamerkan otot bisep yang kini sudah hilang entah. Papa terkekeh dan candaannya membuatku ikut tertawa. Selalu seperti ini, Papa berusaha memecah suasana agar tidak sedih dan tegang dengan candaan-candaannya.
“Papa lagi belajar gitar. Begitu Papa keluar nanti, kita bisa duet bareng. Papa gitar, kamu piano.”
Di setiap kedatangan, Papa selalu membicarakan masa depan, seolah-olah Papa akan keluar penjara dalam hitungan hari. Nyatanya, Papa harus mendekam lama di sini.
Di hadapan Papa, aku membuang kesedihan juga amarah jauh-jauh. Beban pikiran Papa sudah banyak, aku tidak ingin menambah bebannya.
“Papa harus belajar chord Don’t Stop Believing,” balasku, menyebut salah stau lagu rock lawas favorit Papa.
Papa menepuk dada. “Itu mah gampang.”
Sejenak, aku seperti terlempar ke masa lalu, ketika keluargaku masih baik-baik saja.
“Kamu sibuk apa sekarang?” tanya Papa.
“Masih jadi guru les, reguler di hotel, dan lanjutin toko bunga.” Jawabanku menerbitkan sendu di wajah Papa.
“Maafin Papa, ya, Ra. Kamu harus mengubur cita-citamu.” Papa menggenggam tanganku erat.
Aku tidak lagi mengarahkan kemarahan kepada Papa. Bagaimanapun, bukan Papa yang bersalah dan membuatnya harus berakhir di tempat terkutuk seperti ini.
“Kita enggak bakal begini kalau waktu itu Papa…”
“Rara…” teguran Papa menghentikan ucapanku. Papa menggeleng, menyuruhku tidak mengutarakan apa yang ada di ujung lidah.
“Pa, kita masih bisa banding?”
Dengan wajah sendu, Papa menggeleng. “Bukti yang ada memberatkan kita, Nak.”
“Papa bisa bilang yang sebenarnya,” bisikku.
“Lalu apa? Ada jaminan Papa bisa bebas? Bisa-bisa kita dituntut pasal lain, misalnya menyembunyikam kebenaran dan dianggap mempermainkan hukum?”
Aku menangkup wajah dengan kedua telapak tangan dan berteriak tertahan. Sesak yang ada di dada begitu menjadi-jadi.
“Ini keputusan Papa, Ra.”
KAMU SEDANG MEMBACA
The Teacher
RomansaKetika mimpi sebagai pianis kandas, Zara banting setir menjadi guru private. Perkenalannya dengan Gregoria, seorang anak berusia enam tahun, membuat hidup Zara yang sebelumnya tenang tanpa gejolak, berubah penuh intrik setelah masuk ke dalam keluarg...