12. Night Drive

13.8K 886 15
                                        

Dante

Kasus di hadapanku tak ubah seperti benang kusut. Semakin diulik, jalinan benang yang ada makin susah diurai. Meski sudah tahu siapa puncak pimpinan, jalan menuju ke sana masih tertutup.

Nama yang diberikan Josephine dan Sapto membuat timku dan Imran menangkap beberapa orang lagi, tapi mereka tidak membawaku semakin dekat dengan Big John.

Bahkan seujung kuku Marni pun tidak disentuh.

Siapa pun mereka, pergerakannya sangat licin. Sampai-sampai baunya tidak tercium oleh siapa pun.

Aku meregangkan tubuh. Ruangan ini mulai sepi. Sebagian rekanku sudah pulang, sebagian yang tinggal memilih untuk tidur ketimbang memikirkan kepala yang makin mumet.

Aku bisa saja pulang, daripada menyiksa diri di sini dan tidak memberikan perkembangan apa-apa. Namun rumah dalam keadaan kosong, anak-anak tengah menginap di rumah kakek neneknya. Sebulan sekali, mereka menginap di sana. Ibu beralasan kangen cucu dan dibenarkan oleh Ayah. Meski aku yakin alasan sebenarnya karena Ibu ingin memberiku waktu untuk sendiri, siapa tahu aku bisa pergi berkencan. Sayangnya harapan Ibu tidak akan terwujud. Jangankan pergi berkencan, aku malah tenggelam dalam kasus yang tidak berkesudahan.

Aku mengambil cangkir dan hanya mendapati ampas kopi. Dengan berat hati, aku menuju pantry. Sudah malam, keadaan yang sepi membuat suasana lumayan mencekam.

Berada di pantry, tiba-tiba aku tidak berminat membuat kopi sachet. Sehari-hari aku terpaksa bergantung kepada kopi sachet. Sebagai penyuka kopi, lidahku tidak bisa menerima kopi sachet. Mungkin sebaiknya aku membeli mesin kopi, biar bisa menyeduh kopi yang layak.

Aku kembali ke ruangan dan menyambar jaket serta kunci mobil. Kuputuskan untuk membeli kopi di luar. Mungkin udara malam bisa membuatku lepas dari suntuk.

Saat menyetir, aku teringat cerita Zara. Belakangan dia makin sering mampir ke benakku, terlebih di saat tidak terduga. Seperti malam ini, ketika aku menyetir mencari kopi, aku teringat kebiasaan Zara menyetir tanpa arah jika sedang suntuk.

Kenapa tidak dicoba?

Alih-alih menuju coffee shop 24 jam yang tidak begitu jauh dari kantor, aku malah menyetir ke arah yang lebih jauh. Tidak ada tujuan, seperti kebiasaan Zara.

Cerita Zara soal mimpinya yang terkubur membuatku bersimpati kepadanya. Ada dua tipe orang, menangisi nasib dan tidak ke mana-mana atau menerima kenyataan, meski berat, lalu mencoba berdamai. Zara berada di tipe kedua. Bukan hal mudah merelakan impian, tapi dia tetap menjalani hidup.

Sepeninggal Karina, aku sempat menangisi nasib sehingga membuatku jalan di tempat. Kalau saja aku tidak segera disadarkan, mungkin aku sudah kehilangan Joji dan Dissy. Karena mereka, aku berusaha untuk berdamai dengan kenyataan.

Aku memasuki kompleks ruko ketika melihat sebuah franchise kedai kopi. Meski masih ingin menyetir tanpa tujuan, nyatanya aku lebih membutuhkan kopi agar mataku bisa terus dibuka.

Aku memesan americano. Kopi hitam pekat yang langsung membangunkan seluruh sistem sarafku. Aku berdiri cukup lama di depan kedai kopi, menatap jalanan di hadapan. Sambil menyesap kopi, aku memperhatikan sekeliling.

Tatapanku tertuju pada toko bunga yang berada tidak jauh dari kedai kopi. Lagi, ingatan akan Zara masuk ke dalam benakku. Zara pernah bilang dia melanjutkan usaha tantenya yang memiliki toko bunga.

Piano and flowers. She's such a romantic girl. Zara menguarkan energi feminin yang membuatnya bisa memerangkap siapa saja. Terlebih saat dia bersama anak-anakku, membuatku semakin kesulitan menjaga jarak darinya.

Buktinya, sudah dua kali aku hampir menciumnya. Jangan sampai ada kali ketiga, bisa-bisa pertahanan diriku runtuh dan aku menciumnya.

Pintu toko bunga terbuka dan seseorang keluar dari sana. Aku langsung mengenalinya.

The TeacherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang