6

0 0 0
                                    

Iril mengulurkan jahe yang masih panas ke hadapan Kia dan berpindah duduk naik ke kursi.

“Makasih, Mas.”

Merasakan kehangatan yang diberikan oleh uap dari minuman itu membuat Kia merasa nyaman. Ia mendesah lega begitu jahe merambat masuk ke tenggorokannya. Panasnya perlahan masuk sampai ke perut dan membuat perasaannya perlahan membaik.

Tangan Iril terulur begitu Kia menandaskan minumnya, di sekanya bekas gula merah yang menempel di sudut bibir Kia. Mendapati sentuhan tak terduga di bibir, Kia terlonjak kaget, matanya mengerjap saat menyadari jaraknya dan Iril yang kini mungkin hanya sejengkal.

Saat matanya bertubrukan dengan Iril, dilihatnya senyuman miring terbit dari bibir pria itu, membuat kepalanya tiba-tiba mengirimkan sinyal berbahaya. Merasakan kilat tatapan Iril perlahan berubah, Kia bersiap untuk bangkit dan berniat pergi.

Sayang, pergerakan Iril lebih sigap untuk mencekalnya hingga ia tak bisa berkutik. Iril mendorong tubuh Kia untuk bersandar ke sofa, kemudian ia gunakan tubuhnya untuk mengurung perempuan itu dengan menindihnya. Kedua tangan Iril bertumpu di sisi kursi hingga masih menyisakan jarak di antara mereka.

“ Ma– Mas mau ngapain?” Cicitnya takut-takut.

“Nggak ngapa-ngapain.”

“Ka–kalau Mas lebih dekat lagi dari ini, a–aku akan teriak!”

Tak memedulikan ancaman Kia, Iril mendekat secara perlahan, tapannya kini berpindah ke bibir Kia yang jujur saja ingin segera dilahapnya. Tapi untuk saat ini, ia menahan diri dulu, belum saatnya.

Diusapnya wajah Kia menggunakan ibu jari. Setiap inci di wajah Kia ia jelajahi dengan memberikan sentuhan lembut di setiap sisi. Mulai dari dahi, alis, mata, hidung, dan terakhir turun ke bibir. Matanya kini mengunci tatapan gadis itu, membuat hembusan napas mereka saling beradu dalam sunyi.

Tak lama, Iril bangkit saat merasakan Kia mulai menahan napas di bawahnya. Tangannya lalu mengacak rambut Kia dengan gemas karena wajahnya yang sudah memerah bak kepiting rebus.

“Nggak ada yang bisa diapa-apain dari kamu.”

***

Dari hari ke hari, kelakuan Mas Iril semakin berani. Tindakannya yang seringkali menyentuh titik-titik sensitifku, membuatku menyadari satu hal. Mas Iril, pasti kebelet nikah.

Mas Iril itu sangat suka sentuhan fisik. Sejak dulu, dia selalu punya alasan agar bisa menyentuhku. Karena hal ini, aku jadi terbiasa dan tak perlu mempertanyakan alasan dibalik tingkahnya yang kadang di luar batas wajarku.

Tapi itu dulu, sekarang beda cerita. Sentuhan dan perlakuan yang dilakukan Mas Iril kepadaku tidak lagi berada pada tahap yang bisa kutolerir. Kadang, aku melihat ekspresi Mas Iril itu penuh nafsu. Menatapku sebagai mangsa yang seakan siap diterkam kapan saja.

Makanya, aku tidak menyukai Mas Iril. Berada di dekatnya selalu membuatku tampak rapuh. Jika dia menggangguku, aku bahkan tak bisa memberi perlawanan apa-apa.

Jadi, hal terakhir yang bisa kulakukan belakangan ini adalah, selalu menghindari Mas Iril. Tiap pulang kerja, aku akan tetap berada di kamar dan menguncinya. Selalu memperhatikan sekitar dan berlalu entah ke mana jika bersinggungan dengannya. Aku tak tahu apa yang dipikirkan Mama sampai berani-beraninya meninggalkanku hanya berdua dengan Mas Iril. Bukannya merasa aman, aku justru selalu merasa terancam.

Tentu saja, aksi menghindariku ini disadari olehnya. Saat ini, ketika aku baru menginjakkan kaki di rumah, Mas Iril yang ternyata sudah lebih dulu di rumah, langsung menarik tanganku dan membawaku duduk di sofa.

Berlutut di hadapanku dengan jarak yang sangat dekat, diam-diam membuatku berdecih. Tuh, kan! Lihat saja kelakuannya, padahal dia bisa saja duduk dengan santai di sampingku alih-alih memposisikan dirinya dengan jarak yang segini dekatnya.

"Kamu menghindari Mas." Mata Mas Iril memicing, menatapku penuh selidik, nada pernyataannya sarat akan penekanan.

"Sok tau."

"Terus, kenapa sering ngunci diri di kamar?

"Aku emang sering ngunci diri di kamar. Jauh sebelum Mas Iril datang. Jadi nggak usah GR!"

"Kenapa menghindar?"

"Aku bilang, aku nggak menghindar."

"Yes, you did."

Aku mengulangi ucapannya dengan nyenyeh, walaupun tebakannya benar, aku tak sudi mengakuinya.

"Lama-lama Mas cium juga kamu."

Lagi-lagi aku menyenyeh ucapannya. Lihat saja ancamannya, apakah ancaman seperti itu adalah jenis ancaman yang biasa seorang paman berikan untuk keponakannya? Tidak. Mas Iril jelas hanyalah orang cabul.

Melihat Mas Iril tiba-tiba menyosor, aku langsung kelabakan. Pertanyaan seputar apakah aku menghindarinya bahkan kujawab tanpa sadar.

"Aku nggak nyaman sama Mas. Mas Iril suka dempet-dempet nggak jelas. Suka raba-raba dan sentuh-sentuh. Sering bikin aku merinding dan risih. Makanya, aku menghindar. Jadi, stop nyosor-nyosor!" Jawabku dengan kecepatan dua kali dan memekik di akhir kalimat.

Rambutku diacak sebagai tanggapan atas jawabanku. Kemudian, Mas Iril berdiri dan masuk menuju kamarnya. Yah, baguslah!

***

Love Him? Big NO!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang