Bisa jadi, ini karena mereka berada di dalam kamar. Suhu ruangan yang cukup rendah dan bahu terbuka Kia, serta tatapan Kia yang tak fokus menatapnya, menjadikan Iril hilang kendali dan langsung menerkam tanpa sinyal.
Di tengah-tengah pagutannya, sentuhan jemari Kia yang berusaha mendorongnya semakin menguatkan aksi bejat Iril. Ia menurunkan rib kerah Kia sehingga memperlihatkan tato anggrek berukuran kecil di atas dada kirinya.
Melihat itu, Iril terpukau. Ditatapnya Kia yang memasang wajah syok di bawahnya. Embusan napasnya terdengar kasar, memandang Iril penuh amarah dengan kilat tatapan yang tajam.
"Fuck you!" Kia mendesis, mengacungkan jari tengah. Iril, telah melewati batas.
"Tato kamu cantik."
"You asshole!"
Iril terdiam, mengamati ekspresi Kia yang terlihat sangat murka. Dalam keheningan malam dan posisi mereka yang begitu rapat, Iril menyentuh wajah Kia dengan lembut. Ibu jarinya bermain di pipi wanita itu. Tanpa bisa dicegah, wajah Kia menjadi merah padam.
Betah melihat wajah blush Kia, Iril beralih ke telinga. Jari-jarinya memainkan daun telinga Kia dengan sentuhan menggoda. Sehingga, bunyi desahan kecil lolos dari bibir Kia. Melihat itu, membangkitkan antusiasme Iril.
***
Selama ini, Kia berusaha menampik semua perlakuan manis Iril. Ia tahu bahwa Iril menyukainya. Tapi, mengakui kenyataan itu akan membuatnya merasa tak nyaman. Apalagi, mereka hanya tinggal berdua di rumah ini. Terbukti, ketika ia mengubur kenyataan tentang perasaan Iril yang sangat terang-terangan, membantunya mengatasi berbagai perasaan lemah yang bisa muncul dalam dirinya.
Tapi, kalau sudah seperti ini, bagaimana Kia akan menghadapinya? Tidak mungkin ia akan tetap berpura-pura tak pernah terjadi apa-apa. Bohong jika Kia bilang ia merasa biasa saja. Sekarang saja, perutnya terasa bergejolak, seakan ribuan kupu-kupu tengah beterbangan dan merayakan keintiman mereka.
"Jangan pura-pura nggak tau lagi, Kia!"
"Aku tau atau enggak, nggak akan ngubah apa pun dari kita."
"No, it doesn't. Akan ada yang berubah."
Iril menelan ludah. Matanya menatap bibir Kia bergairah. Beradu pandang dengan Kia, ia seakan memohon sesuatu.
Seperti memahami makna tatapan Iril, Kia membuang muka. Masih dalam posisi terimpit oleh tubuh besar Iril, pikiran Kia berkelana.
"Ke depannya, kamu nggak akan bisa denial lagi, Kia."
"Alasan kamu masuk ke kamar ini selama Mas nggak ada. Kamu khawatir sama Mas kan? Setelah penolakan kamu terhadap Mas, Mas mulai jarang pulang. Dan itu bikin kamu kepikiran."
"Sok tau."
"Sebenarnya kamu tahu tentang perasaan Mas tapi pura-pura bodoh dan abai."
"…"
"Ternyata benar."
Merasa semakin dipermainkan, Kia tak tahan lagi. Ia memberontak di bawah Iril agar pria itu segera bangun. Namun, pergerakan seinci pun tak juga terlihat. Padahal, Kia merasa dirinya tak selemah itu. Tapi, kenapa dia selalu tak bisa berkutik jika Iril sudah mempermainkannya begini?
"Kenapa Mas tiba-tiba ngelakuin ini? Padahal tadi aku cuma duduk tenang aja dan Mas langsung nyerang aku."
"Seminggu aku berusaha menghindar gara-gara ucapan kamu terakhir kali. Tiba-tiba ngeliat kamu di kamar Mas, dalam kondisi seperti ini, tanpa Mas sadari, semua terjadi begitu saja."
Kia sempat mengernyit ketika Iril mengatakan 'dalam kondisi seperti ini', tapi mengingat pakaiannya yang kali ini memang agak terbuka, membuatnya sempat-sempatnya memutar bola mata.
"Cih! Bilang aja nafsuan. Sok banget bilangnya 'tanpa disadari'"
Iril mengubah posisi, membaringkan badan di samping Kia. Ia tertawa kecil, perempuan itu benar-benar anti kata-kata manis. Padahal, ia sudah memilih kosakata dengan baik, malah disimpulkan dengan satu kalimat yang nyelekit. Tapi, memang benar sih.
Merasakan pergerakan Kia yang akan bangun, Iril menahan lengan wanita itu. Dibawanya Kia menuju dekapannya. Memeluk dengan erat seakan tak ingin kehilangan wanitanya.
"Maaf."
Iril berbisik lirih. Entah untuk apa kata maaf itu ia ucapkan.
"No Mercy."
Kia mendesis. Ia menggunakan tangan yang bebas untuk memukuli punggung Iril. Di pukulnya sekuat tenaga entah untuk alasan apa.
Meski demikian, Kia tetap menenggelamkan wajah dibalik dada Iril. Tak berani menatap atau bahkan sekadar mengintip bagaimana ekspresinya. Ia takut, jika perasaan yang bahkan ia sendiri tak ketahui, akan dibaca dengan mudahnya oleh Iril.
***
Suara alarm membangunkan Kia. Punggungnya terasa kebas karena karpet yang cukup tipis. Melihat seisi ruangan yang remang-remang, ternyata ia ketiduran di kamar Iril. Buku-buku masih berserakan. Mengumpulkan kembali ingatannya, pipi Kia bersemu merah. Bisa-bisanya ia memimpikan Iril sampai segitunya. Bahkan, percakapan yang dia lakukan di dalam mimpi terasa nyata dan terekam sangat jelas di ingatan.
Sepertinya, ini karena dia tidur di kamar Iril, makanya mimpinya sampai senyata itu. Perutnya bahkan masih merasakan efek kupu-kupu beterbangan.
"Mimpi sialan."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Him? Big NO!!!
Romance- Berbagi atap dengan sepupu mamanya yang hanya terpaut lima tahun mungkin terdengar biasa saja, tapi tidak bagi Kia. Kedatangan Iril, paman muda yang dulu sering mengomentari hidupnya dengan nyinyir, kini membawa kegelisahan baru. Bukan hanya karen...