***
Sekolah adalah sebuah bentuk penyiksaan terberat yang legal pada abad ini. Setidaknya itulah yang dipikirkan oleh sosok pria bermata cokelat madu yang tengah berjalan masuk ke area sekolahnya. Pria itu tampak berantakan, dengan mata merah karena kurang tidur dan keadaan emosi yang tidak stabil. Jelas sekali bahwa pria itu menghabiskan nyaris sepanjang malam bersama gelas-gelas Bollinger di sebuah bar pinggiran kota Washington. Sejujurnya, hari ini, pria itu tidak datang ke sekolah untuk belajar. Dia hanya memenuhi tuntutan pemerintah mengenai wajib belajar, dan satu-satunya tujuan mengapa dia datang ke sekolah adalah untuk duduk di bangku paling belakang kelasnya, mengisi absen lantas tidur. Ya, dia benar-benar butuh tidur. Justin Bieber benar-benar butuh tidur.
Langkahnya serampangan, seperti orang mabuk yang kesadarannya telah hilang hingga tanpa sadar dia menabrak seseorang di koridor. Yang ditabrak langsung jatuh tersungkur ke lantai dan buku-buku yang dibawanya berceceran di atas ubin putih. Justin mengernyit, menatap pria yang jatuh itu seolah pria yang jatuh itu adalah sosok manusia rendahan, dan mata hijau pria itu langsung menatapnya. Harry Styles bangkit, tampak marah dan telunjuknya menuding wajah Justin.
"Kau?! Kau tidak tahu apa yang kau lakukan, Bieber!" seru Harry jelas-jelas marah. Ya, tentu saja pria itu marah. Dia sudah cukup direpotkan oleh tumpukan modul tebal dan materi presentasi yang harus dilakoninya hari ini, dan sekarang, si troublemaker Justin Bieber baru saja menabraknya. Peduli setan jika Justin pandai meninju orang dan selalu membawa senjata di dalam tasnya. Harry sudah terlampau kesal pada Justin semenjak Justin mengacau di kelas Biologi minggu lalu. Seharusnya pria itu tidak dikirim ke sekolah elit seperti ini, tapi dibiarkan mati membusuk di peternakan Ivacota.
"Shut the fuck up, Styles." Justin berucap dengan santai, kemudian baru saja hendak melenggang pergi melewati ketika tangan Harry menjegal bahunya. Oh sial. Harry sudah berbuat sebuah kesalahan besar. Pandangan mata Justin yang merah berubah membara ketika tatapannya tertuju pada Harry. "Get out from my way, you son of a bitch."
"Tidak, sebelum kau meminta maaf padaku."
"Oh?" bibir Justin turun di salah satu sisinya, membentuk sebuah seringai yang begitu mengejek. "Jadi kau ingin aku minta maaf. Alright, aku akan memenuhi keinginanmu. Kau menginginkan sebuah kata maaf, maka kau akan mendapatkannya—" Justin memutus ucapannya disaat yang sama ketika kepalan tinjunya bergerak dan menghantam rahang Harry dengan keras. Tinjuan Justin benar-benar memiliki tenaga yang besar, sehingga Harry tersungkur ke lantai dan darah merembes di sudut bibirnya.
"Lihat apa yang kita punya. Coward Styles, eh?"
Harry mendongak, menatap Justin dengan pandangan penuh kemarahan, lantas dia bangkit dan menerjang Justin. Keduanya bergumul di lantai, saling berusaha meninju dan membalas pukulan satu sama lain. Dalam sekejap suasana aula sekolah itu langsung ramai. Para siswa berkerumun, membentuk lingkaran dengan Harry dan Justin sebagai pusatnya. Mereka bersorak, mengelu-elukan nama Justin dan Harry berkali-kali, sementara kedua pemuda itu masih sibuk berguling di atas lantai ubin yang putih bersih. Justin mengernyit. Kepalanya terasa pening. Efek dari Bollinger yang diteguknya semalam. Dia kurang tidur, merasa mengantuk dan Harry Styles baru saja menyenggol sisi paling sensitif dari dirinya. Justin mendengus.
Reputasinya sebagai troublemaker sekaligus petarung paling kuat tidak akan terpatahkan begitu saja. Pria itu mengepalkan tangan dengan kuat, meninju pelipis dan rahang Harry berkali-kali hingga Harry merasakan wajahnya nyaris mati rasa. Seolah belum puas, Justin menghantamkan tempurung lututnya ke perut Harry berkali-kali. Harry terbatuk, merasa mual dan ingin muntah, namun tidak ada apapun yang keluar dari celah bibirnya selain erangan samar. Justin mendengus. Pipinya berdenyut karena Harry sempat meninjunya tadi, namun tinjuan yang diakibatkan Harry Styles pada wajahnya tidak sefatal dengan luka yang dia timbulkan pada fisik Harry. Harry tergolek lemah, hampir tidak bisa melakukan perlawanan berarti dan Justin nyaris saja meninju pria berambut keriting itu hingga nyaris semaput jika saja sebuah suara teriakan tinggi seorang gadis tidak membuyarkan konsentrasinya. Kepala Justin tersentak, menoleh pada sumber suara—yang berani-beraninya mengacaukan apa yang tengah dia lakukan—dan matanya menyipit saat dia mendapati sepasang mata cokelat mahoni milik seorang gadis tengah menatapnya. Kening Justin berkerut. Gadis itu bukanlah sosok yang familiar baginya. Siapa... siapa sesungguhnya gadis itu?