Jam sudah menunjukkan pukul delapan lewat empat puluh delapan malam. Kantor polisi tengah kota itu juga sudah mulai sepi, hanya tersisa beberapa orang dari berbagai divisi yang tinggal dan sisanya adalah petugas piket malam yang baru mulai berdatangan.Serupa, kantor divisi kriminal juga tampak hening. Hanya ada Galaksi dan Rey yang duduk di kursi masing-masing. Menunggu Heru dan Eki, petugas yang akan menggantikan mereka.
Tidak ada obrolan, keduanya sibuk dengan handphone masing-masing. Suara yang tercipta dalam ruangan itu hanya berasal dari denting jarum jam, kipas angin dan televisi yang dihidupkan dengan volume kecil.
Hening itu berlangsung lama, sampai derap langkah kaki terdengar dari arah luar kantor mereka membuat Gala dan Rey menengok kearah sumber suara bersamaan.
Tak berselang lama, Kolonel Johan sudah tampak di depan pintu dengan nafas yang tersengal.
"Berapa yang tersisa?" tanyanya tegas. Sambil mengatur nafas dan menghirup oksigen sebanyak banyaknya.
"Hanya saya dan Gala Komandan. Bang Heru sama Eki katanya ada laka makanya belum nyampe, lagi dimintai keterangan sama..."
"Bersiap sekarang. DPO pembunuh satu keluarga di Muara Batur akhirnya terdeteksi. Kita harus bergerak cepat." perintah Johan sambil berjalan cepat ke ruangannya dan mengambil perlengkapan seperti rompi anti peluru dan langsung memasangnya dengan cekatan.
"Kenapa diam saja? Tunggu apa lagi? Mau kasus ini dilimpahkan ke kantor pusat karena tim disini tidak becus? Karena anggota disini lamban?" pria itu masih sempat mengomel sementara matanya sibuk memeriksa peluru di dalam magasine senjatany.
"Siap!" ujar dua orang itu. Mau tak mau mereka ikut kelabakan mempersiapkan diri.
"Tentang titik lokasi dan lain lain akan saya jelaskan di mobil. Hubungin Heru dan Eki mimta menyusul sesegera mungkin. Ayo cepat!" Johan berjalan tegap setelah memastikan semua alat "tempurnya" siap.
"Ndan..."
"Ada apalagi Sersan Galaksi?"
"S... Saya tidak bersenjata."
Johan menggebrak meja di hadapannya. Tatapan tajam serta rahang kokoh yang mengeras, sebenarnya cukup membuat bintara yang ditugaskan memeriksa masuk dan keluarnya senjata itu gentar. Namun tugas tetaplah tugas baginya. Galaksi belum memiliki izin mengoperasikan senjata. Dan dia tidak mau mengambil resiko.
"Izin Kolonel. Sersan Galaksi bisa kembali saat sudah membawa surat rekomendasi. Lagipula saat ini beliau masih bertugas sebagai penyidik pembantu di divisinya."
"Anj***" Johan mengumpat sembari mengusap wajahnya kasar. Namun tak ada yang bisa dia lakukan saat ini, perwira itu paham betul perintah adalah hal mutlak di dunia mereka.
"Cepat pergi." perintah Johan. Diikuti kedua anak buahnya.
"Tapi Galaksi bagaimana, Ndan?"
Johan menatap Gala yang berjalan cepat di sampingnya.
"Sudah berapa lama sih jadi polisi?"
"Siap dua tahun Komandan."
"Sudah pernah ikut penyergapan?"
"Sudah, saat kasus pemerkosaan anak di bawah umur. Kala itu saya juga tidak bersenjata." jelas Galaksi.
Johan mengangguk paham.
"Bawa mobilnya." perintah Johan sambil melemparkan kunci kearah Rey.
"Siap!"
"Surat perintah bagaimana, Ndan?" tanya Rey.
Namun pertanyaan itu sontak membuahkan sebuah pukulan ringan di belakang kepalanya.
"Berhenti menanyakan pertanyaan konyol. Ini penangkapan darurat. Saya bosan mendengar komandan divisi menyoroti kita sambil terus menyebut-nyebut jabatannya yang terancam, padahal kita yang bergerak tapi kenapa harus memikul jabatan beliau."
"Apa seberbahaya itu?" tanya Galaksi yang duduk sendirian di belakang.
"Tidak. Hanya saja pelaku ini terlalu gesit. Dia paham medan. Dan lokasi tempat bersembunyinya saat ini bukan di tengah kota atau pemukiman warga. Menurut informan, jaraknya sekitar 500 meter dari pemukiman terdekat. Jalan menuju kesana juga hanya jalanan kecil."
Rey menyerngit. Bagaimana mungkin komandannya ini hanya mengandalkan jiwa beraninya dan menganggap kecil situasi sekarang.
"Karena kondisi medan, kita tidak bisa memarkir mobil langsung di dekat rumah itu. Kita akan berhenti 200 meter dan berjalan kaki kesana."
Johan menunjukkan ponselnya, memperlihatkan keadaan lokasi yang dikirimkan informannya kepada kedua anak buahnya.
"Tapi dia berbahaya Komandan. Kemungkinan besar dia bawa senjata api."
"Kamu gentar?"
Rey membenarkan posisi duduknya, terus fokus menyetir, "Siap tidak!"
Gala yang merasa paling tidak tahu apa apa memberanikan diri bertanya, "Memangnya siapa dia?"
Rey menengok sekilas, "Mantan anggota pengawalan presiden."
"Siapa yang dia bunuh?"
"Komandan dan keluarganya." jawab Johan.
Tubuh Gala seketika menegang. Bagaimana mungkin masalah sebesar ini tidak sampai di telinganya. Apakah ini kasus rahasia yang tidak boleh diketahui sembarang orang?
"Belok kiri Rey. Setelah ini kita tidak terlalu jauh, saya akan menemui informan itu dulu. Hubungi Heru dan Eki suruh menyusul sesegera mungkin. Bersiap!"
Galaksi menegakkan tubuhnya saat mobil yang dikemudikan Rey kembali melaju di jalanan lurus di pemukiman warga. Tangannya membenarkan rompi anti peluru yang dia kenakan, kemudian menatap kedua telapak tangannya yang berkeringat. Tubuhnya menegang, darahnya terasa berdesir, jujur saja ada rasa takut yang menyusupi hatinya.
Dia belum sempat memberitahu Peter, bagaimana kalau orang itu tidak tidur dan terus menunggunya. Walaupun Peter pasti akan dengan mudah menerima informasi tentang keberadaanya nanti.
Namun sisi baiknya, Gala bersyukur Peter sudah pulang lebih dulu. Akhirnya orang itu tidak perlu terlibat aksi berbahaya seperti ini.
Ingatan Gala seperti dibawa pada setiap inci tubuh Peter, banyak bekas luka yang dapat ditemukan dengan mudah disana, saksi bisu betapa beraninya pria itu menjalankan tugas, kan.
"Kamu sudah hebat, kak. Sekarang izinkan aku yang menunjukkannya!"
![](https://img.wattpad.com/cover/374416831-288-k758838.jpg)
YOU ARE READING
A SECRET [POOHPAVEL] ✅
Fanfiction"Berlututlah sebelum timah panas ini menembus kepalamu" ~Peter Jayden