1

1 0 0
                                    

Kepala nyut-nyutan akibat tidur kelamaan, jalan sempoyongan, mata setengah terbuka yang masih butuh peradaptasian, sebuah kombinasi yang begitu menyenangkan. Sampai-sampai, begitu membuka pintu toilet, aku malah berhalusinasi.

Kulihat, seorang pria tinggi hanya mengenakan handuk saja, aroma sabun bahkan menguar menusuk indera penciumanku.

"Hah! Padahal aku tidur siang hampir tiga jam, tapi masih saja berhalusinasi."

Usai bergumam, aku terlonjak karena tangan itu terulur ke wajahku dan mengusap mataku. Lebih kagetnya, sensasi dingin tangannya terasa begitu nyata, membuatku akhirnya menyadari bahwa ini bukanlah halusinasi.

"Halusinasi, halusinasi. Nih, matamu penuh belek gini. Cuci muka sana!"

Mengucek mata, kuperhatikan wajah di depanku. Ternyata oh ternyata, dia Mas Iril, sepupu mamaku, alias om-ku.

"Eh?! Mas? Kapan tiba?"

Usia kami hanya terpaut lima tahun, jadi memanggilnya om dengan jarak usia segitu akan terdengar aneh, makanya aku memanggilnya sebagai mas saja.

"Baru aja. Mamamu mana?"

"Paling ke rumah tetangga. Mas kok nggak ngabarin bakalan datang?"

"Emang kamu bakalan nyambut kalau Mas ngabarin?"

"Hm… seenggaknya, aku bakalan masakin makanan kesukaan Mas?" Nadaku malah bertanya, seakan diriku pun tak yakin dengan ucapanku sendiri.

Mas Iril kemudian tersenyum mencurigakan, menyentuh kedua pundakku dan mendorongku. Merasakan tubuhku tak bisa kukendalikan, aku menatapnya panik. Belum sempat aku bereaksi apa-apa, aku sudah berada di dalam kamar mandi.

"Sebaiknya kamu cuci muka dan sikat gigi sekarang, atau sekalian mandi. Kamu bau banget. Mas nggak tahan. Dan lagi, Mas nggak percaya sama masakan kamu. Jadi, makasih tawarannya."

Ucapan nyelekit Mas Iril membuatku dongkol. Usai mengatakan itu, dia langsung menggeser pintu hingga tak menampakkan wajahnya lagi di depanku. Ugh! Baru saja bertemu muka, namun aku sudah berkeinginan untuk menendang wajahnya.

***

Katanya, Mas Iril akan menetap di rumah ini sampai waktu yang tak diketahui. Dia sedang dalam proses membuka cabang kafenya yang berada tak jauh dari sini. Mendengar itu, aku benar-benar kelimpungan. Mas Iril tuh orangnya menyebalkan banget, suka cari gara-gara. Maka, ketika mendengar ia akan menetap untuk waktu yang lama di rumah ini, perasaanku jadi waswas. Terakhir kali bertemu dengan Mas Iril adalah enam tahun lalu, ketika aku masih kuliah semester pertama. Waktu itu, aku ingat sekali dia suka mengomentari apa pun yang kulakukan. Mulai dari hal-hal yang kulakukan bahkan sampai ranah pergaulanku. Salah-satu komentar paling nyelekit yang bahkan masih kuingat sampai sekarang adalah ini;

“Kamu serius mau jalan sama orang-orang nggak jelas kayak mereka? Bentukannya mirip pelacur gitu, udah kayak mau jual diri aja. Bisa-bisa kamu ketularan nakal kalau bergaul sama mereka."

Mau tahu apa balasanku atas komentar jahat itu? Tamparan keras. Yaps! Saking kerasnya, tanganku sampai nyut-nyutan. Amarahku membludak karena Mas Iril menghakimi temanku sebagai pelacur padahal ia hanya melihat sampul mereka tanpa tahu isinya. Bukan cuma itu saja, Mas Iril tuh mulutnya nggak punya alat filter. Jadi, aku sering tak enak hati tiap dia angkat bicara. Contohnya, di situasi saat ini, ketika aku lagi nonton anime, dan dia duduk di sampingku.

"Kamu abis dicupang siapa? Lehermu banyak banget merah-merahnya?"

"Mas kalau ngomong bisa dipercantik dikit nggak kosakatanya? Cupang, cupang! Emang siapa yg mau cupang kalau seharian di rumah aja. Kalaupun ada, Mas dong yang jadi pelakunya. Ini gara-gara digigit nyamuk tau nggak!?"

Bukannya terpancing dengan keketusanku, Mas Iril malah mengulurkan tangan dan menyentuh leherku yang terasa gatal. "Gatal?" Tanyanya.

"Jangan disentuh! Geli."

Aku menepis tangannya. Namun, bukannya melepaskan sentuhannya, leherku malah diusap, semakin membuatku kegelian hingga tubuhku rasanya meremang. "Leher kamu emang enak dicupang kayaknya."

"Mas! Mulutmu yah!"

"Mau Mas cupang nggak?"

Plak! Tanganku sontak memukul mulutnya yang kelewat ceplas-ceplos. Inilah salah-satu alasan yang membuatku merasa waswas dengan keberadaan Mas Iril. Menurutku, dia punya sisi mesum yang tak tahu tempat. Mungkin sisi itu hanya gertakan saja agar aku tak berani macam-macam. Tapi, di satu sisi, entah mengapa aku merasa, itu memang sisi lain dirinya yang bisa sewaktu-waktu menerkam begitu saja jika aku lengah.

"Yaudah sih kalau nggak mau. Mas nggak maksa."

***

Love Him? Big NO!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang