Wajah Kia merah padam, tatapannya terlihat memohon, meminta Iril untuk segera melepaskannya. Bukannya merasa kasihan, Iril justru menikmati momen ini. Terlebih, ekspresi itu membuat adrenalinnya berpacu. Detak jantungnya berdebar menyenangkan, perutnya seakan dipenuhi oleh kupu-kupu yang beterbangan. Posisi mereka saat ini, serta ekspresi wajah Kia, membangkitkan sifat liarnya.
Jujur saja, Iril sangat ingin memagut bibir gadis di bawahnya ini. Tapi, sekarang belum saatnya. Bisa-bisa, Kia menjauhi dan tak mau berurusan dengannya lagi. Setidaknya, ia harus membuat gadis ini menyukainya terlebih dahulu. Nanti, akan ada saatnya, semua pikiran mesumnya benar-benar bisa dieksekusi.
"Mas!" Panggilan itu terdengar lirih di telinga Iril, melihat wajah ketakutan Kia, membuatnya luluh juga.
Iril akhirnya menjauhkan diri. Sebenarnya, ia belum puas. Iril sangat ingin menyentuh Kia. Minimal, membelai perut hingga punggungnya, menelusuk ke dalam pakaiannya yang kebesaran, menikmati sensasi kulit telanjang Kia di telapak tangannya. Yah, sebejat itulah pikiran Iril.
***
Sudah tiga jam Kia mendekam dalam kamar, pintu yang terkunci membuat Iril tak bisa masuk. Sudah mengetuk beberapa kali, tapi tak ada respons. Kamarnya terlalu sunyi, bahkan celah-celah pintu terlihat gelap. Sekitar jam tiga tadi, Kia masuk kamar dan belum keluar hingga sekarang. Khawatir terjadi apa-apa, Iril mulai menggedor-gedor pintu. Berharap, mendapat respons dari dalam sana.
Tak lama kemudian, Kia keluar. Wajahnya pucat pasi, bibirnya kering, rambutnya acak-acakan. Dengan sigap, Iril mengecek suhu badan Kia. Terasa normal.
"Kamu keliatan nggak sehat. Mau ke rumah sakit?"
"Aku cuma sakit perut aja, Mas. Menstruasi hari pertama."
Iril mengangguk-angguk, merasa lega. Ternyata siklus bulanan. Melihat keadaan Kia yang sangat memperihatinkan, ia angkat tubuh mungil itu menuju sofa. Walaupun terkejut dengan aksi itu, Kia tak memberontak. Sepertinya, ia benar-benar tak berdaya.
"Biasanya kamu minum obat tertentu nggak kalau lagi haid?" Iril bertanya begitu membaringkan Kia di sofa.
"Nggak, Mas. Paling dikompres air dingin aja. Bentaran juga mendingan."
Beranjak menuju dapur, Iril menyediakan alat kompres. Tak lupa, ia membuatkan minuman jahe. Seharusnya, ini bisa melegakan perut yang sakit.
Begitu selesai dan telah kembali ke tempat Kia berbaring, Iril langsung menyingkap pakaian Kia, mengekspos perutnya yang rata namun berisi.
Menyadari perutnya terasa berangin, di sela-sela pejaman matanya, Kia kontan melotot. Memberikan tatapan garang saat melihat bajunya telah tersingkap. Tangannya menurunkan kembali pakaiannya, ia tak akan membiarkan pria mesum itu menyentuhnya.
Melihat itu, Iril terkekeh. Lucu sekali menyaksikan raut panik Kia. Baginya, ekspresi itu tampak sangat manis.
"Aku bisa sendiri."
"Biar Mas aja! Mas janji, tangan Mas cuma akan fokus ngompres doang."
"Awas kalau kamu macam-macam."
"Iya, iya. Mas akan tanggung jawab kalau emang macam-macam."
Kia mendelik. Ucapan itu terdengar seperti ucapan buaya darat.
"Mas janji nggak akan macam-macam. I swear."
Awalnya sih, Iril memang berpikir tak akan bermacam-macam. Tapi, merasakan perut Kia di telapak tangannya, membuat pikirannya ke mana-mana. Tadinya, ia hanya mengompres, jadi, pikirannya aman-aman saja. Namun, ketika Kia mulai mengaduh sakit, Iril berinisiatif untuk memijat perut Kia. Siapa sangka, hanya dengan membelai perutnya, bisa membuat jakun Iril naik turun begini. Terlebih, kulit putih Kia yang sangat kontras dengan kulit coklatnya, menciptakan gelenyar aneh dalam diri Iril. Iril suka dengan perbedaan warna mereka. Apalagi, perut Kia yang terlihat kecil di tangannya yang besar.
"Perut kamu lucu."
"Apanya?"
"Rata tapi empuk. Mas suka sensasinya, kayak megang slime."
Kia tak langsung merespons. Matanya menyipit menyaksikan tatapan Iril yang fokus memandangi perutnya. Tak lama, Kia mengernyit jijik. Ucapan Iril terdengar tidak senonoh di telinganya.
"Udah, Mas! Perutku udah nggak sakit lagi. Makasih."
Kia bangkit, memposisikan diri duduk di sofa. Perutnya memang sudah agak mendingan, berkat Iril.
Di tengah-tengah duduknya, ia sempatkan menatap Iril, walau hanya sepersekian detik, Kia yakin melihat raut kecewa di sana.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Him? Big NO!!!
Romance- Berbagi atap dengan sepupu mamanya yang hanya terpaut lima tahun mungkin terdengar biasa saja, tapi tidak bagi Kia. Kedatangan Iril, paman muda yang dulu sering mengomentari hidupnya dengan nyinyir, kini membawa kegelisahan baru. Bukan hanya karen...