7

0 0 0
                                    

Iril tak tahu apa yang dipikirkan Kia. Kadang, Iril merasa, Kia seperti sadar jika dirinya menyukainya. Tapi, di satu sisi, Kia seperti menjadi manusia paling tidak peka di dunia. Walaupun telah mengenal Kia sejak kecil, tapi, sejak menginjak usia dewasa, perempuan itu rasanya seperti tak tersentuh. Tembok penghalangnya begitu tinggi sampai-sampai Iril sering merasa frustasi.

Sebelumnya, Iril tak pernah seberani ini menggerayangi wanita. Paling, cuma mentok ciuman panas saja. Tapi, dengan Kia, rasanya ia bisa melakukan apa pun. Mungkin, karena orang tua Kia yang memang ingin menjodohkan Kia dengannya, makanya, ia punya nyali sebesar ini.

Mendengar pengakuan Kia yang risih dengannya, tiba-tiba meruntuhkan rasa percaya diri Iril. Ia yang biasanya memiliki kepercayaan diri yang tinggi, hanya dengan beberapa kata penolakan dari Kia, membuatnya merasa rendah diri. Memang sih, tindakan Iril terhadap Kia selama ini terasa di luar batas wajar, tapi, semua itu terjadi begitu saja. Iril sudah berusaha mengontrol sekuat tenaga. Tapi apa daya, Iril tak kuasa menahannya. Kia, terlalu imut di matanya.

Sepertinya, sudah benar pilihan Kia untuk menghindarinya.

***

Akhirnya, Mas Iril jarang kelihatan lagi di rumah. Beberapa hari terakhir, Mas Iril bermalam di luar, entah di mana. Mungkin kafenya. Aku tak peduli, yang jelas, akhirnya aku merasa tenteram jika pulang ke rumah dan tak menemukan Mas Iril di manapun.

Untuk menikmati waktu bersantaiku, kuputuskan untuk membaca manga di kamar Mas Iril. Koleksi manga Mas Iril sangat banyak, jadi, akhir-akhir ini aku sering membaca komik sebagai penghilang suntuk. Biasanya sih aku baca Webtoon, tapi, serial manga yang dikoleksi oleh Mas Iril lebih menarik dari yang kukira. Walau di awal-awal, mataku sangat terganggu dengan warna hitam-putih ini, lama-lama, aku jadi terbiasa dan nyaman-nyaman saja.

Tengkurap di lantai sambil membaca itu memang paling top. Saking serunya, aku sampai kebablasan dan lupa waktu. Ketika melihat jam dinding, ternyata waktu telah menunjukkan pukul delapan malam. Detik itu juga, mataku tak sengaja melihat ke kasur dan mendapati Mas Iril tengah menatapku dengan raut serius.

Sontak saja, aku terlonjak karena keberadaannya. Earphone kulepas, Mas Iril masih setia memandangiku.

"Mas, sejak kapan di situ?" Tanyaku dengan nada panik. Pasalnya, setahuku, Mas Iril itu benci kalau kamarnya dimasuki. Membaca di kamar Mas Iril pun baru kulakukan saat ia tak pernah kelihatan. Makanya aku panik begini.

"Sejak dua puluh menit yang lalu."

Melihat pakaiannya yang terlihat formal, aku merasa bersalah. Sepertinya, Mas Iril mau ganti baju, tapi keberadaanku di sini membuatnya urung melakukan itu.

Aku membereskan bacaanku, lantai ini cukup berantakan akibat beberapa buku yang bertebaran.

Mas Iril mendekat, bajunya sudah ia tanggalkan. Kini, ia hanya bertelanjang dada. Melihat otot-otot perutnya, membuatku meringis. Dalam hati bertanya-tanya, harus berapa lama seseorang berolahraga untuk mendapatkan badan seperti itu?

"Sejak kapan kamu mulai masuk kamar Mas?" Mas Iril bertanya ketika telah duduk di hadapanku.

"Sejak Mas bermalam di luar."

"Kamu suka di sini?"

"Biasa aja. Aku baca di sini, karena ribet harus bawa bukunya keluar.

"Kamu baca manga apa?"

"Tuh!" Sebenarnya, aku hanya asal menunjuk buku. Keberadaan Mas Iril yang semakin dekat apalagi dalam keadaan telanjang, bikin aku gagal fokus. Lagian ini orang ngapain buka baju segala sih?!

Mas Iril mengernyit. Mengambil buku yang kutunjuk. Kemudian, senyum miring terbit di bibirnya.

"Kamu juga suka baca beginian, toh. Tahu gitu, kita bisa baca sama-sama. Mas masih punya banyak koleksi loh."

"Mas mending pakai baju deh. Jelek banget telanjang gitu."

"Kamu nggak suka?"

"Iya."

"Tapi di komik ini banyak orang telanjangnya."

"Terus apa hubungannya…" aku mengerjap. Komik yang dipegang Mas Iril ia buka sehingga memperlihatkan potongan adegan dewasa di dalamnya. Tadi kalau tidak salah, aku menunjuk buku itu. Kok isinya gitu? Padahal sampulnya keliatan normal.

"Seenggaknya yang di komik lebih seksi. Kalau Mas, nggak seksi sama sekali."

"Oh ya?"

"Mas, cepetan pakai baju deh! Selagi aku beresin bukunya. Serius, Mas jelek banget kayak git—."

Terjangan terjadi begitu tiba-tiba. Sampai-sampai, aku tak sempat berkutik dan hanya mematung ketika Mas Iril menyosor. Tak seperti sebelum-sebelumnya jika Mas Iril hanya menggoda saja, kali ini, ia benar-benar menyerangku.

Tanpa aba-aba, tubuhku telah ditindih, dan kepalanya telah mengarah ke leherku. Embusan napas Mas Iril terasa menggelitik, membuat jantungku berdebar tak karuan. Merasakan lidah Mas Iril mulai menjilat di sana, membuatku menelan ludah. Sesekali, kurasakan ia bahkan mengisap leherku dengan membabi buta.

Jujur saja, aku kalang kabut luar biasa.

***

Love Him? Big NO!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang