9. Kiss the Rain

14.9K 965 21
                                        

Zara

Begitu Pak Dante masuk ke kamar Dissy, aku berhenti membacakan cerita. Hujan mulai reda dan Dissy sudah tenang karena tidak ada lagi petir.

“Dilanjutin Papa, ya,” bisikku.

Berusaha agar tidak mengganggu Joji yang sudah tidur, aku bangkit dari tempat tidur Dissy. Pak Dante mendekat dan menempati sisi yang tadi kutempati.

“Thank you,” bisiknya tanpa suara.

Aku mengangguk sekilas sebelum meninggalkan mereka. Sudut hatiku menolak untuk pergi. Rasanya ingin tetap berada di kamar ini. Lebih parah lagi, aku ingin bergabung bersama ayah dan anak itu. Turut mendengarkan Pak Dante membacakan cerita untuk Dissy.

What a fool.

Makin lama, keinginanku semakin merajalela. Fantasiku melayang terlalu tinggi. Jika nanti dihempaskan oleh kenyataan, pasti akan sangat menyakitkan. Seharusnya itu cukup menjadi alasan agar aku berhenti mengangankan sesuatu yang tidak mungkin kumiliki.

Aku menuruni tangga dengan perasaan tidsk keruan. Sempat ada ketakutan bahwa Pak Dante menuduhku lancang. For God’s sake, aku hanya guru les Joji. Peranku hanya mengajarkan piano untuk Joji. Namun aku tidak bisa tinggal diam saat Dissy ketakutan ketika hujan turun. Naluriku berkata untuk tinggal dan menemani anak-anak ini sampai ayahnya pulang. Tidak ada alasan tersembunyi di baliknya.

Beruntung Pak Dante tidak marah. Dia malah lega saat melihatku bersama anak-anaknya. Reaksi Pak Dante begitu logis. Sudah seharusnya seorang ayah yang khawatir merasa lega ketika mengetahui ada orang dewasa menemani anak-anaknya.

Masalahnya, perasaanku kepada Pak Dante semakin membara sampai-sampai aku tidak bisa berpikir logis.

Hujan sudah reda. Tugasku selesai. Seharusnya aku pulang. Namun, tidak sopan jika pergi begitu saja. Akhirnya kuputuskan untuk menunggu.

Aku menuju piano. Tanganku mengusap tutupnya yang mengkilat. Semua aset dan harta keluargaku disita dan dijual untuk membayar denda yang menjadi bagian dari hukuman Papa. Aku merengek agar pianoku tidak dijual. Sayangnya tidak ada yang mendengar rengekanku. Dengan berat hati, aku melepas piano tersebut. Aku sudah memilikinya sejak kecil, piano itu mejadi saksi momen penting di hidupku. Ketika dipaksa berpisah, ada bagian hatiku yang dicerabut paksa dan dihantam dengan keras.

Keadaan ekonomi yang sulit membuatpiano menjadi barang mewah. Aku tidak lagi bisa berlatih rutin. Itu yang mendorongku menjadi guru les, karena dengan begitu aku berkesempatan menuntaskan hasrat untuk bermain oiano. Meski hanya dalam hitunyan jam.

Keinginan untuk bermain piano begitu menguasai. Biasanya, dalam suasana hati yang tidak menentu, ada piano yang menjadi pelarian.

Satu lagu saja. Aku harap Pak Dante tidak keberatan aku meminjam piano ini.

Aku membuka penutup piano dan duduk di bangku berlapis beludru merah. Jariku menyentuh tuts dengan perasaan menggebu. Perlahan, aku mulai menekan tuts tersebut.

Rivers Flow in You dari Yiruma mengisi keheningan rumah.

Aku memejamkan mata, membiarkan jariku bergerak dengan sendirinya menekan tuts di nada yang sudah sangat kukenal. Perlahan kegelisahan dan kecemasan yang bersemayam di hatiku mulai luruh seiring dengan nada yang mengalun.

Di tengah lagu, aku membuka mata. Saat itulah aku menyadari tidak sendiri. Pak Dante bersandar ke sisi piano.

Jariku berhenti dengan sendirinya. “Sorry, aku…”

“Please go on,” sanggahnya.

Berada di bawah tatapannya, aku melanjutkan lagu tersebut. Pak Dante tidak bersuara, hanya ada denting piano terdengar. Aku menahan napas sebelum memencet nada terakhir.

The TeacherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang