9

0 0 0
                                    

Gara-gara mimpi kemarin, Kia terus saja memikirkan Iril. Pikirannya seakan memaksa untuk mengingat kembali momen-momen perlakuan Iril selama ini.

Walau kesannya hanya berniat usil, dalam hati terdalam, Kia sangat sadar jika semua usikan itu adalah bentuk ketertarikan Iril. Selama ini, Kia sudah berusaha untuk masa bodoh dengan apa pun tindakan Iril padanya. Tapi, Kia tak mengira, jika sebuah mimpi absurd bisa membuatnya sampai gelisah dan kepikiran seperti ini.

Menurut Kia, Iril sebagai sosok pria itu sangat menarik. Walau bukan tipenya, tapi Kia yakin, siapa pun yang melihat Iril dalam sekali pandang, bisa langsung terpana oleh ketampanannya.

Ada satu hal yang membuat Kia merasa harus membangun tembok yang kokoh untuk mencegah Iril menerobos pertahanannya; itu adalah sifat buas Iril.

Berdasarkan apa yang Kia lihat dari sosok Iril, jika ia lengah sedikit saja, mungkin adegan mimpinya semalam bisa benar-benar terjadi. Atau bahkan lebih parah.

Makanya, Kia merasa ia harus tetap bersikap tak peka terhadap apa pun tindakan Iril. Memperlihatkan bahwa ia menyadari perasaan Iril hanya akan membuat situasi semakin runyam.

Di tengah lamunan Kia menyantap makanan, Iril yang duduk di hadapannya hanya menikmati momen itu. Walau tak tahu apa yang dipikirkan gadisnya, meneliti tiap inti wajah Kia seperti ini membuatnya menikmati keadaan yang tercipta. Bibir Iril tak kuasa menahan senyum. Tak peduli berapa lama ia memandang wajah Kia, tak membuatnya bosan sama sekali. Helaan napas yang sudah terdengar beberapa kali, membuat Iril merasa gemas untuk segera mencubit pipinya.

"Mikirin apa sih, Kia?"

"Mas Iril nggak niat cari pacar?"

"Kenapa tiba-tiba bahas pacar?"

"Aku kasihan, Mas nggak ada pawangnya."

Walau tak mengerti arah pertanyaan Kia bermuara, Iril tetap menjawab dengan sabar, "buat apa? Kan ada kamu yang jadi pawangnya Mas."

Kia menipiskan bibir, menatap Iril dengan sungguh-sungguh, lalu berbicara lebih kepada diri sendiri. "Apa aku bantu cariin aja kali yah?"

"Kenapa harus dicari kalau di depan mata saja sudah ada?!"

Kia pura-pura tak mendengar celetukan itu dan terus melanjutkan pemikirannya. Sepertinya, ide bagus untuk mencarikan pacar buat Iril. Agar Iril tak perlu lagi mengusilinya. Saat hari libur bukannya keluar untuk berkencan, malah memilih menghabiskan waktu di rumah untuk mengganggu ketenangan Kia.

"Mau kukenalin sama temanku nggak, Mas?"

"Nggak, makasih. Mas udah punya calon sendiri."

Kia mengerjap, menatap tak percaya pada Iril. Sejenak lupa bahwa orang yang dimaksud Iril kemungkinan adalah dirinya.

"Oh ya?! Cepat ditembak kalau gitu, Mas! Keburu diembat sama orang lain."

"Menurut kamu gitu?"

"Iya. Kalau orangnya Mas Iril, seharusnya nggak akan ditolak. Percaya deh!"

"Kalau gitu…" Iril berdiri dari kursi, berpindah duduk ke samping Kia. Kia memproses aksi Iril, pikirannya belum memikirkan apa yang akan terjadi akibat ucapannya.

"Kamu mau jadi pacar Mas?"

***

Ooohhh!!!

Aku baru menyadari kesalahanku. Padahal aku jelas-jelas sudah mengetahui perasaan Mas Iril. Terus, kenapa aku tak kepikiran tentang siapa calon yang dia maksud? Tentu saja itu aku, dong.

Sudah begini, aku harus merespons apa? Haruskah aku berpura-pura bego dan masa bodoh seperti sebelumnya?

Berusaha terlihat normal, aku tersenyum sok manis. Menepuk-nepuk puncak kepala Mas Iril dan mengusapnya seolah bangga.

"Good guy! Aku yakin, target Mas akan luluh. Cuma, setelah kupikir-pikir lagi, sebelum Mas ngungkapin perasaan, sebaiknya cari tahu dulu perasaan target Mas! Kalau langsung nembak tanpa tahu apakah perempuan itu suka atau nggak sama Mas, bisa berabe. Yang ada, ceweknya kabur duluan."

Aku menghela napas lega begitu menyelesaikan ucapanku yang terucap dengan lancar. Dalam hati, aku memuji diri sendiri.

"Bukannya kamu bilang, Mas nggak akan ditolak?"

"Bahkan sekelas Lee Min Ho yang punya segudang pesona, bisa dengan mudah ditolak kalau cara pendekatannya yang salah. Apalagi cuma Mas Iril yang punya sejuta kelemahan."

"Kalau gitu, Mas cuma perlu melakukan pendekatan dengan baik kan?"

"Tentu saja."

Mas Iril menepuk puncak kepalaku, tersenyum penuh arti. Walau tak tahu maksud ekspresinya, aku tetap membalas senyumannya dengan tak kalah manisnya.

"Makasih pencerahannya. Akan Mas terapkan."

***

Love Him? Big NO!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang