Begitu tangannya terulur dan menurunkan kerah bajuku, aku melotot sejadi-jadinya, mencubit tangannya sekeras yang kubisa.
"Sakit, Kia!" Mas Iril mengaduh, tapi tak kupedulikan.
"Mas keterlaluan. Tingkah Mas udah nggak bisa kutolerir lagi. Mas mau ngapain, hah?!"
Ia menghela napas, melihatnya yang sok capek menghadapiku, aku mendengus. Justru aku yang seharusnya capek menghadapinya, bukan dia.
"Mas cuma penasaran sama tato kamu. Barusan nggak sengaja liat. Memang kamu tuh mikirin apa sih? Kalau Mas mau ngapa-ngapain, udah dari kemarin-kemarin kali."
Aku menyenyeh kalimat terakhirnya. Padahal selama tinggal di rumah ini, selalu tuh aku diapa-apain. Yang tadi adalah contoh kecilnya.
"Sejak kapan kamu pakai tato?"
"Kepo."
"Kiara Andira Pradipta!"
"Apa sih? Sok iye banget."
"Ini anak nyinyir banget. Tinggal jawab aja apa susahnya."
"Setahun yang lalu. Udah deh, Mas. Nggak penting banget nanya tato. Aku tuh lapar, pengen makan. Mi-ku udah bengkak gara-gara Mas gangguin dari tadi."
"Siapa yang tatoin?"
"Ya tukang tato. Aneh banget pertanyaannya."
"Cewek, cowok?"
Ini orang kenapa, sih?
"Cewek."
"Boleh Mas Liat? Penasaran soalnya."
"Nggak boleh. Soalnya dekat payudara."
"Tambah pengen liat kalau gitu."
Tatapan jijik pelak kulemparkan padanya, tak lupa, mulutnya kutarik sampai doer.
"Dasar cabul."
Respons Mas Iril? Tertawa ngakak sambil mencubit-cubit pipiku. Mana sakit banget, lagi.
***
Sedang weekend, dan aku masih di rumah saja. Padahal aku sudah merencanakan untuk me time di luar, tapi Mas Iril malah menahanku dengan setumpuk pakaian yang mau disetrikakan. Aku tuh paling benci menyetrika. Entah mengapa, satu pakaian saja bisa memakan waktu sampai setengah jam untuk kuselesaikan. Dan kini, ada sepuluh pasang pakaian yang harus kusetrika. Bayangkan, berapa lama aku harus menyelesaikan ini?
Tadi pagi, Papa menelepon Mas Iril. Mas Iril yang sengaja mengaktifkan speaker-nya, mau tak mau membuatku mendengar percakapan mereka. Intinya, Papa menyuruh Mas Iril mengawasiku. Kalau perlu, melarangku keluar karena aku bisa sampai ke luar kota kalau Mama sama Papa tidak di rumah.
Gara-gara pesan itu, Mas Iril jadi punya alasan untuk mengurungku. Padahal, aku cuma ingin jalan-jalan di area kota ini tanpa niatan keluar kota sama sekali. Tubuhnya yang sigap mencegatku dan matanya yang selalu mengawasi, membuatku tak punya kesempatan untuk kabur. Oleh karena itu, sebagai syarat agar dia mengizinkanku keluar, aku harus menyetrikakan pakaiannya. Benar-benar manusia licik yang suka memanfaatkan keadaan.
Rasanya, sudah satu jam aku berhadapan dengan pakaian-pakaian ini, tapi aku baru menyelesaikan tiga saja. Lama-lama, aku jadi emosi dan mencabut steker tanpa menyelesaikan setrikaanku. Persetan dengan pakaian ini, aku sudah tak berniat lagi untuk keluar. Melihat Mas Iril yang sedang tengkurap di karpet sambil main game di ponsel, memunculkan amarah dalam diriku. Karena tak suka melihatnya bersenang-senang di atas penderitaanku, aku mendekati dan merebut ponselnya. Mengamankannya di belakang punggungku.
"What are you doing?"
"Nggak usah sok inggris!" Ucapku ketus.
"Kamu sensi amat. Lagi PMS?! Kembaliin HP Mas?!"
"Nggak mau. Ngeliat Mas main game saat aku lagi kesulitan bikin darahku mendidih."
"Yakin nggak mau? Mas kasih kesempatan selama tiga detik."
Posisi tengkurap Mas Iril kini berubah menjadi duduk bersila, melihat itu, aku spontan mundur. Sebelum ancamannya menjadi kenyataan, aku berdiri dan bersiap untuk pergi.
Seperti mengantisipasi pergerakanku, tanganku sudah digenggam lebih dulu. Menarikku hingga terduduk di pangkuannya. Aku otomatis melotot, sebelum Mas Iril melakukan sesuatu yang merugikanku, aku langsung memberikan ponselnya.
"Sudah terlambat. Udah lebih dari tiga detik." Ucapnya, namun tetap mengambil ponsel di tanganku.
Aku menoleh, bergidik melihat senyum nakalnya. "Mas udah ngambil yah. Kita udah nggak punya urusan lagi." Kataku sok tenang. Kucoba melepaskan diri dari kungkungan tangannya, tapi nihil. Tenaganya jauh lebih besar daripada aku.
Inilah salah-satu alasan mengapa aku benci pria kekar, perawakan mereka terlalu mendominasi dan mengintimidasi. Dan aku anti dengan pria semacam itu, Mas Iril ini contohnya. Jika berhadapan dengan pria besar, jujur saja, nyaliku sering merasa ciut. Mereka seakan-akan bisa dengan mudah meremukkan tubuhku hanya dengan sentuhan kecil saja.
"Lepasin, nggak!!!"
"Nggak mau."
"Mas, ih. Aku laporin Papa ya kamu."
"Laporin aja. Emang aku takut?!"
Membalikkan badan ke arahnya, kuberikan tatapan paling tajamku. Dengan keberanian yang kukumpulkan, kuarahkan kepalaku ke bahu Mas Iril, menggigitnya sekuat tenaga.
Baru sedetik berlalu sejak aku menggigitnya, tubuhku tiba-tiba dibaringkan ke karpet. Mas Iril langsung menindihku, membuat jantungku berpacu lebih kencang. Salivaku kutelan susah payah, menyaksikan tatapan Mas Iril yang terlihat ganas, seakan siap menerkam kapan saja.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Him? Big NO!!!
Storie d'amore- Berbagi atap dengan sepupu mamanya yang hanya terpaut lima tahun mungkin terdengar biasa saja, tapi tidak bagi Kia. Kedatangan Iril, paman muda yang dulu sering mengomentari hidupnya dengan nyinyir, kini membawa kegelisahan baru. Bukan hanya karen...