Zara
Langkahku mendadak berhenti di pintu. Bola mataku nyaris copot saat melihat pemandangan di pintu itu.
Pak Dante. Bertelanjang dada. Menjadikan bingkai pintu sebagai alat pull up.
Dia membelakangiku, tangannya menggenggam bingkai pintu dengan erat, mengakibatkan ototnya bertonjolan. Dia menekuk kaki saat mengangkat tubuh. Punggungnya yang liat berkilauam akibat keringat. Otot punggungnya terlihat begitu menggiurkan.
Beruntung tidak ada orang lain, sehingga tidak ada yang melihat tingkah memalukan barusan.
Aku terbiasa bangun pagi, tapi tidak menyangka ada yang bangun lebih pagi. Nyatanya Pak Dante mendahuluiku. Dan sepagi ini, dia sudah berolahraga.
Serta memberikan pemandangan yang begitu sensual, membuatku mendadak gelisah.
Rasanya begitu lancang, tapi sulit mengalihkan pandangan dari sosok di hadapanku. He's all muscled. Punggungnya terlihat begitu kokoh ketika melakukan pull up di ruas pintu.
Pak Dante mengjhntikan kegiatannya dan berbalik. Aku tergagap, merasa tertangkap basah sedang menelitinya.
"Hai, kamu sudah bangun," sapanya enteng.
Aku melambaikan tangan dan langsung menyesali setelah sadar betapa konyolnya tingkahku barusan. Sebagai gantinya, aku sengaja mengaitkan jari-jari agar tidak tergoda melakukan hal konyol lainnya.
"Kamu minum kopi?" Pertanyaan Pak Dante kembali mengejutkanku.
Aku menggeleng. Perlahan, aku meninggalkan kamar tamu dan menuju dapur.
Sejak kedatangan pertama, aku sudah mengagumi dapur di rumah ini. Bagian belakang rumah dipenuhi olehkitchen set yang menjulang hingga plafon, lengkap dengan peralatan elektronik modern. Warna cokelat di kabinet memberikan kesan hangat dan alami, cocok dengan tampilan rumah keseluruhan. Di bagian tengah ada kitchen islandyang juga berfungsi sebagai coffee corner. Coffee machine yang ada di sana membuatku menyimpulkan Pak Dante tidak bisa hidup tanpa kopi.
"Teh, jus, susu?" Tanyanya lagi.
Aku sontak terhelak. "Jus boleh."
Pak Dante menuju kulkas dan mengeluarkan kotak jus kemasan lalu meletakkannya di kitchen island. Dia berbalik menuju kabinet dan sedikit membungkuk saat mengambil gelas.
Sebuah pemandangan yang menggiurkan sekaligus berbahaya untuk hatiku. Pak Dante hanya mengenakam celana pendek yang menggantung ringan di pinggulnya, membuat bongkahan bokongnya tercetak jelas saat membungkuk.
Rasanya seperti si mata keranjang karena aku jelas tidak bisa mengalihkan tatapan darinya.
"Tidurmu nyenyak?" Tanyanya sambil menuangkan jus jeruk untukku. Setelah itu, Pak Dante menuju mesin kopi dan membuat kopi untuknya.
"Nyenyak, makasih sudah ngizinin aku menginap."
"Saya yang berterima kasih sama kamu," timpalnya.
"Joji masih tidur?"
Pak Dante terkekeh. "Saya sudah duga dia pasti kesiangan."
Tanpa Joji dan Dissy, rumah ini terdengar hening.
"Dissy gimana?"
"Sudah membaik. Biasanya setelah sakit, besoknya dia kembali ceria, enggak kayak orang baru sembuh," jawabnya.
Aku refleks mengembuskan napas lega, meski masih ada yang mengganjal. "Dissy pasti kecewa karena enggak bisa nonton konser."
Pak Dante meneguk kopi, matanya melirikku dari balik cangkir kopi. Ada binar usil di matanya, membuatku curiga.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Teacher
RomansaKetika mimpi sebagai pianis kandas, Zara banting setir menjadi guru private. Perkenalannya dengan Gregoria, seorang anak berusia enam tahun, membuat hidup Zara yang sebelumnya tenang tanpa gejolak, berubah penuh intrik setelah masuk ke dalam keluarg...