10

0 0 0
                                    

Memotong kuku kaki adalah salah-satu kegiatan yang menurutku paling ribet. Jika memosisikan kaki dengan jarak satu lengan dari kepala, yaitu dengan cara menekuk lutut, mata akan kesulitan melihat detail kuku yang akan dipotong. Tapi, jika mencoba mendekatkan kaki sampai ke depan mata, alias menekuk lutut mencapai perut dengan posisi badan membungkuk hampir 90 derajat, yang ada, encok duluan sebelum kuku kaki selesai di potong.

Karena kedua alternatif itu sangat tidak praktis, makanya, aku sangat jarang memotong kuku kaki. Palingan dalam sebulan, aktivitas potong kuku kaki ini akan kulakukan sekali saja. Atau, alternatif lain, meminta orang lain memotongkannya untukku.

Tapi khusus kali ini, Mas Iril dengan sukarela melakukannya untukku. Sepertinya, melihatku memotong kuku dalam posisi yang tidak mengenakkan untuk dilihat, Mas Iril jadi risih dan langsung mengambil alih kakiku untuk dipotong… kukunya.

Ngomong-ngomong, melihatnya duduk melantai sambil memegang kakiku sementara aku duduk di sofa, terlihat cukup menyenangkan. Ekspresi serius Mas Iril lumayan menghibur, seperti seorang hamba sahaya yang melayani sang majikan. Hahaha!!! Ups!

"Nanti potongin Mas juga yah!"

Mas Iril membuka suara disela-sela kegiatannya, memberikan sebuah permintaan yang kontan membuatku mengernyitkan hidung.

"Nggak, ah. Aku nggak suka megang kaki orang lain."

Mas Iril mendongak. Sambil memandangku, ia angkat kakiku lebih tinggi. Selanjutnya, melakukan sebuah tindakan yang membuatku tercengang. Tanpa merasa jijik, Mas Iril menggigit pergelangan kakiku.

"Ih, Mas! Jorok banget, iyuh!" Pekikku begitu tersadar dengan apa yang ia lakukan.

"Lebay!"

"Apanya yang lebay? Mas yang aneh. Main gigit-gigit aja. Itu kaki, loh."

"Kamu lebay. Mas minta tolong buat motongin juga, malah alasan nggak suka megang kaki orang lain. Ya sekalian aja Mas kasih liat seberapa lebay-nya pernyataanmu yang bilang nggak suka megang kaki orang lain."

"Ya tapi nggak digigit juga."

"Jadi, mau motongin atau enggak?"

"Nggak mau."

Begitu melihat Mas Iril akan mendekatkan kakiku ke wajahnya lagi, aku dengan cepat meralat ucapanku.

"Iya, iya! Dasar tukang ngancam."

"Gitu dong."

Mas Iril kembali fokus memotong kukuku. Dari posisi ini, aku diam-diam mengagumi kulit coklatnya. Menurutku, warna kulit Mas Iril itu cantik banget, khas kulit orang Indonesia. Tapi, aku kadang heran, kalau perempuan yang memiliki kulit berwarna secoklat itu, seringkali dikatai 'maghrib' dalam konotasi negatif oleh banyak orang. Ucapanku ini berdasarkan apa yang kulihat dari berbagai komentar di sosial media. Seringkali, perempuan yang memiliki warna kulit kecoklatan dan bersanding dengan orang yang lebih putih, malah mendapat bulan-bulanan dari netizen.

Memang tak semua orang seperti itu, tapi, karena standar kecantikan orang Indonesia yang menyukai kulit putih dan suka sekali berkomentar jahat terhadap perempuan berkulit gelap, perempuan-perempuan dengan kulit coklat ini banyak yang merasa insecure dengan kondisi kulit mereka. Padahal, bagi orang Indonesia, sangat normal memiliki kulit berwarna coklat kegelapan atau sawo matang. Dan itu tak hanya kulihat di sosial media. Di kehidupan nyata pun, aku sering mendapat situasi tak mengenakkan mengenai perbandingan warna kulit ini.

Aku sering mendengar komentar semacam "kamu enak karena kulitmu putih." di lingkup pergaulanku. Jujur saja, mendengar itu, membuatku merasa tak enak hati. Tentu aku bersyukur dengan warna kulitku yang terbilang cerah. Tapi, mendengar komentar perbandingan yang menjurus ke arah merendah dan mengagung-agungkan kulit putihku, malah membuatku merasa bersalah padahal tak melakukan apa-apa. Jadinya malah serba salah.

Yah, begitulah. Pokoknya, jadi perempuan itu ribet. Banyak sekali rintangan dan cobaannya untuk mencapai kehidupan yang damai.

Selesai dengan pemikiranku tentang warna kulit, muncul sebuah pertanyaan di kepala yang tiba-tiba ingin kulontarkan kepada Mas Iril.

"Mas! Tipe Mas, cewek kulit warna cerah atau gelap?"

"Random banget pertanyaan kamu."

"Nggak random ini. Tadi kepikiran tentang warna kulit. Eh, tiba-tiba penasaran sama tipe-nya Mas."

"Nggak pernah kepikiran sih. Selama ini, Mas kalau suka seseorang nggak pernah matok ke warna kulit. Tapi, kalau dipikir-pikir, belakangan, kayaknya Mas lagi suka sama yang warna kulitnya cerah deh."

"Kenapa gitu?"

"Karena, waktu Mas bandingin warna kulit Mas yang gelap sama warna kulitnya yang cerah, kayak cakep gitu. Mas gemas ngeliatnya."

"Gitu yah?!"

"Warna kulit itu cuma faktor kecil saja. Karena Mas suka sama orangnya, jadi, kelebihan-kelebihan fisik seperti warna kulit putih pada perempuan itu cuma bonus. Bukan berarti Mas beranggapan bahwa perempuan berkulit gelap itu merupakan kekurangan. Cuma, karena kita hidup di lingkungan yang masyarakatnya menjunjung tinggi warna kulit putih, jadi, warna kulit yang putih bisa dibilang kelebihan."

"Jadi, Mas setuju sama standar masyarakat kita yang begitu mengagung-agungkan untuk memiliki kulit putih?"

"Standar kecantikan tiap negara, entah kita menolak atau menerima, pasti akan ada aja. Dan itu nggak muncul begitu saja tanpa sebab. Tentang standar kecantikan di negara ini yang begitu menjunjung tinggi kulit putih, Mas nggak setuju, tapi juga tidak menolak. Selama orang yang mengagung-agungkan kulit putih itu tidak merendahkan yang lain, menurut Mas, nggak masalah. Tapi, kalau sudah sampai bikin orang berkulit gelap merasa terdiskriminasi, itu yang salah."

Aku mengangguk pelan, menatap Mas Iril sok takjub walau sebenarnya memang takjub sama jawabannya. Memang sih, standar kecantikan itu pasti selalu ada, dan mungkin akan terus berkembang sesuai dengan pandangan masyarakat. Tapi, yang lebih penting adalah bagaimana kita menyikapi hal ini. Apakah kita akan menjadikan standar masyarakat itu sebagai patokan untuk meng-upgrade diri, atau memilih jalan lain yang memang menjadi pilihan kita tanpa harus membandingkan atau merendahkan orang lain.

"Mas pernah insecure sama warna kulit sendiri?" tanyaku iseng.

Mas Iril tersenyum tipis, meletakkan alat pemotong kuku, lalu menatapku serius.

"Hm… pernah. Waktu masih SMP dulu. Banyak yang bilang Mas terlalu gelap. Ada yang bilang, Mas nggak cocok pakai baju warna terang. Katanya, kalau Mas lebih putih, pasti lebih cakep. Gara-gara semua komentar itu, Mas jadi kurang percaya diri."

"Tapi sekarang Mas baik-baik aja, kan?"

"Tentu saja. Sekarang mah udah nggak peduli. Bahkan, banyak yang muji warna kulit Mas yang katanya eksotis. Lagipula, yang bikin orang suka atau nggak suka sama pribadi kita itu bukan cuma soal penampilan fisik, tapi lebih ke bagaimana kita sebagai individu. Lagi pula, warna kulit bukan sesuatu yang bisa kita pilih. Jadi, buat apa dipermasalahkan?"

Aku tersenyum mendengar jawaban Mas Iril. Mungkin, apa yang ia katakan itu benar. Pada akhirnya, yang paling penting adalah bagaimana kita merasa nyaman dengan diri kita sendiri, tanpa perlu terlalu memikirkan pandangan orang lain.

"Setuju!" ujarku singkat, mengerling kearahnya.

Mas Iril tertawa kecil, lalu kembali memotong kuku kakiku. Memperhatikan Mas Iril di sini, dan mendengar tawanya yang renyah, mendadak membuat perasaanku terasa ganjil. Tiba-tiba, entah dari mana, Mas Iril terlihat lebih tampan di mataku.

Sadar dengan pemikiranku, aku mengerjap, mengalihkan pandangan ke arah lain.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 23 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Love Him? Big NO!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang