Zara"Kamu kenapa?"
Tidak biasa-biasanya Joji cemberut. Joji yang selalu ceria dan bersemangat saat aku datang membuat suasana hatiku ikut membaik.
Ada yang berbeda padanya. Aku menghampiri Joji yang bermain sendiri di taman samping rumah.
"Aku mau nonton konser," serunya lirih.
Ah, konser Disney. Beberapa hari belakangan Joji sudah tidak sabar menonton konser tersebut. Karena dia, aku ikut mencari tahu perihal konser itu.
Aku tersentak saat ingat konser yang seharusnya berlangsung malam ini.
"Kamu excited?" Tanyaku. Aku ikut duduk di rumput dekat Joji. Rumput yang tajam menusuk kulitku. Aku memandang sekeliling, sepertinya hasil tangan Pak Dante berkebun beberapa minggu lalu mulai msnampakkan hasil.
Bukannya menjawab, Joji menghela napas panjang. Untuk seseorang yang sudah menunggu-nunggu konser pertamanya, Joji kurang bersemangat.
Jangan-jangan Pak Dante gagal mendapatkan tiket?
"Ada apa?" Desakku. Melihat Joji yang bersedih turut berpengaruh padaku.
"Papa enggak bisa ikut. Dissy sakit."
Jawabannya membuatku tersentak. Aku menoleh ke arah carport dan menyadari ada mobil Pak Dante di sana.
"Dissy sakit apa?" Tanyaku.
"Demam." Joji menjawab acuh sambil memainkan bunga di taman.
Aku tidak tahu harus memberikan penghiburan seperti apa. Di satu sisi, aku mengerti alasan Joji bersedih. Namun dia tidak punya pilihan lain karena kesehatan adiknya lebih penting. Joji mungkin belum terlalu paham, tapi aku mengerti betapa frustrasinya jika berada di posisi tidak mempunyai pilihan seperti ini.
Karena itulah yang kualami selama lima tahun belakangan. Terpojok tanpa mempunyai pilihan sehingga terpaksa menjalani hidup sesuai alur yang ditetapkan meski membuatku frustrasi.
"Joji... oh ada Zara."
Panggilan itu menyentakku. Aku menoleh dan mendapati Pak Dante di pintu penghubung ke taman samping.
Wajahnya yang biasanya lelah, tampak semakin lesu. Menjadi ayah tunggal memberikan dampak yang cukup jelas. Aku tidak pernah melihat Pak Dante tanpa wajah lelahnya. Rasanya ingin melarikan tangan di wajahnya, berharap sentuhanku bisa mengurai beban yang dipikulnya.
Shut up, Zara.
Pak Dante menghampiri. Dia ikut duduk di rumput bersama Joji. Tangannya membelai rambut Joji.
"Kita nonton konsernya lain kali aja ya." Dia berkata lembut.
Joji tidak menjawab, hanya pundaknya yang semakin terkulai.
"Sayang, Dissy lagi sakit. Papa enggak bisa nemenin kamu. Maaf, ya," ujar Pak Dante lagi.
Aku terpaku di tempat, merasa tidak berdaya. Aku ingin melakukan sesuatu, untuk Joji, tapi aku hanya orang asing yang tidak bisa melakukan apa-apa.
Pak Dante mengangkat wajah dan bersitatap denganku. Dia tersenyum lemah.
Senyum lemah itu semakin membuatku tidak bisa tinggal diam. Aku bisa mengulurkan bantuan, tapi bantuan seperti apa?
"Ibu di mana, Pak?" Tanyaku. Jika neneknya Joji ada di sini, Pak Dante bisa menemani Joji menonton konser.
Atau aku bisa membantu menjaga Dissy selama dia pergi?
Seketika ide itu terasa begitu brilian.
"Ibu lagi di Malang." Jawaban Pak Dante seketika meruntuhkan semangatku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Teacher
RomansaKetika mimpi sebagai pianis kandas, Zara banting setir menjadi guru private. Perkenalannya dengan Gregoria, seorang anak berusia enam tahun, membuat hidup Zara yang sebelumnya tenang tanpa gejolak, berubah penuh intrik setelah masuk ke dalam keluarg...