Pukul sebelas malam, aku baru merasa lapar dan memutuskan untuk memasak mi instan. Lampu dapur yang remang-remang memberikan suasana tenang dan nyaman. Karena Mama sudah pergi dan Mas Iril akhir-akhir ini jarang kelihatan di rumah, makanku jadi tak teratur begini.
Aku mulai menyiapkan panci dan mengisi air. Ketika aku sibuk dengan persiapan memasak, Mas Iril tiba-tiba muncul di dapur. Kemunculan yang membuatku tersentak karena kedatangannya yang terlalu mendadak. Seakan tak merasa bersalah dengan kehadirannya yang tanpa suara, Mas Iril malah tersenyum seolah meledekku. Seperti biasa, dengan wajah santai yang selalu terpasang di wajahnya. Ia lalu berceletuk,"kamu mau masak mi, kan? Sekalian buat aku juga, ya!" perintahnya, tanpa sedikit pun rasa sungkan.
Mendengar itu, aku bersungut-sungut dalam hati. Namun mengingat Mas Iril sering memasak untukku, jadi aku hanya membalas dengan anggukan dan senyum terpaksa. Yah… anggap saja ini balas budi.
Saat memecahkan telur dan memasukkannya ke dalam panci, tahu-tahu, aku merasakan kehadiran Mas Iril yang terasa begitu dekat. Sebelum sempat bereaksi, kurasakan embusan napas membelai daun telingaku. Perasaan geli menjalar dari telinga ke seluruh tubuhku, membuatku menggeliat dan sontak mencoba melepaskan diri dari sensasi itu. Namun, Mas Iril menahan gerakanku sehingga aku tak bisa berkutik dengan aksinya yang mengejutkan.
Sebuah bisikan lalu terdengar, “Kamu terlihat menarik dari sini.” lirihnya dengan suara yang… terdengar lembut.
Sekejap, seluruh tubuhku merinding. Bisikannya begitu dekat, terasa intim, hingga membuat bulu kudukku meremang. Karena mengetahui kebiasaan jahilnya yang seringkali keterlaluan, aku berusaha tetap tenang dan fokus pada mi yang sedang kumasak, meskipun jantungku tiba-tiba berdebar lebih cepat dari biasanya.
"Mi-nya sebentar lagi matang," kataku dengan suara yang berusaha kupertegas, berharap Mas Iril menjauh. Namun, Mas Iril hanya tersenyum tipis dan mengangguk, tetap berdiri dengan kedua tangan yang mengurung pergerakanku. Sontak, aku menoleh dan menatapnya penuh tanda tanya.
Melihat ia masih betah di belakangku, bahkan sampai mendempetkan badannya, aku langsung mendorongnya dengan siku.
Ketika tubuh Mas Iril terdorong sedikit, dia hanya terkekeh kecil, membuatku semakin mengernyit. Tak mengerti apa yang lucu dari tindakannya ini. Yang jelas, kegilaannya yang sekonyong-konyong ini, tidak lucu sama sekali.
“Mas Iril kenapa sih?” tanyaku, ketika merasakan ketidaknyamanan yang semakin mendera.
Tak tahan dengan aksinya, aku berbalik ke arahnya setelah mematikan kompor. Kutatap ia dengan tatapan tertajam yang kupunya.
“Aku cuma mau lihat kamu dari dekat,” ucapnya, terdengar seperti bisikan. Suaranya lembut di tengah remang cahaya dapur ini. Aku? Jangan di tanya, hanya melongo mendapati jawaban absurd-nya.
Tak ingin merespons lebih lanjut, aku bergegas pergi. Persetan dengan mi dan rasa lapar yang menyerang. Menanggapi Mas Iril lebih lama lagi bisa-bisa membuatku kehilangan akal. Walau tak tahu mengapa ia tiba-tiba berlaku seperti itu, tapi aku tetap berpikir positif. Bisa jadi ia sedang mabuk dan mengira aku adalah pacarnya dan melakukan hal gila ini.
Namun, baru beberapa langkah, Mas Iril malah menangkap tanganku dan menarikku ke arahnya. Sebelum aku sempat memprotes, ia telah lebih dulu membopongku, membawaku ke meja bar dapur dan mendudukkanku di sana. Mendapati perlakuan seperti itu, aku menjadi geram, mengeluarkan kekesalanku.
“Mas kenapa sih? Dari tadi aneh banget! Mas suka sama aku apa gimana?! Caper banget!!! Tiba-tiba dempet-dempetan lah… terus bisik-bisik nggak jelas lah, bilangnya aku menarik lah… dan sekarang, naro aku di meja. Mas Iril lagi butuh kasih sayang?! Iya?!”
Tak tahan lagi dengan tingkahnya, aku mengeluarkan kesahku. Tak peduli lagi dengan sopan santun, yang ada dipikiranku saat ini adalah, aku tak ingin lagi berlama-lama dengan Mas Iril. Tingkahnya yang seperti ini mengingatkan dengan tingkahnya di masa lalu. Di mana, dia dengan beraninya mencium pipiku di depan umum. Benar-benar manusia caper yang tak bisa kuprediksi.
Namun, yang kudapati, Mas Iril tetap tenang memandangku. Tatapannya yang tenang itu membuatku justru merasa gelisah. Dia mikirin apa sih? Apa maksud perilaku anehnya saat ini?
"Aku cuma mau mastiin sesuatu.”
Kutatap Mas Iril dengan ketus, "mastiin apa?!”
"Diam dulu makanya!"
Aku menurut, saking nurutnya, tubuhku bahkan sampai mematung, menunggu dengan sabar apa yang mau dia pastikan.
Tangan Mas Iril terulur dan perlahan menurunkan kerah bajuku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Him? Big NO!!!
Romance- Berbagi atap dengan sepupu mamanya yang hanya terpaut lima tahun mungkin terdengar biasa saja, tapi tidak bagi Kia. Kedatangan Iril, paman muda yang dulu sering mengomentari hidupnya dengan nyinyir, kini membawa kegelisahan baru. Bukan hanya karen...